Oligarki Partai Politik dalam Pilkada

Oleh Mochammad Farisi. Foto: unja

Oleh Mochammad Farisi, SH, LL.M *)

semarak.co-PASAL 39 (a) UU No. 10 /2016 tentang Pilkada menjelaskan bahwa peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, artinya partai politik (parpol) mempunyai kewenangan yang besar dan strategis untuk mengajukan pasangan calon.

Bacaan Lainnya

Parpol menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak istimewa untuk melakukan proses rekrutmen dimulai dari proses penjaringan, seleksi, pencalonan dan pendaftaran calon kepala daerah. Pertanyaannya, apakah internal parpol cukup ‘sehat’ melahirkan pemimpin daerah?

Pasal 29 ayat (2) UU No. 2/2008 tentang Partai Politik menegaskan  bahwa rekrutmen Bakal Calon Kelapa Daerah (Balonkada) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD/ART dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun sampai saaat ini tidak ada perangkat hukum yang jelas bagaimana tata cara dan prosedur yang dilakukan di tingkat parpol dalam menerima bakal calon, proses pendaftaran di parpol, tata cara seleksi, panitia seleksi dan sistem penilaian atau kriteria yang digunakan ditingkat parpol untuk menerima atau menolak bakal calon.

Dengan kata lain, otonomi yang diberikan kepada parpol dalam rekrutmen Cakada tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas. Selain itu undang-undang juga tidak menguraikan denganrinci dan jelas tentang makna demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen dan hanya menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme internal parpol.

Dengan tidak adanya aturan hukum yang jelas bagaimana parpol melakukan rekrutmen Balonkada, menyebabkanparpol menafsirkan sesuai dengan kepentingannya, kebanyakan dilakukan secara tertutup, tidak aspiratif, tidak akomodaif, tidak selektif dan dapat sebebas-bebasnya dalam mengajukan cakada.

Dalam praktiknya pencalonan lewat parpol sering terdistorsi oleh praktik politik yang bukan saja tidak mengakomodasi aspirasi publik dalam penentuan calon, namun juga terjadi manipulasi aspirasi atas nama politik uang. Pencalonan melalui parpol bukan lagi menjadi ajang kontestasi kapasitas dan kapabilitas, tetapi lebih pada ajang pertarungan modal/kapital.

Dengan model rekrutmen seperti ini sulit mengharapkan parpol dapat mengakomodir figur-figur potensial masyarakat, apalagi jika tidak memiliki modal sosial dan kapital yang cukup. Partai politik sebagai pilar demorkasi, seharusnya menjalankan fungsinya sebagai sumber kepemimpinan.

Yaitu melakukan kaderisasi dan pembinaan karier politik para kader sebagai pemimpin rakyat sehingga calon yang diajukan seharusnya adalah yang terbaik. Selain kaderisasi peran yang harus dilakukan adalah penyeleksi kepemimpinan rakyat, parpol seharusnya memiliki sistem seleksi dan kriteria-kriteria pemimpin yang baik.

Namun fungsi tersebut tidak berjalan maksimal khususnya di daerah, partai gagal menciptakan sistem rekrutmen yang demokratis dan terbuka dan hanya berfungsi sebagai ‘kendaraan’ bagi kelompok masyarakat khususnya yang berkantong tebal.

Dalam perhelatan pilkada serentak 2018, fungsi parpol sebagai agen rekrutmen politik (pintu pencalonan) semakin tidak berjalan optimal sebagaimana harapan masyarakat. Pencalonan lewat parpol masih sangat didominasi nuansa oligarki elit parpol dan kecenderungan memilih berdasarkan ukuran popularitas dan materi.

Bahkan di beberapa daerah telah terjadi konflik dalam proses pencalonan ini, biasanya konflik dipicu oleh calon yang ditentukan oleh elit parpol di tingkat pusat namun ditolak oleh fungsionaris parpol di daerah. Contoh kasus adalah perubahan arah dukungan Partai Gerindra pada detik-detik terakhir pencalonan di Pilkada Kabupaten Kerinci.

Berdasarkan info dari media, DPC Gerindra Kerinci telah melakukan proses seleksi sesuai mekanisme partai dan disetujui oleh DPW dan dikeluarkan SK oleh DPP Gerindra, namun last minute dukungan berubah ke calon yang lain. Di Pilkada Kota Jambi dinamika pencalonan internal PAN juga tidak kalah seru.

Di awal-awal beredar SK dukungan terhadapat walikota petahana, namun DPW bersikeras untuk mengubah dukungan dan pada menit-menit terakhir SK dukungan berubah haluan. Contoh oligarki partai politik dalam pilkada juga terjadi pada partai yang mengandalkan karisma ketua umumnya.

Karakteristik partai ini adalah kesetiaan dan ketaatan kepada pemimpin partai lebih mengemuka daripada kemampuan kinerja pribadi atau kelompok di dalam sistem yang telah dibangun. Contoh kasus kekinian, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Siaful Hidayat ditugaskan maju di Pilkada Sumatera Utara oleh PDIP.

Padahal secara emosional tidak ada hubungan Djarot dengan masyarakat Sumatera Utara karena dia berkarir di Jawa Timur pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jatim dan Walikota Blitar. Puti Guntur Soekarno Putri juga menjadi contoh bagaimana oligarki elit parpol sangat dominan.

Mbak Puti yang berkarir di DPR dari Dapil Jawa Barat sempat masuk bursa Cawagub Jawa Barat, namun ternyata bersanding dengan Gus Ipul di Pilkada Jawa Timur. Pola oligarki elit yang berkembang di dalam lingkungan partai politik di Indonesia ini melahirkan sejumlah persoalan.

Implikasinya akan melahirkan persaingan internal elit partai yang menghendaki berakhirnya pola oligarki dan menginginkan proses seleksi yang lebih demokratis dan terbuka dalam proses seleksi cakada.

Puncak persaingan elit parpol yaitu terjadi pertikaian yang tidak hanya menghambat kinerja partai sebagai agregator kepentingan masyarakat tetapi melahirkan perpecahan kepengurusan parpol di tingkat pusat dan merambah ke DPW dan DPD.

Contoh nyata akibat oligarki elit parpol ini adalah perpecahan yang terjadi di Partai Hanura. Ketua Umum Oesman Sapta Odang mendapat mosi tidak percaya dari para ketua DPW dan DPD karena diduga melakukan pelanggaran AD/ART partai.

Salah satunya mengganti Tim Pilkada Pusat (TPP) dengan mekanisme yang tidak benar, yang berakibat ketua tim yang baru banyak mengubah kebijakan yang sudah diputuskan dan menimbulkan rekomendasi ganda.

Persoalan lain yang timbul akibat oligarki partai adalah parpol gagal membangun mekanisme kerja yang berbasiskan aturan dan prosedur yang jelas dibarengi dengan otonomi dalam proses pengambilan keputusan, misalnya tentang penetapan calon kepala daerah.

Terbukti sampai saat ini dalam proses penetapan calon pilkada masih sangat kuat pengaruh DPP di internal masing-masing parpol, parpol di tingkat DPD dan DPW harus menunggu sikap resmi DPP terhadap kandidat kepala daerah yang diusung.

Akibatnya, potensi calon yang berasal dari daerah pemilihan sering kali dikalahkan oleh keputusan DPP yang mangajukan calon rekomendasi dari Jakarta. Oligarki elit parpol yang memutuskan untuk mencalonkan cakada dari daerah lain yang bukan berasal dari dari daerahnya akan melemahkan kaderisasi, selain itu juga melemahkan kepengurusan partai di daerah secara perlahan.

Akibatnya masyarakat dan kader-kader organik partai menjadi enggan untuk bergabung dan setengah hati mengurus partai, karena kaderisasi yang menjadi modalitas dalam rekrutmen menjadi tidak bermakna.

Puncaknya masyarakat semakin apatis terhadap partai politik, karena sudah kehilangan ruh demokrasi yaitu “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, partai hanya berorientasi sekedar menang pilkada dan segelintir elit yang akan merasakan nikmatnya.

Dampak lebih jauh dari oligarki elit parpol dan tidak adanya keterbukaan dalam proses seleksi calon adalah menjamurnya praktek politik uang. Realitas ini tampak dari pengakuan beberapa bakal calon bahwa faktor terpenting untuk mendapatkan “perahu” adalah kemampuan finansial kandidat untuk berbagai jenis pengeluaran mulai dari biaya “tiket” ke gabungan partai pengusung, biaya mobilisasi massa, biaya saksi dan operasional lainnya.

Untuk menghilangkan oligarki elit politik dalam penetapan calon pilkada mau tidak mau harus dibentuk peraturan hukum yang menjadi dasar bagi parpol atau gabungan parpol melakukan seleksibakal calon kepala daerah ditingkat partai politik.

Setidaknya rugulasi itu harus mengatur tentang 1. Bagaimana system seleksi (apakah menggunakan metode konvensi atau lainnya), 2. Siapa panitia seleksinya, 3. Bagaimana standart penilaian (apakah menggunakan lembaga lain diluar partai), dan 4. Keharusan proses seleksi dilakukan secara demokratis dan terbuka.

Mekanisme demokratis dan terbuka juga harus dijelaskan dengan detail yang artinya parpol membuka diri, menginformasikan dengan benar dan jujur, memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat serta mempertanggung jawabkan proses dan hasil seleksinya.

Saat ini masyarakat pada umumnya di fait acompli / fetakompli oleh partai dan gabungan partai politik dalam penetapan pasangan calon kepala daerah. Masyarakat di daerah sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana proses seleksi calon oleh parpol dan mengapa partai tertentu memilih untuk mencalonkan tokoh tertentu sebagai calon kepala daerah.

Secercah harapan mengenai keterbukaan proses pencalonan dan kesempatan masyarakat memberikan tanggapan dan masukan terhadapat bakal calon sempat ada pada saat diterbitkan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, dijelaskan dalam Pasal 37 tentang Pendafaran Bakal Calon dan Pasal 38 tentang Uji Public.

Namun harapan itu kandas karena pasal tersebut dihapus sejalan dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Parpol sebagai benteng pertama demokrasi telah jebol, maka masyarakat sebagai benteng terakhir dituntut harus cerdas dalam menentukan pasangan calon kepala daerahnya.

*) Akademisi unja.ac.id

 

sumber: unja.ac.id di WAGroup CORETAN👑KSATRIAN⚔️COPYDARAT♻️ANIES✈️RI🇮🇩1 (postMinggu26/5/2024/denny(sonny))

Pos terkait