Oligarki Politik dan Oligarki Bisnis Dibalik Perppu No. 1/2020

Ubedilah Badrun. Foto: internet

Oleh : Ubedilah Badrun

semarak.co -Saya mengikuti langkah dan kebijakan yang diambil Pemerintah Jokowi dalam menanggulangi penyebaran virus corona baru (Covid-19) sungguh sangat mengecewakan. Karena selain langkahnya lambat, keliru pula.

Bacaan Lainnya

Pada saat yang sama pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 yang menunjukkan betapa dibalik kesalahan langkah yang ditempuh, pemerintah juga ingin bermain aman dengan menciptakan pasal kebal hukum.

Sejak awal sebenarnya saya mendorong agar pemerintah melakukan lockdown (karantina wilayah) karena selain basisnya riset, juga itu pemerintah UU No. 6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Dari sisi riset, Indonesia akan lebih efektif menerapkan lockdown karena warganya dikategorikan sebagai negara yang secara pendidikan menengah ke bawah.

Di negara yang pendidikannya tinggi dan memiliki social order yang tinggi, tidak perlu lockdown, cukup social distancing, karena mereka faham dan nurut soal cara mengatasi Covid-19. Tapi di negara yang struktur pendidikan rendah, struktur sosial yang rapat, sehingga potensi penyebarannya tinggi, maka kebijakan lockdown efektif sekali dilakukan.

Seperti di Wuhan, Provinsi Hubei, China, pemerintahnya menetapkan lockdown karena warganya rerata berpendiikan rendah. Sehingga dengan lockdown terjadi tertib sosial, tidak ada sirkulasi lintas sosial yang luar biasa. Penyebaran virus corona pun bisa ditekan.

Pemerintah kita sejak awal memang terlihat ragu, harusnya ketika kasus pertama terjadi dimana seorang ibu dan dua anaknya dinyatakan positif terpaparn virus corona, seharusnya saat itu dilakukan lockdown agar tidak menyebar luas. Hingga kini Jakarta cuma dilakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga sebaran corona tak terbendung.

Setiap hari ada ratusan korban baru terpapar, bahkan kabarnya angka yang diumumkam Kementerian Kesehatan lewat Juru Bicara Percepatan Penanganan Covid-19 Achad Yurianto, jauh lebih rendah dari faktanya. Kalau saja pada 2 Maret 2020 Pemerintah menetapkan Jakarta lockdown, ceritanya tidak seperti ini.

Alasan yang dipakai pemerintah dalam narasinya di media-media ketika tidak menetapkan lockdown adalah khawatir berdampak buruk terhadap perekonomian. Ini adalah narasi yang keliru, justru lewat karantina wilayah, terjadi pemutusan mata ranti penyebaran virus corona yang lebih cepat.

Sehingga ekonomi ada kepastian. Tapi dengan kebijakan PSBB tidak ada kepastian kapan penyebaran virus corona ini akan berakhir. Sehingga juga tidak ada kepastian berapa ongkos ekonomi yang harus ditanggung negara.

Dalam riset yang kami lakukan, kalau pada 2 Maret 2020 lalu Pemerintah Jokowi menerapkan lockdown untuk Jakarta, maka ongkos yang diperlukan dalam perhitungan kami hanya Rp12,4 triliun. Tapi sekarang kita saksikan, pemerintah harus menyiapkan anggaran sebesar Rp405 triliun untuk menanggulangi dampak Covid-19.

Terkait kebijakan PSBB yang ditempuh pemerintah sendiri sebenarnya sudah dilakukan di daerah-daerah. Cirinya mencegah orang berkumpul, melarang ibadah di masjid maupun gereja, menutup klub malam. Daerah-daerah sudah lebih dulu melakukan, jadi PSBB termasuk kebijakan yang terlambat.

Apalagi dalam UU 6/2018 jika terjadi pandemi sudah jelas urut-urutan yang harus ditempuh pemerintah. Pertama dilakukan karantina rumah, kemudian karantina rumah sakit, setelah itu karantina wilayah.

Agar karantina itu tidak meluas, maka dilakukan PSBB. Tapi PSBB akan efektif bila dilakukan terlebih dahulu dengan karantina wilayah. Tapi pemerintah sibuk akan menerapkan Darurat Sipil.

Harusnya pemerintah menjelaskan dalam PP karantina wilayah, bukan menerbitkan PP PSBB, karena langkah detil itu sudah ada dalam UU. Jadi PP nya salah. Ternyata isi PP itu hanya dua, yaitu tentang definisi PSBB ada beberapa pasal. Kedua, isinya tentang tatacara perizinan PSBB. Padahal sudah ada dalam UU.

Harus PP itu menjelaskan detil teknis bagaimana karantina wilayah dilakukan, kemudian bagaimana pengadaan dan distribusi alat kesesehatan, Karena itu pemerintah harus mengevaluasi PP itu, diganti dengan PP baru yang lebih relevan dengan UU No. 6/2018.

Pada 2019, sebenarnya sudah ada Permenkes yang mengatur bagaimana teknis pelaksanaan karantina wilayah yang jauh lebih runtun dan relevan.

Dari uraian di atas terlihat jelas, bahwa dalam UU No. 6/2018 semua sudah lengkap, tapi tampaknya Pemerintah Jokowi tak mau melaksanakan UU yang baru saja dibuatnya. Oleh karena pemerintah sudah menyimpang dari UU yang dibuatnya sendiri, maka langkah lanjutannya pun menyimpang dan menabrak UU lain yang sudah ada.

Apa itu? Pemerintah bukannya menjalankan UU No. 6/2018 malah sibuk membuat Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemik Covid-19. Perppu ini terlihat akal-akalan mencomot pasal-pasal RUU Omnibuslaw yang ditolak rakyat lalu dimasukkan ke dalam pasal-pasal di Perppu.

Dimana letak akal-akalan Perppu No. 1/2020?

Pertama, Perppu tersebut memberikan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% pada 2020 dan 2021, turun menjadi 20% mulai 2021 dan 17% untuk wajib pajak dalam negeri yang tercatat di bursa saham. Dalam draft Omnibus Law Perpajakan, terkait insentif tarif PPh badan ada dalam Pasal 3. Hanya pasal yang berbeda tapi konten sama persis. Ini namanya akal-akalan.

Kedua, Perppu 1/2020 juga memberikan mandat kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk melakukan hal-hal yang di luar kebiasaan, bahkan di luar rambu aturan perundang-undangan Bank Indonesia.

Misalnya, BI dipersilakan masuk ke lelang surat berharga negara (SBN) di pasar perdana. Ini juga akal-akalan. Sebab dalam UU Bank Indonesia yang sebelumnya hanya memperbolehkan BI membeli Surat Utang Negara (SUN) di pasar sekunder.

Pasal 19 Perppu 1/2020 itu mengganti regulasi dengan memperbolehkan BI membeli SUN di pasar perdana. Dahsyat akal-akalannya.

Ketiga, adanya akal-akalan dari pemerintah yakni meminta kelonggaran defisit APBN dari 3% menjadi 5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ini juga akal-akalan, mau gampangnya saja agar aman. Dengan cara akal-akalan itu apa Istana tidak paham bahwa dalam 3 tahun penerimaan pajak siap-siap merosot, dan tak ada jaminan apa pun pada tahun ketiga disiplin fiskal bisa dilakukan.

Keempat, pada Pasal 27 Ayat 1 Perppu 1/2020 yang menyebut bahwa kebijakan penyelamatan terkait krisis bukan merupakan kerugian negara. Bagaimana mungkin anggaran dari APBN, dari SUN kemudian ketika terjadi permasalahan pemerintah bilang bukan kerugian negara. Ini akal-akalan lainnya.

Kelima, dan ini puncaknya, pada Pasal 27 Ayat 2 Perppu 1/2020 yang menyatakan bahwa pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasari pada itikad baik.

Ini akal-akalan juga, jadi kalau melanggar tapi niatnya baik tidak boleh dihukum. Baru kali ini ada aturan hukum negara kalau berniat baik meskipun melanggar tidak boleh dituntut di meja pengadilan. Negara bisa kacau. Ini akal-akalan luar biasa.

Kelima pasal tersebut merupakan akal-akalan dari para oligarki politik dan oligarki bisnis yang ada di lingkaran Jokowi. Kemungkinan besar Pak Jokowi tidak membaca secara cermat isi Perppu No. 1/2020, padahal kandungannya merugikan integritas beliau sebagai Presiden.

Saya menduga akan ada banyak gerakan civil society, para aktivis pro demokrasi dan aktivis HAM yang akan menggugat Perppu tersebut. Karena memang Perppu itu tidak memenuhi kaidah berbangsa dan bernegara yang benar. ***

Ubedilah Badrun, pengamat sosial politik yang juga Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies–Cespels

 

sumber: anggaran.news/WA Group Keluarga Alumni HMI MPO/

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *