Negara Miskin, Taipan Kaya, dan Meroketnya Coronavirus

Dr Syahganda Nainggolan. foto: internet

Opini Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

semarak.co -Jika kita googling “anggaran coronavirus”, google memberitahu catatan mulut menteri keuangan beberapa hari terkahir soal anggaran coronavirus ke depan. Terkahir disebutkan Rp 62 T, sebelumnya Rp 50 T, sebelumnya lagi 27 T, sebelumnya lagi Rp 8,5 T dan sebelumnya lagi antara Rp 5-10 T.

Bacaan Lainnya

Roy Salam, dari Budget Center menutup hasil searching itu dengan mengatakan bahwa anggaran “Bencana Non Alam” sebagaimana akan ditetapkan  rezim Jokowi untuk kasus coronavirus tidak ada dalam klausul UU APBN 2020. Harus diubah undang2nya dulu. Nah, artinya rencana Sri Mulyani itu masih angan angan.

Angka2 rencana anggaran yang terus meningkat dan tetap sebagai rencana berjalan seiring dengan meroketnya coronavirus di udara republik ini.

Korban terus berjatuhan, frontliner alias jajaran medis rumah sakit mulai kewalahan, dan juru bicara pemerintah si Fadjroel, eh bukan, juru bicara pemerintah urusan Covid-19, Achmad Yurianto, hari demi hari, muncul berwibawa di televisi mengumumkan angka2 kematian yang terus meninggi.

Negara Republik Indonesia yang kata mulut2 elit kuasa sudah masuk negara besar jajaran G-20, sudah dinyatakan pemerintah Amerika sebagai negara maju, sudah dinyatakan PBB sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, sudah diprediksi menjadi negara terkaya keempat di dunia tahun 2050 oleh Pricewaterhouse Copeers dan diperkirakan Jokowi dan LBP rupiah meroket ke Rp  1000/dollar, ketahuan belangnya hanyalah negara miskin tak berdaya ketika diserang virus corona.

Negara tetangga Malaysia tidak sedang menghitung rencana2, mereka sudah menetapkan anggaran perang  coronavirus ini sebesar Rp. 76 Triliun ($4,8 Milyar). Angka ini untuk penduduk Malaysia 32 juta jiwa.

Hanya tidak sebesar penduduk Jawa Barat. Mesir sudah menetapkan anggaran di atas Rp100 T. Belanda menetapkan anggaran 65 Milyar Euro alias 70 Milyar dollar. Dan lainnya.

Negara Miskin, Taipan Kaya

Setelah ketahuan negara miskin, kita mengetahui yang kaya di Indonesia adalah taipan2. Berbagai media telah memberitakan kebaikan kebaikan taipan itu berjasa dalam mengatasi wabah ini, a. l. Sinar Mas Group, Adaro Energi, Artha Graha, Djarum, Agung Sedayu, Indofood, Puradelta, Triputra.

Secara terpisah Charoen Poekpand Indonesia memberi bnatuan via Yarsi, Wardah Group ke beberapa rumah sakit, Sandi Uno ke Ok Oc,  Yayasan Buddha  Tzu Chi ke NU, dll. Bahkan berita2 dan medsos di republik ini banyak mengunduh terima kasih Jack Ma, pengusaha RRC, sudah kirim bantuan ke mana2.

Namun, dibalik kebaikan taipan2 itu, akhirnya kita mengetahui bahwa selama 75 tahun Indonesia merdeka, fungsi negara untuk melindungi segenap tumpah darah kita, telah diambil alih swasta. Sedangkan negara masih berdebat soal realokasi anggaran.

Jika seorang menteri Republik Indonesia yang membawahi BUMN, membanggakan terima kasih pada swasta-swasta, maka negara telah kehilangan kebanggaan. Sejarah negara di Indonesia terkesan hampir berakhir.

Fakta negara miskin sudah tidak usah dipungkiri lagi. Jangan ada lagi dusta diantara kita masih puja puji sana sini. Kita juga tidak sedang menihilkan arti kebaikan orang orang kaya dalam situasi seperti ini. Semua kita anggap saja dalam maksud baik. Tanpa melupakan urusan perampokan Jiwasraya dll.

Lalu Bagaimana Ke depan?

Pembicaraan kita fokus tetap pada pertanyaan kenapa 75tahun Indonesia merdeka negaranya miskin, taipan2 yang kaya?

Negara yang di desain oleh “founding fathers”, Sukarno dkk, bukanlah negara yang miskin, taipan yang kaya. Negara yang di desain sejak mengusir penjajah kulit putih adalah untuk membuat semua orang2 sawo matang alias pribumi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Untuk itu langkah pertama Sukarno dkk selama 25 tahun pertama Indonesia merdeka, mengambil alih semua kekayaan yang dimiliki Belanda, seperti kebon2, hutan2, tambang2, ladang2 minyak, rel kereta api, airport, Java Bank, dll.

Langkah kedua Sukarno dkk, adalah membangun ekonomi sosialistik, yakni membangun kekayaan kolektif bagi semua oleh semua. Artinya kekayaan yang diciptakan bukan untuk segelintir orang dan juga bukan dimiliki serta dikerjakan segelintir orang.

Kini, setelah sekian lama kita merdeka, ternyata negara kita tidak menunjukkan arah sebagaimana founding fathers itu merencanakan. Ketimpangan kepemilikan asset, khususnya dalam situasi krisis, memperlihatkan rakyat tidak berdaya, dan mirip pengemis di mata orang2 kaya.

Situasi ini adalah kekonyolan yang harus di ubah. Sebuah bangsa dan sebuah negara adalah eksistensi diatas semua institusi yang ada. Negara harus dijadikan ultimate goal penyerahan kedaulatan individual kedalam kedaulatan kelompok besar atau bangsa atau negara. Jika penyerahan kedaulatan itu bisa dikalahkan oleh sub kedaulatan, seperti taipan2, maka ke depan semua harus dirombak ulang.

Penutup

Wabah Coronavirus telah membuka mata kita negara tidak berdaya. (Bahkan sesungguhnya sudah tidak berdaya memenuhi janji membangun rumah2 hancur gempa di Lombok).

Untuk menggelontorkan uang menyelamatkan manusia terlambat sekali dibandingkan berbagai negara di dunia, baik dalam ukuran negara sedang seperti Malaysia dan Mesir, apalagi Belanda dan Amerika. Akhirnya, negara mengundang swasta untuk mengatasi situasi buruk yang ada.

Kita tidak perlu berprasangka negatif atas kebaikan swasta-swasta ini, namun kita tidak boleh membiarkan negara di bawah swasta. Sebab, swasta pasti hukum kebaikan mereka adalah prinsip ekonomis “dengan modal sekecil- kecilnya, untung sebesar2nya”.

Sebab lainnya, bahkan yang utama, negara adalah ultimate goal dari penyerahan kedaulatan individual. Tidak ada gunanya negara jika kedaulatan individu sudah diambilnya, namun negaranya tak berdaya.

Ke depan, jika wabah coronavirus berhasil mereda, kita harus mendorong negara dan bangsa kita dikembalikan oada cita-cita pendiri bangsa (founding fathers) kita, yakni satu satunya tempat perlindungan segenap tumpah darah kita, sebagaimana dimuat dalam konstitusi.

Sebuah jalan sosialistik. Atau bisa juga mengambil arah sesuai jalan Habib Rizieq Sihab, Negara Bersyariah. Yang jelas negara harus ubber alles, di atas swasta bukan di bawahnya.

Bravo Anies, What Next Jokowi?

Never too late. Tidak ada yang terlalu terlambat. Kita harus mengacungkan jempol pada Anies, karena langkahnya diapresiasi Pemerintah Pusat. Sebagaimana dikatakan Achmad Yurianto, jubir pemerintah urusan Covid-19. Untuk urusan penanganan wabah ini di Jakarta, mereka sudah sepenuhnya menyerahkan pada Anies.

Langkah Anies secara sistematis dan terukur, yang mengarah nyaris Lockdown. Terakhir dengan keberhasilan menunda ibadah selama dua minggu, yang didukung oleh tokoh-tokoh agama. Anies juga meminta warga Jakarta tinggal di rumah. Tidak keluar Jakarta selama tiga minggu, sesuai panduan internasional menangani pandemik ini.

Sebelumnya langkah-langkah Anies adalah mengumumkan sebaran wilayah penderita covid-19. Anies Membuat Call Center Covid-19, mengalokasi budget APBD untuk itu, serta memperbanyak rumah sakit dan tenaga medis melayani orang berpotensi suspect coronavirus.

Anies mengumumkan potensi transportasi KRL Jabotabek sebagai sumber penyebaran. Lalu meliburkan sekolah, menunda ujian akhir sekolah, dan menyiapkan pusat-pusat Karantina di Keluarahan. Gubernur DKI juga mengerahkan BUMD menjual masker yang sebelumnya hilang dipasaran, dan membuat “Serangan Kejutan” mengurangi jumlah operasi busway dan MRT.

Model penanganan wabah yang dilakukan Anies Baswedan ini, yang telah diapresiasi Pemerintah Pusat. Ditambah dengan rencana Pemerintah Pusat meningkatkan kapasitas peralatan medis, termasuk alat rapid test, menunjukkan kalau langkah penanganan wabah ini ke depan sudah bisa mempunyai sistem kerja secara nasional.

Artinya negara hadir di tengah masyarakat mengahadapi penyebaran Cironavirus. Jika negara sudah hadir, namun masyarakat masih kurang disiplin, maka tingkat berikutnya, seperti yang dilakukan di Francis, yaitu memberlakukan Lockdown.

Apa Langkah Berikutnya?

Dalam konteks penangan wabah an sich, jika model Jakarta dapat diadopsi menjadi model nasional. Mengingat Jakarta adalah epicentrum pandemic ini, maka bahu-membahu dalam penanganan wabah ini harus dijadikan titik balik bersama. Bahwa kita siap menghadapi wabah ini bersama-sama. Tentu dengan resiko yang besar, mengingat masih adanya unsur elit rezim Jokowi yang belum bersinergi.

Ulasan saya selanjutnya bergeser pada dampak ekonomi yang dihadapi masyarakat. Kenapa? Karena dampak yang terjadi juga bersifat langsung dan mengerikan bagi perekonomian masyarakat.

Pada hari ini dan kemarin, kita melihat persoalan baru di masyarakat. Komunitas pengemudi online Jawa Barat, Posko Jabar, barusan membriefing saya bahwa penutupan berbagai tempat wisata, hiburan, dan berbagai aktifitas di Bandung dan sekitarnya, telah membuat penghasilan anggota mereka 2.900 orang terhempas. Sebanyak 2.800 orang diperkirakan gagal membayar cicilan kepada leasing bulan depan.

Kemarin lalu, Ketua Induk Koperasi Pasar, memberitahu saya bahwa penyediaan stok bahan makanan penting dan sembako, akan terkendala dengan kemampuan Inkoppas menebus pembelian barang. Menurutnya, jika pemerintah berusaha mengendalikan pembelian barang, namun terjadi “deadlock” di sisi supply, maka situasi kacau di pasar-pasar tradisonal akan terjadi.

Situasi ekonomi lainnya yang kita sudah lihat melalui media, terbentang berbagai potensi kesulitan antara lain, kenaikan dollar terhadap rupiah sekitar 15-17% dalam waktu mendadak, akan menyulitkan penyediaan bahan baku impor, seperti gandum, bahan farmasi dan tekstil. Akibatnya harga2 pangan, sandang dan obat-obatan akan melambung.

Urusan dollar dan hancurnya harga-harga saham membuat kemampuan perusahan-perusahaan juga semakin sulit. Menggunungnya hutang dan menurunnya revenue. Ini pada akhirnya akan membebani kemampuan membayar upah buruh, THR dan kesejahteran lainnya.

Kondisi yang lebih buruk lagi adalah akan ada gelombang Pemutusan Hubangan Kerja (PHK) beberapa bulan ke depan. ILO (International Labor Organization) telah memperkirakan 25 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan akibat dari Coronavirus.

Berbagai negara telah menyiapkan uang untuk menghindari kehancuran ekonominya. Stimulus paket ini bahkan sudah dijalankan di beberapa negara. Francis menyediakan stimulus paket ekonomi sebesar U $45 milyar atau setara dengan Rp 720 triliun. Sedang Amerika kemarin, untuk pase dua sekarang, telah disetujui U$ 104 milyar atau setara dengan Rp 1.664 triliun.

Uang-uang ini digunakan untuk membayar orang-orang pekerja yang tidak bekerja karena sakit atau lainnya selama musim wabah. Di Hongkong, sejak Februri lalu telah diberikan uang sebesar U$1.200 atau setara dengan Rp 19.200.000 sebagai subsidi bagi semua orang dewasa di sana.

Indonesia, sebagai bangsa yang suka terlambat, masih menghitung berapa uang yang bisa dialokasikan untuk dampak ekonomi wabah ini. Bahkan dampak wabah ini dari sisi non ekonomi, seperti anggaran untuk “rapid test”, baru ada kemarin, dan Prabowo baru mau terbang ke Sanghai membeli alat itu.

Sri Mulyani memperkirakan dapat merelokasi anggaran APBN untuk daerah sebesar Rp 50 Triliun. Jika anggaran ini meliputi juga untuk soal wabah sendiri, maka kemungkinan anggaran paket stimulus ekonomi hanya setengahnya. Saat ini Sri Mulyani baru mengeluarkan Rp 8,5 Triliun sebagai langkah stimulus fase satu. Stimulus fase dua yang sedang berlangsung dilakukan dengan insentif pajak.

Dalam diskusi saya per WA tadi dengan anggota Banggar DPR RI Mulyadi, sebaiknya selain pandangan dia untuk membelokkan semua atau sebanyak-banyaknya anggaran infrastruktur ke urusan wabah dan dampaknya. Saya juga mengusulkan saya agar anggaran pilkada Tahun 2020 diambil juga. Pesta pilkada ditunda dulu, maka kita dapat menyediakan uang lebih dari seratus triliun.

Seratus triliun itu setara dengan pengeluaran Mesir, yakni sebesar U$ 6,4 milyar. Sesama negara yang tidak terlalu maju ekonominya. Itupun bisa Jika Jokowi ikhlas tidak memikirkan lagi ambisi-ambisi untuk infrastrukturnya. Sisi fiskal ini dengan skala seratusan triliun, bisa membantu langkah-langkah makro ekonomi yang dijalankan Bank Indonesia.

Dengan uang itu pemerintah, baik di pusat maupun di daerah sudah dapat meramalkan dampak ekonomi atas setengah lockdown saat ini. Selain itu, perlu memikirkan biaya untuk mempertahankan daya beli masyarakat, subsidi pangan dan keperluan rakyat lainnya.

Penutup

Anies telah membangun model penanganan wabah Coronavirus yang diapresiasi Pemerintah Pusat. Meski terlambat, tidak ada yang terlalu terlambat. Lalu bagaimana nasib ekonomi kita?

Meski tetap terlambat, dalam mengantisipasi dampak ekonomi ke depan, niat Jokowi dari sisi fiskal sudah terlihat. Namun, niat ini harus diproses dalam sensitifitas mendesak. Kita tidak perlu berpikir mendesak untuk Omnibus Law misalnya. Namun lambat dalam menentukan jumlah stimulus fiskal. Kita juga harus mengumumkan moratorium Ibukota baru. Bahkan kemungkinan menunda pilkada 2020.

DPR juga harus berperan aktif untuk menghitung. Di Amerika misalnya, sudah masuk pada pengajuan pase ketiga dalam stimulus ini. Baik kubu Demokrat maupun Republik (“seperti Kadrun dan Kodok”) bekerjasama secara cepat.

Rakyat setelah menuju tenang, isu wabah corona akan masuk pada kegelisahan isu ekonomi. Ini tidak main-main. Hantaman keras pada pengemudi Online yang akan sulit bayar cicilan ke leasing. Hantaman THR dan buruh sebulan lagi di depan mata. Semua adalah pekerjaan besar. Apakah bulan depan pemerintah mampu menganggarkan jaminan kredit bagi ojek Online agar motornya tidak disita leasing?

Semoga pemerintah mampu memberi ketenangan ekonomi bagai rakyat kecil. Tentu dengan uang stimulus ekonomi diangka lebih dari seratusan triliun rupiah. ***

Penulis: Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

sumber:  WA Group ANIES FOR PRESIDENT 2024 (post: Minggu 22/3/2020)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *