Opini Hersubeno Arief, Nasib dan Masa Depan Umat Islam di Bawah Pemerintah Jokowi
Bagaimana nasib umat Islam di Indonesia seandainya Jokowi dinyatakan menang kembali pada Pilpres 2019, sudah mulai tergambar.
Jika Anda seorang pegawai negeri, atau profesional yang ingin menjadi pejabat di sejumlah BUMN, kebetulan beragama Islam, maka bersiap-siaplah untuk kecewa, atau sebaiknya mengurungkan niat.
Sebuah dokumen resmi pemerintah yang dilansir kantor berita Reuters dengan jelas memberi gambaran nyata. Dengan judul : Exclusive: After bruising election, Indonesia to vet public servants to identify Islamists.
Secara bebas judulnya dapat diterjemahkan, “Setelah babak belur dalam Pilpres, pemerintah akan melakukan litsus terhadap pegawai pemerintah yang terindikasi Islam radikal.”
Berita itu oleh Reuters dimasukkan dalam kategori ekslusif dan Top News. Dipublish Jumat (21/6/2019) pada pukul 4.08 pagi. Jadi ini merupakan info yang sangat baru.
Reuters mengaku mendapatkan dokumen dari seorang pejabat senior pemerintah. Dia merupakan bagian dari 12 orang tim resmi yang akan bekerja di sebuah lembaga pemerintah yang akan mempromosikan nilai-nilai Pancasila. Tim itu terdiri dari pejabat dan ahli.
Tidak disebutkan siapa nama sang pejabat, namun dalam artikel tersebut Reuters juga mengutip pernyataan Romo Benny Susetyo salah seorang anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP).
Pejabat senior pemerintah itu sebagaimana dikutip Reuters mengatakan, tim tersebut sedang merumuskan kebijakan skrining baru terhadap para calon pejabat sampai level eselon dua. “Presiden sangat percaya bahwa Islam radikal mengancam aparat negara dan juga masa depan demokrasi. Rencana pemeriksaan adalah prioritas besar baginya.”
Mereka akan memastikan bahwa para calon pejabat yang mempunyai kecenderungan pemikiran Islam radikal tidak akan dipromosikan. Presiden Jokowi, kata sang pejabat, bermaksud menjadi bagian yang mewariskan Indonesia tetap menjadi model Islam yang moderat.
“Presiden sangat percaya bahwa Islam radikal mengancam aparat negara dan juga masa depan demokrasi. Rencana pemeriksaan adalah prioritas besar baginya.”
Presiden, tambah pejabat itu, ingin sebelum pemilihan berikutnya pada 2024, elemen garis keras dan radikal disingkirkan untuk mencapai demokrasi yang lebih sehat,” kata pejabat itu.
Kebijakan itu akan diberlakukan mulai akhir tahun ini. Artinya tak lama setelah Jokowi dilantik untuk periode kedua pada bulan Oktober 2019. Ada 10 kementerian besar dan sejumlah BUMN yang para pejabatnya harus melewati program penelitian Khusus (litsus).
Kementerian yang akan ditargetkan sebagai prioritas termasuk Departemen Keuangan, Pertahanan, Kesehatan, Pendidikan, Urusan Agama, dan Pekerjaan Umum.
Perusahaan-perusahaan prioritas termasuk perusahaan energi negara Pertamina, Garuda Indonesia, bank pemerintah terbesar BRI, perusahaan PT Antam dan Timah, dan dua perusahaan media pemerintah.
Para pejabat yang tidak lolos litsus, tambah pejabat tadi, tidak akan dipecat. Namun dipastikan posisi mereka akan mentok dan tidak akan pernah naik pangkat dan memegang posisi penting.
Sengaja dibocorkan
Melihat format berita dan kutipan yang muncul dalam isi berita, dokumen “rahasia” ini tampaknya memang sengaja dibocorkan. Reuters mengutip pernyataan Romo Benny Susetyo, pemerintah berharap ada semacam reaksi balik, terutama dari kalangan birokrasi dan para aktivis.
Jadi ini semacam test case untuk menguji seberapa besar kedalaman air. Kebijakan ini sangat disadari akan menimbulkan penilaian bahwa rezim Jokowi sama dengan rezim otoriter Orde Baru.
Kesetiaan kepada idiologi negara adalah wajib dan disamakan dengan kesetiaan kepada rezim penguasa.
“Kami sadar bahwa Pancasila digunakan di masa lalu sebagai alat untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, tetapi kami percaya itu adalah payung yang melindungi semua orang Indonesia dan merupakan alat untuk menyatukan melawan virus radikalisme,” tegas Romo Benny Susetyo.
Kebijakan ini bila sampai benar-benar diterapkan, implikasinya sangat serius. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh pemerintah. Pertama, seperti dinyatakan Romo Benny akan sulit untuk membantah bahwa rezim Jokowi sama dengan rezim Orde Baru.
Hal ini jelas tidak boleh terjadi karena sejak reformasi Indonesia menyepakati memilih jalan demokrasi dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bukan demokrasi prosedural, apalagi artifisial.
Selain kedaulatan rakyat (people sovereignity), fitur utama demokrasi adalah kebebasan rakyat dalam mengekspresikan dirinya, termasuk kebebasan dalam beragama. Hal itu juga sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 45.
Mencurigai umat Islam, menjadikan umat Islam sebagai musuh adalah stereotipe Orde baru yang kemudian coba diperbaiki oleh Soeharto pada masa akhir jabatannya.
Kedua, menggunakan Pancasila sebagai indikator tingkat loyalitas seseorang kepada bangsa dan negara, namun bersamaan dengan itu menilai seseorang yang menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar sebagai radikal, jelas sebuah paradoks.
Kerancuan berpikir yang salah kaprah.
Sila pertama Pancasila dengan jelas menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya seorang warga negara yang baik, adalah orang yang menjalankan agamanya dengan baik dan mengagungkan ke-esaan Tuhan.
Ketiga, hanya menjadikan umat Islam sebagai sasaran skrining, litsus sangat bertentangan dengan semangat yang disampaikan oleh Romo Benny. Pancasila sebagai payung untuk melindungi rakyat Indonesia.
Radikalisme, ataupun stigma-stigma negatif lainnya, bukanlah monopoli umat Islam. Sifat itu melekat pada seluruh umat agama-agama lainnya. Keempat, kebijakan itu akan menjadi sebuah fakta nyata dan pembenaran bahwa rezim Jokowi anti umat Islam sebagaimana dituduhkan dan dipersoalkan selama ini.
Kelima, tujuan pemerintah menyatukan kembali bangsa yang terbelah tidak akan terwujud, karena kebijakan ini justru malah kian memperparah pembelahan yang terjadi. Keenam, alih-alih mematahkan perlawanan umat, tak perlu diragukan lagi perlawanan umat Islam akan semakin mengeras. Soal ini pemerintah harus benar-benar sangat berhati-hati dan belajar dari sejarah.
Jika benar tujuan dari dibocorkannya dokumen ini untuk menjajaki seberapa dalamnya air (how deep the water), seberapa panasnya air (how hot the water), kalau boleh menyarankan, sebaiknya segera saja dibatalkan. When you’re testing to see how deep water is, never use two feet Benjamin Franklin.
Nasehat dari Benjamin Franklin (1706-1790) seorang pemimpin revolusi dan penandatangan kemerdekaan AS perlu direnungkan “When you’re testing to see how deep water is, never use two feet.”
Jika Anda ingin menjajaki seberapa dalamnya air, please jangan gunakan kedua kaki. Anda bisa kelelep dan hanyut terbawa arus air deras. Sebuah penelitian menunjukkan, kodok akan langsung melompat ketika dimasukkan ke dalam air mendidih. Tapi kodok akan mati ketika air dipanaskan pelan-pelan.-end
sumber: WA Group KAHMI Cilosari 17, kiriman Ahmad Yani (diteruskan), Selasa (25/6/2019)
[22/06, 19:07] 2121: Dulu Litsus untuk mencegah antek PKI, skrg Litsus dilakukan oleh liberalis, Kristen Radikal dan antek PKI untuk mencegah umat Islam yang cinta agamanya dengan dalih “Islam Radikal”