NasDem Siap Bertempur, Koalisi Besar Dinilai Bentuk Kecemasan Jokowi pada Koalisi Perubahan yang Usung Anies

Grafis dengan kolase foto Ketua umum Demokrat AHY, Ketua umum NasDem Surya Paloh, dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang mengusung Anies Baswedan sebagai Capres 2024. Foto: internet

Pengamat politik dari Universitas Andalas Sumatera Barat (Sumbar) Najmuddin Rasul mengatakan, keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pembentukan Koalisi Besar justru menjadi titik lemah bagi koalisi tersebut. Najmuddin menyebut, pemilih muda antara 17-40 tahun akan lebih senang dengan figur calon presiden (capres) atau koalisi yang tidak ada campur tangan petahana.

semarak.co-Koalisi Besar kemungkinan terdiri dari gabungan Koalisi Indonesia Raya (KIR) berisi Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang gabungan Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Bacaan Lainnya

“Anak muda yg berumur antara 17-40 tahun yg berjumlah 50 persen kurang tertarik dengan Koalisi Besar. Faktor keterlibatan Jokowi bisa juga sebagai kelemahan Koalisi Besar ini,” ulas Najmuddin, Ahad (9/4/2023) dilansir muslimtrend.com, 2023-04-10,05:22.

Kelima partai dalam koalisi besar ini diketahui sama-sama partai yang sekarang berada di dalam pemerintahan Jokowi. Najmuddin menyebut koalisi ini terlalu gemuk dan sampai saat ini masih suit menentukan siapa capres dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung.

Figur Prabowo yang dianggap berpeluang besar dinilai Najmuddin sudah tidak menarik lagi bagi pemilih muda sejak mantan Danjen Kopassus itu menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi. Lalu ikut campurnya Jokowi dalam koalisi ini, lanjut Najmuddin juga menjadi titik lemah.

“Karena pemilih muda sudah banyak yang kecewa dengan pemerintahan Jokowi selama 9 tahun terakhir. Koalisi Besar ini akan sulit mengajak PDIP bergabung. Karena PDIP punya bargaining yang kuat dibanding partai-partai Koalisi Besar itu. Ini tentu PDIP tidak bisa diatur dan dijinakkan oleh Prabowo,” ujar Najmuddin.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Algoritma Aditya Perdana mengatakan, dalam kacamata elite, kebutuhan koalisi besar ingin dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, perlunya capres dan cawapres yang dapat melanjutkan agenda pembangunan Jokowi.

Kedua, adanya kebutuhan untuk dapat memenangkan pilpres dengan peluang besar yang ditopang dengan elektabilitas dari capres-cawapres yang tinggi. Sehingga, ada peluang agar pelaksanaan pilpres hanya dilakukan satu ronde saja.

Argumentasinya tentu terkait efisiensi anggaran pemilu. Namun, faktor capres dan cawapres dalam penentuan koalisi besar penting. Tidak mudah mencocokkan capres dan cawapres dengan peluang keterpilihan yang baik berdasarkan banyak survei.

“Misalkan, memposisikan Puan Maharani sebagai capres yang disandingkan cawapres siapapun merupakan tidak mudah untuk meningkatkan peluang kemenangan koalisi karena elektabilitas Puan Maharani relatif rendah,” kata Aditya, Kamis (6/4/2023).

Hal yang sama turut dialami dengan Airlangga Hartarto yang memiliki posisi tidak menguntungkan. Sedangkan, peluang Ganjar disandingkan dengan cawapres siapapun yang populer tentu punya peluang bagus karena elektabilitas Ganjar tinggi.

Masalahnya, dalam PDIP belum ada putusan dari kedua nama yang resmi dicalonkan. Padahal, PDIP memposisikan diri sebagai faktor penting nanti bila bergabung. Hal yang menarik pula ada semacam dukungan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Berdasarkan survei Algoritma terakhir, capres yang diyakini dapat melanjutkan agenda Jokowi bagian dari koalisi Ganjar dan Prabowo. Namun, pemilih merasa dukungan yang dilakukan Jokowi tidak serta merta akan 100% diikuti pemilih.

Dosen Ilmu Politik Fisip UI ini mengingatkan, mereka akan melihat terkait kapasitas dan rekam jejak capres. Dalam konteks itu, dukungan tidak jadi pertimbangan utama pemilih. Karenanya, ia merasa, koalisi besar memang dapat terwujud. “Namun, itu tidak mudah dalam koalisi karena ada banyak dinamika yang tentu harus diselesaikan,” ujar Aditya.

Sebelumnya, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengakui, rencana pembentukan koalisi besar atau Koalisi Kebangsaan dikendalikan Presiden Jokowi. Hal itu disampaikan Zulkifli usai bertemu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo di kediaman sang jenderal di Kawasan Kebayoran Jakarta Selatan, Sabtu (8/4/2023).

Zulkifli awalnya mengatakan, negara besar seperti Indonesia tidak bisa diurus satu atau dua pihak saja. Perlu keterlibatan banyak partai politik untuk membuat sebuah koalisi besar atau koalisi kebangsaan. “Karena perlu kebersamaan kita untuk memajukan negeri ini. Itulah salah satu poin penting pertemuan hari ini. Tentu semuanya di bawah orkestra komando Pak Jokowi,” klaimnya.

Zukifli mengaku dirinya dan Prabowo membahas bagaimana caranya memenangkan Indonesia atau memenangkan komitmen kebangsaan dalam gelaran Pilpres 2024. Peralihan kekuasaan dari Jokowi ke Presiden selanjutnya harus berjalan mulus sehingga tidak membuat rakyat gaduh.

“Nah bagaimana Indonesia menang, tadi yang kami sampaikan bareng-bareng, kebersamaan, komitmen kebangsaan di bawah komando Pak Jokowi sebagai jalan tengah nanti untuk majukan Indonesia,” kata Zulkifli yang juga Menteri Perdagangan (Mendag).

Adapun, Prabowo mengatakan, pertemuannya bersama Zulkifli selama sekitar satu jam itu mencari format untuk menghadapi Pilpres 2024. Prabowo ingin format koalisi yang menguntungkan semua pihak dan tidak menimbulkan perpecahan usai Pilpres.

“Kita sekarang yang harus capek mencari format supaya rakyat itu tenang, supaya rakyat menghadapi peralihan kekuasaan ini dengan sejuk. Ini yang kita inginkan jalan tengah. Kita ini suatu kesejukan kita ini suatu moderasi gak usah jor-joran kalau bersaing. Biasa-biasa saja,” kata Prabowo yang juga Menteri Pertahanan (Menhan).

Koalisi besar ini awalnya dibicarakan saat Ketua Umum Gerindra, PKB, Golkar, PAN, PPP menggelar pertemuan tertutup dengan Presiden Jokowi di Kantor DPP PAN, Ahad (2/4/2033). Jokowi menyebut kelima partai itu cocok bergabung.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto bahkan mengklaim, sejumlah partai nonparlemen siap bergabung dengan koalisi besar yang akan dibentuk. Ia pun memastikan seluruh partai yang akan bergabung untuk membentuk koalisi besar dipastikan tetap solid.

“Masih ada partai nonDPR siap bergabung dengan koalisi besar. Lima partai yang akan membentuk koalisi partai telah bertemu dan berbicara,” ujar Airlangga di sela-sela acara pelepasan fungsionaris Partai Golkar se Jawa Barat di Hotel Pullman, Ahad (9/4/2023).

Selain konsolidasi yang dilakukan, Airlangga memastikan bahwa seluruh anggota koalisi dalam kondisi solid. “Koalisi besar sudah bicara dengan lima partai, tentu kita konsolidasikan dulu. Koalisi besar tentu nanti di antara anggota semakin,” imbuh Airlangga dilansir republika.co.id.

Sementara Politisi Partai NasDem Saan Mustopa menyatakan Koalisi Perubahan untuk Persatuan siap berkompetisi melawan koalisi besar jika nantinya betul-betul terbentuk. “Kalau mereka bergabung, pada pinsipnya kita siap berkompetisi,” ujar Saan kepada Media Indonesia, Kamis (6/4/2023) dilansir hajinews.id, 09/04/2023.

Menurutnya, hadirnya koalisi besar bukanlah sebuah masalah. NasDem justru menghormati sikap partai-partai yang bergabung di dalamnya. “Koalisi Indonesia Bersatu, Koalisi Indonesia Raya, PDIP bergabung, ya kita hormati,” tutur Saan.

Kendati demikian, hingga kini, Koalisi Perubahan masih terus membuka pintu bagi partai politik yang ingin bergabung. Meskipun saat ini, dengan komposisi tiga partai yaitu NasDem, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat, poros sudah memiliki cukup kursi untuk maju di Pilpres 2024.

“Kita masih membuka pintu kalau ada yang mau bergabung. Kalau pun tidak ya tidak apa-apa. Kita sudah mencapai batas ambang untuk bergabung Pilpres, sudah 23% lebih,” ucap Saan yang mantan politisi Partai Demokrat dan anggota DPR RI dari NasDem.

Di bagian lain wacana pembentukan Koalisi Besar dianggap sebagai bentuk kekhawatiran melawan koalisi kecil pengusung Anies Baswedan, yaitu Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang dibentuk Nasdem, Demokrat, dan PKS.

“Situasi ini, menunjukkan kekhawatiran yang berlebihan, terhadap rivalitas yang muncul dan ini telah mengemuka bahkan Presiden sendiri yang merestui Koalisi Besar,” kata pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Dedi Kurnia Syah, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (9/4/2023).

Dedi menyebut, Presiden Joko Widodo merestui pembentukan Koalisi Besar dilatarbelakangi dukungannya kepada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menjadi calon presiden, bukan kepada Anies Baswedan.

“Jokowi secara jelas memihak berlebihan pada Prabowo, Ganjar, dan tidak pada Anies. Hal ini menguatkan dugaan bahwa Koalisi Besar terkesan hanya untuk melawan satu koalisi kecil yang usung Anies,” ujar Dedi.

Ia juga menyayangkan jika KIB melebur ke Koalisi Besar. Padahal ada Airlangga Hartarto yang potensial menjadi capres. “Padahal, KIB dengan suara Golkar dan ketokohan Airlangga, mereka punya kelayakan mengusung kandidat sendiri. Pun dengan PDIP yang punya kader kuat seperti Ganjar dan Puan,” demikian Dedi. (net/mtc/rmo/hji/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *