Oleh Natalius Pigai *)
semarak.co-PENGALAMAN saya tangani rata-rata 2.000 Kasus agraria tiap tahun. Penduduk yang menempati tanah milik negara mereka sadar betul jika disentuh dengan komunikasi yang humanis. Sumbatan (bottlenecks) ada pada pemerintah.
Sering kali Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau memanfaatkan kewenangan UU Pemda beri izin ke swasta, KLHK gunakan otoritas UU Kehutanan, pertanahan gunakan UU Pertanahan dan BP Batam gunakan UU Investasi. Rakyat dan investor jadi korban.
Sekarang saya pertanyakan otoritas omnibus law jika masalah Rempang pemerintah tidak selesaikan. Semoga mesti ada jalan keluar yang terbaik karena Indonesia belum memanfaatkan peluang ekonomi Selat Malaka. Di Batam, BP Batam nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika demikian posisi terlemah ada pada pemerintah. Pemerintah tidak mampu menyelaraskan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Agraria.
Jika sedari awal pemerintah memberi otoritas penuh Kepala BP Batam sebagai pemegang kewenangan mengelola sebagai otoritas Batam, malah sangat tidak mungkin konflik seperti Rempang ini terjadi.
Kehadiran perusahaan di Batam bukanlah momok yang menakutkan. Karena Batam dirancang untuk wilayah ekonomi khusus agar dapat manfaat dari mobilitas barang, jasa dan orang di kawasan Selat Malaka. Kita telah mendengar kendala investasi juga kita juga mendengar riak-riak di rakyat kecil.
Rakyat Korban?
Mendengar kisah derita, rintihan perlawanan orang-orang tidak berdaya, juga para investor yang jadi korban dari pemerintah dan pemerasan yang dilakukan oleh oknum misterius. Saya menyimak protes warga dengan berbagai reaksi spontanitas telah mencuri perhatian, dan sudah saatnya kita mesti menyelami nurani rakyat kecil.
Orang Melayu dari zaman negara ini, tidak pernah minta-minta dan tidak pernah mengeluh dengan keadaan yang mereka hadapi walau mereka miskin, makanan susah, kurang sehat, pendidikan rendah, rumah yang tidak layak. Rakyat tidak pernah mengeluh, minta-minta atau mengemis ke negara.
Mereka makan ubi, singkong ketela, ikan, tetap saja mereka bahagia. Beda di Jawa, kalau tidak ada beras, gula, daging, garam harus diimpor. Pemerintah kerja keras memenuhi kebutuhan rakyatnya. Kalau wilayah kepulauan, jalan yang rusak itu biasa, bahkan jalan kaki, naik perahu bermil-mil dan bahkan berhari-hari. Rakyat tidak pernah mengeluh dan tetap merasa nyaman dan bahagia.
Namun kalau tanah sepetak yang merupakan warisan nenek moyang diambil untuk bisnis atau pariwisata, bisnis hanya untuk memuaskan syahwat para penguasa pemerintah dengan cara tidak terhormat, jelas rakyat jelata yang sudah miskin papa dan tidak berdaya pun tidak akan terima. Mungkin nyawa pun mereka pertaruhkan untuk pertahankan hak tanah tempat kehidupan mereka.
Investor Tommy Winata juga Korban?
Saya tidak terlalu mengenal lebih dekat dengan pengusaha nasional bernama Tommy Winata. Namun, sebagai aktivis yang sudah hidup dan tumbuh di Jakarta sejak 1998, nama Tommy Winata begitu terkenal sejak saya menyaksikan diadili di Komisi I DPR RI awal tahun 2000.
Diadili sendirian saat semua penguasa, pemegang kuasa uang negeri ini meninggalkan Indonesia, mencari aman, membawa uang dan investasi di negara lain akibat peristiwa 1998 yang menyerang keluarga-keluarga Tionghoa.
Tommy Winata bertahan di negeri ini menghadapi krisis ekonomi dan ancaman keselamatannya. Menghadapi kejamnya media-media yang menyerang kehormatan, melabeli penjahat, pembunuh, dan segala macam yang merendahkan martabat dan harkat dirinya.
Itu sepenggal cerita almarhum Desmond J. Mahesa kepada saya, waktu masih hidup. Cerita Desmond adalah sebuah fakta yang bisa dilihat dengan kasat mata secara gamblang. Bangsa ini tidak mudah menemukan pengusaha yang nasionalis, patriotik, tetap bertahan saat krisis, pembayar pajak yang taat, dan dari informasi yang kita dapat Artha Graha memberi makan 5 juta orang di Indonesia.
Wawancara dengan Karni Ilyas, Tommy Winata mengatakan selama Covid, tidak satupun karyawan yang di PHK, Artha Graha kucurkan 1,4 triliun melalui Yayasan Artha Graha dan berbagai bantuan selama Covid yang hanya diketahui bagi penonton Podcast Karni Ilyas.
Jika kita berbudi luhur maka perlu juga memiliki jiwa respek dan penghormatan. Seperti para martir dan raja-raja di masa lalu dikenal Helen tapi akhirnya juga mengalami transformasi menjadi pemimpin yang humanis, filantropis dan Memberi jaminan bagi warganya. Melihat Tommy (mungkin) beliau sudah berubah jadi nasionalis, patriotik, dan pilantrolis jika dilihat dari biodata di Wikipedia.
Geo Politik Ekonomi Selat Malaka
Selat Malaka yang strategis, berada di antara dua benua, Australia dan Asia, diapit dua samudera menjadi letak yang strategis sebagai lintasan mobilitas barang, jasa dan orang dari Eropa ke Pasifik dan Asia Timur, juga Australia ke Asia.
Apa pun alasannya Indonesia berada dalam ancaman. Kita diancam 13 musuh tetangga, merongrong wilayah batas terluar negara dijadikan pusat penyelundupan orang (trafficking), dan penyeludupan barang (smuggling) dan pusat transaksi narkotika.
Konflik kawasan mengancam geopolitik kita secara serius. Soal laut China Selatan, konflik psikologis Australia dan Asia, pergolakan bangsa Moro di Philipina, perjuangan bangsa Melayu di Jala, Pattani, dan Narathiwat di Thailand Selatan dan berbagai konflik regional yang mengitari kawasan ini.
Jangan anggap remeh karena sejarah dunia telah membuktikan bahwa sebuah negara baru lahir juga bubar tidak hanya karena perjuangan semesta tetapi juga momentum. Momentum di mana konflik kawasan mampu membentuk peta dan geopolitik baru.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa tidak mustahil bangsa ini lepas dari belenggu penjajahan jika tahun 1942 Jepang tidak menyerbu Honolulu. Amerika mengamuk mengusir Jepang melalui lautan Pasifik, bom atom jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Invasi Jepang di Indonesia dan Belanda terusik.
Adanya kekosongan kekuasan, Laksamana Maeda memerintahkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai, Panitia Persiapan Kemerdekaan. Konflik dan perang antara Blok Barat dan Timur telah menghasilkan ratusan negara-negara baru di abad-19, baik di Afrika, Asia juga di Amerika Latin. Oleh karena itu, jangan main-main.
Hari ini, juga China penetrasi ke Asia Tenggara, Singapura telah jatuh, kawasan Pasifik mulai diintai, kawasan Afrika, Sri Lanka dan Maladewa nyaris jatuh di tangan China. Artinya samudera India di ufuk barat Indonesia akan dikendalikan di tangan bangsa China, musuh bebuyutan India.
Bukan mustahil konflik di masa depan adalah Lautan Andaman, Teluk Benggala, dan Selat Malaka. Apalagi nilai historis bahwa bangsa Sino Tibetian dan Austro Asiatik di Thailand dan Myanmar memiliki sejarah yang panjang dengan bangsa mongol di Tiongkok.
Sudah mulai rencana penguasa dunia mau mematikan Indonesia dengan membuat terusan baru di Thailand Selatan, di Provinsi Urathani, Hatyai, Jala, Pattani, dan Narathiwat dari Laut Andaman ke Teluk Siam Muangthai. Dengan ini, pernahkah kita bayangkan bahwa pengusaha nasional tidak investasi besar di Batam maka Indonesia akan jadi penonton dan miskin? Mari kita berpikir untuk masa depan.
Solusinya
Dalam kaitan tersebut di atas kehadiran investasi di Batam perlu didukung, namun harus memperhatikan 9 aspek supaya semua dapat manfaat:
Pertama, izin atau perizinan harus transparan dan partisipatif dengan sudan diketahui warga dan mendapat persetujuan kuasa lahan.
Kedua, pengaturan perizinan hanya diserahkan kepada BP Batam sebagai penguasa lahan. Jangan lagi Pemda, KLHK juga Kementerian Agraria.
Ketiga, pengembangan investasi perlu memperhatikan soal legalitas dan aspek formal. Dalam hal ini menunjukkan lahan tersebut bersih dari perselisihan hak atas tanah, nilai kultur dan budaya (clear and clean). Itu merupakan kewenangan pemerintah.
Keempat, perlunya keterlibatan warga, sebagai warga berdampak tetapi juga sebagai pekerja-pekerja untuk membantu sense of belonging. Khususnya Melayu Asli, bukan pendatang.
Kelima, kehadiran perusahan perlu memberi nilai lebih dan keuntungan bagi masyarakat lokal. Ingat mereka adalah pemilik ulayat atas tanah, warisan nenek moyang yang memberi kontribusi berubah tanah dan sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks ini rakyat mesti disejajarkan dengan pemilik dana dan teknologi berada di horizon yang sama.
Keenam, pemerintah atau negara harus dapat keuntungan sebagai pemegang atau penguasa atas tanah. Perusahan hadir memberi kontribusi sesuai dengan keuntungan atau kerusakan. Kontribusi karena adanya penetrasi kapital dalam hal ini korporasi sebagai mitra pembangunan.
Ketujuh, karyawan mesti menjadi mitra yang simbiosis interdependent, saling menguntungkan dimana pengusaha (owner) sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) dan pekerja memberi produktivitas dan melipatgandakan keuntungan bagi pengusaha. Karena itu karyawan mesti sejahtera dan hak-haknya terpenuhi.
Kedelapan, pengusaha harus mendapat keuntungan jika tidak dapat untung maka untuk apa perusahan hadir.
Kesembilan, kelestarian lingkungan harus dijaga. Lingkungan penting bagi kehidupan makhluk hidup, kehadiran Perusahan tidak boleh merusak lingkungan. Perusahan harus memastikan ekosistem tidak dirusak, biota tetap terjaga.
Usaha di atas ekologi yang baik akan bermanfaat bagi kelangsungan hidup. Pembangunan usaha tidak berperspektif teknologis tetapi juga ekologis dan antropologis.
Kita dapat membayangkan ketika burung pipit yang kecil di atas pohon, tiba-tiba terjadi kebakaran, burung pipit tersebut terbang jauh mencari tempat yang aman dari kebakaran. Namun, karena kebakarannya meluas ribuan hektare maka burung pipit yang terbang bermil-mil tersebut juga mati karena tidak ada pohon yang hidup.
*) Penulis adalah Komisioner Komnas HAM 2012-2017
sumber: share link rmol.id, Rabu, 04 Oktober 2023, 19:42 WIB dari penulis kepada redaksi