Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mendukung bila Ketua umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terpilih sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024.
Ali sendiri mengaku mengetahui isu Prabowo ditawari jabatan sebagai Menhan dari media. Namun demikian Ali tidak bisa memastikan sosok yang nanti akan menduduki kursi Menhan karena hal itu hak prerogatif Presiden.
“Kalaulah benar seperti yang ditulis media terkait kemungkinan beliau menjadi Menhan, saya ucap alhamdulillahi robbil alamin. Karena Prabowo punya latar belakang militer yang luar biasa yang akan memberikan kontribusi terhadap sistem pertahanan negara,” kata Ali di sela-sela acara FGD Divisi Humas Polri bertajuk Milenial Dalam Pusaran Hoax dan Masa Depan Bangsa di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Pihaknya menyambut baik pernyataan Prabowo soal kesediaan Prabowo dan Partai Gerindra untuk merapat ke pemerintahan bila pemerintah memerlukan mereka. “Bahwa beliau dan Gerindra mempersiapkan diri kalau diperlukan pemerintah. Itu isyarat,” pujinya.
Kalau nanti tidak bergabung dengan pemerintah, lanjut Ali, paling tidak dalam posisi penyeimbang, di luar pemerintah, atau posisi oposisi itu adalah hal yang mulia karena orientasinya membangun kepentingan bangsa dan negara.
Pertemuan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu, menurut dia, sangat penting untuk menciptakan suasana kondusif menjelang pelantikan presiden-wapres terpilih. “Pertemuan itu penting untuk ruang publik, memberikan suasana sejuk jelang pelantikan Bapak Presiden,” katanya.
Dalam pertemuan itu, Jokowi-Prabowo berbicara tentang kondisi ekonomi global, politik, keamanan, hingga rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Selain itu juga dibicarakan kemungkinan Partai Gerindra masuk ke dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Wakil Ketua MPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menyatakan, partainya tetap konsisten menjadi oposisi pada periode pemerintahan 2019-2024.
“Kami PKS sudah memutuskan berada di luar kabinet. Kami berada sebagai oposisi apa pun namanya dan kami sampaikan bahwa berada di luar kabinet, berada menjadi oposisi tidak semuanya masuk dalam koalisi, itu juga justru menyelamatkan demokrasi,” kata Hidayat Nur Wahid di lingkungan Istana kepresidenan Jakarta, Rabu (16/10/2918).
Itu usai bertemu Joko Widodo bersama dengan 9 orang pimpinan MPR lain di Istana Merdeka terkait persiapan pelantikan presiden-wakil presiden terpilih 2019-2024 pada 20 Oktober 2019.
“Karena kalau demokrasi artinya semua orang bergabung di pemerintahan, lah terus siapa yang melakukan check and balance? Kami menyediakan diri untuk menjadi yang meningkatkan dan menyelamatkan marwah demokrasi dengan berada di oposisi itu,” tambah Hidayat.
Hidayat mengaku bahwa PKS menghormati pihak pemenang Pemilu 2019. Pada pemilu 2019 lalu, PKS berkoalisi dengan Gerindra mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
“Sekali lagi, kami menghormati rasionalisasi dasar daripada pemilu, yaitu kalau yang menang silakan memimpin. Rasionalnya kan begitu. Kalau yang belum menang ya rasionalnya kami berada di luar,” terangnya.
PKS melakukan semacam itu, nilai HNW, karenanya jangan sampai kemudian kalau bertemu artinya PKS minta untuk koalisi. “Ya enggaklah, PKS minta menteri, apalagi,” ungkapnya.
Ia bahkan menilai bahkan kursi menteri untuk partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin saja masih kurang, apalagi masing-masing sudah mengajukan banyak calon. “Silakan berikan itu kepada pendukung Pak Jokowi. Kami, saya PKS, yang kemarin bukan koalisi Pak Jokowi kami berada di luar kabinet untuk menyelamatkan dan meningkatkan kualitas berdemokrasi,” tambahnya.
Namun, Hidayat tidak menutup kemungkinan PKS bertemu dengan Presiden Jokowi, persoalannya adalah kapan waktu terbaik untuk pertemuan tersebut. “Ya (pertemuan) setelah kemudian tidak ada kegaduhan terkait masalah minta jabatan menteri, koalisi, dan sebagainya,” ungkapnya.
Hidayat menegaskan bahwa tidak apa-apa bila PKS bertindak sendirian sebagai oposisi di DPR. “Dalam sistem presidensial semacam ini seharusnya seluruh anggota DPR itu melakukan kontrol. Kalau program pemerintahnya tidak bagus, bermasalah, anda lihat rapat-rapat di komisi semuanya begitu kritis terhadap program pemerintah,” ucapnya.
Jadi pihaknya, kata dia, tidak takut sendirian karena pada hakikatnya nanti kawan-kawan mereka anggota DPR akan melakukan kritik terhadap hal-hal yang tidak sesuai dari yang seharusnya atau janji kampanye.
Presiden Jokowi tampaknya membuka ruang untuk kubu oposisi bergabung dalam kabinet. Apalagi Presiden pada pekan lalu bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Oktober 2019 dan Prabowo.
Prabowo usai melakukan pertemuan dengan Jokowi di Istana Merdeka pun sudah melakukan safari politik ke sejumlah ketua umum partai koalisi Jokowi. Mulai dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarmoputri, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh, Plt Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan sore ini dijadwalkan bertemu dengan Ketua Umum partai Golkar Airlangga Hartarto.
“Secara prinsip, PKS biasa diundang dan biasa mengundang. Kita berpolitik itu bersilaturahim, tapi timing juga dipentingkan, jangan sampai kesannya ada pertemuan, kemudian artinya mau koalisi, mau gabung, minta menteri padahal katanya komposisi menteri antara profesional partai dan profesional non-partai,” ucap Hidayat.
Bila jatah untuk partai hanya 40 persen dari total jumlah kabinet, maka dengan 34 kementerian berarti hanya ada sekitar 16 menteri untuk partai. Padahal partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin lebih dari 6 partai.
“Saya tahu ada keinginan (pertemuan Jokowi-PKS) ini, saya tahu dan saya diberitahu bahwa ada keinginan untuk pertemuan dengan Presiden PKS, dan Presiden PKS sudah memberikan jawabannya. Pertemuan itu baik-baik saja tapi timing-nya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya supaya tidak menimbulkan salah paham,” tambah Hidayat. (net/lin)
sumber: indopos.co.id