By Nashihin N., M.Sos. *)
semarak.co-Dalam sebulanan ini, dunia medsos diramaikan oleh opini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bergabung dengan KIM dan membatalkan dukungan ke Anies sebagai calon gubernur pada Pilkada Jakarta, selanjutnya PKS mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido).
Dalam banyak postingan, PKS dibully oleh pendukungnya, terutama oleh loyalis Anies hingga sampai ada yang demo ke kantor DPP PKS. Bullyan itu di antaranya sebutan PKS penghianat, munafik, prorezim, dan lain-lain.
Ungkapan kekecewaan tersebut didasari karena mereka menginginkan PKS tetap mengusung Anies dan mereka juga menginginkan PKS tetap menjadi oposisi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, tidak menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan tersebut. Namun demikian, PKS tetap pada keputusannya.
Bergabungnya PKS ke KIM dinilai aib besar oleh pendukungnya. Walaupun tentu PKS punya alasan atas keputusannya. Namun demikian, jika melihat rekam jejak PKS, PKS adalah partai baik, sebagaimana dikatakan Ustadz Bakhtiar Nasir dalam konferensi pers tentang sikap politik PKS melalui video yang banyak beredar.
Di luar opini yang berkembang, penulis mencoba menengok sejarah perpolitikan Indonesia pada tahun 1950-1960-an yang ada kemiripannya dengan yang dialami PKS pada saat ini. Dalam sejarah masa itu, NU sempat dicitrakan buruk karena masuk dalam pemerintahan Sukarno yang mengagendakan penggabungan kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) dalam pemerintahannya.
Ide Nasakom Sukarno ini terkenal dengan rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek). K. H. Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU, adalah yang setuju NU masuk dalam kabinet pemerintahan Sukarno. Sikap Kyai Chasbullah ini mendapat penentangan dari sebagian kiai yang lain, terutama dari kalangan Masyumi.
Atas sikap beliau ini, Kiai Wahab kemudian dituduh dengan beragam sebutan, seperti sebutan tidak konsisten, oportunis, bahkan julukan ‘Kiai Nasakom’. Dalam sejarah, Kiai Abdul Wahab dikenal sebagai negarawan ulung yang piawai berdiplomasi dengan siapa pun.
Perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia tidak meninggalkan prinsip-prinsip syariat dengan tradisi keilmuan pesantren. Beliau cukup mampu mengimbangi aspirasi kelompok Islam dan mengendalikan pergerakan kaum sosialis dan komunis dalam pemerintahan, termasuk pada saat presiden Soekarno menggagas Nasakom.
Apa yang dilakukan Kiai Wahab dalam percaturan dan pergolakan politik tersebut merupakan langkah ‘Politik Jalan Tengah’. Langkah yang dilakukannya pada saat itu tidaklah mudah karena itu membutuhkan argumentasi yang kuat dan langkah nyata atas persoalan yang dihadapinya.
Langkah beliau sering bertentangan dengan ulama dan kiai-kiai lain, baik saat memimpin Masyumi maupun NU. Dalam pandangan Kiai Wahab, duduk di kabinet merupakan kesempatan untuk memahamkan pemerintah tentang buruknya jika memasukkan unsur komunis dalam pemerintahan.
Kiai Wahab menilai, “Ketika duduk di luar kabinet (menjadi oposisi), para ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. Bisa jadi, malah dituduh pengacau.” (NU Onlie, 2019). Misi tersebut (bergabung dalam kabinet) benar-benar dijalankan oleh NU di kabinet.
Pada pemilu 1955, NU masuk tiga besar setelah PNI dan Masyumi, dan disusul PKI di urutan keempat. Sukarno ingin agar PKI masuk dalam kebinet, tetapi PNI, Masyumi, dan NU yang diwakili oleh Ali Sastroamijoyo, M. Roem, dan Idcham Kholid, mereka menolak keinginan Sukarno.
Pada masa itu, Ali Sastroamijoyo dan M. Roem tidak mau menghadap langsung ke Sukarno, akhirnya yang maju adalah Idcham Kholid sebagai perwakilan dari NU. Idcham Kholid berhasil menjelaskankan ke Sukarno tentang bahaya komunis. Akhirnya, Sukarno tidak berani memasukkan PKI dalam kabinet.
Kemudian, pada tahun 1959 dan 1962, Sukarno kembali hendak memasukkan PKI dalam kabinet, tetapi keinginan tersebut dihadang oleh NU. Pada akhirnya Nasakom tidak pernah terjadi. Pada saat itu juga, Masyumi termasuk yang aktif mengkritisi pemerintahan Sukarno, terkhusus penentangannya terhadap gagasan sistem demokrasi terpimpin.
Pada akhirnya Sukarno menyarankan agar Masyumi membubarkan diri dan akhirnya pada tahun 1960 Masyumi harus bubar. Inilah luka sejarah masa itu, partai besar berpengaruh harus bubar karena kekritisannya. Sepertinya PKS, tidak ingin mengalami hal serupa seperti yang dialami Masyumi pada masa itu.
PKS ingin memperbaiki pemerintahan Prabowo-Gibran dari dalam. Sebagai partai Islam yang selama ini banyak berseberangan dengan Jokowi, PKS dapat saja menghadang pengaruh Jokowi dari dalam. Oleh karena itu, ketika Prabowo mengajak PKS untuk masuk dalam pemerintahannya, PKS menyambutnya karena Prabowo butuh partai penguat dalam menjalankan pemerintahannya.
Dalam hal beroposisi dan berkoalisi, PKS memiliki cukup pengalaman. Pada masa pemerintahan Megawati dan era Jokowi, PKS menjadi oposisi dan pada saat pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Susilo Bambang Yudoyono (SBY), PKS menjadi bagian dari kedua pemerintahan itu.
Pada masa pemerintahan Gus Dur melalui Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nurmahmudi Ismail (menteri dari PKS), ia berperan besar menjebloskan Bob Hasan ke penjara. Demikian pula pada saat PKS menjadi bagian dari pemerintahan SBY, PKS tetap kritis.
Ketika pemerintah SBY hendak menaikkan harga BBM, PKS mengkritisinya di parlemen, dan mengkritisi kebijakan-kebijakan lain yang tidak prorakyat. Walaupun untuk hal itu, akhirnya jatah menteri dari PKS dikurangi, resiko. Akankah PKS kembali melakukan peran itu? Kita tunggu saja nanti. Semoga pemerintahan Prabowo-Gibran lebih baik dari Jokowi.
Dalam suatu kesempatan seminar buku, Kiai Abdul Mun’im (penulis buku ‘Benturan NU-PKI 1948 dan 1965’), beliau pernah berkata bahwa mencegah dari dalam lebih efektif daripada mencegah dari luar. Masuk dalam kabinet belum tentu kita setuju dengan dengan agenda kabinet (Nasakom). (Abdul Mun’im, 2021)
*) Penulis adalah anak pantura pemerhati politik.
sumber: WAGroup Himpunan Aktifis Masjid Indonesia (HAMI) (postSelasa10/9/2024/raadiadi333)