MK Pasca Pemanggilan 4 Menteri: Analisis “Metadata”

(dari kiri ke kanan) Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy hadir di sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (5/3/2024). Foto: internet

Oleh Agus Wahid *)

semarak.co-Tampak sumringah bahkan langsung sesumbar: pemohon sengketa pemilihan presiden (pilpres) 2024 akan kalah. Itulah cuplikan narasi kuasa hukum 02 seusai mendengarkan keterangan empat menteri yang dihadirkan ke sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada 5 April 2024.

Bacaan Lainnya

Berlebihankah dan atau hanya psy war kuasa hukum 02 terhadap kuasa hukum para pemohon (01 dan 03)? Memang, kita dapat memaklumi kesumringahan kuasa hukum 02 bahkan Jokowi.

Bagaimana tidak? Ketiga menteri yang dihadirkan, yaitu Menko PMK Muhajir Effendi, Menko Perekonomian Erlangga Hartarto dan Menkeu Sri Mulyani – secara langsung – terkesan kuat membenarkan tindakan Jokowi terkait distribusi bantuan sosial (bansos).

Kesan ini relatif menggugurkan dugaan abuse of power yang didalilkan pemohon dan kesaksian para ahli 01 dan 03. Kesan ini pun diperkuat oleh sikap hakim MK Arsul Sani. Bahwa, penyaluran bansos memang merupakan kebijakan yang tepat. Penting bagi kepentingan kemanusiaan.

Sementara Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini menyampaikan data yang sesunguhnya dapat dinilai memberatkan Jokowi. Kita perlu menganalisis persoalan politisasi bansos itu dalam perspektif keuangan negara. Data yang pernah tersampaikan ke publik, Menkeu pernah menyatakan dana bansos dari APBN telah habis pada Juni 2023.

Hal ini mengundang pertanyaan tersendiri bagaimana menjelaskan pengucuran dana jelang akhir tahun 2023 hingga hari pencoblosan pemilu? Publik melihat jelas penggerojogan dana tanpa batas yang kita kenal dengan “gentong babi”. Berapa triliun rupiah nilainya?

Dalam kesempatan sidang MK, Sri Mulyani menyampaikan, Presiden punya dana taktis operasional senilai Rp 148 milyar/bulan (atau per tahun). Tak dijelaskan secara pasti. Dan jika mendasarkan dana operasional presiden Rp 148 milyar (katakanlah per bulan), maka totalnya hanya Rp 1,776 triliun per tahun.

Data angka ini menjadi persoalan serius jika kita analisis penggelontoran dana sebesar Rp 497 triliun untuk kepentingan bansos yang sudah habis pada Juni 2023 itu. Sebelumnya, pasca kondisi keuangan negara sudah kritis pasca Juni 2023, Sri Mulyani mengeluh kepada Megawati.

Intinya, harus mengalokasikan 5% dari anggaran kementerian teknis dan nonteknis. Andai diasumsikan dana seluruhnya dari APBN, maka 5% dari besaran angka Rp 3.061 triliun, hanya sebesar Rp 153,05 milyar.

Jika ditotal antara dana 5% yang “diembat” dari kementerian teknis dan nonteknis plus dana operasional presiden hanyalah Rp 1,979 triliun. Lalu, bagaimana untuk menjelaskan penggelontoran dana bansos pasca Juni 2023 dan “gentong babi” yang bernilai trilunan rupiah itu?

Dari manakah dana makan siang dan susu gratis selama sekitar dua bulan yang bernilai triliunan rupiah itu? Sekedar mengutip ulang, Gibran pernah sampaikan jumlah “penikmat” makan siang dan susu gratis untuk kisaran 200 juta anak.

Meski data jumlah anak yang disampaikan Gibran ngawur, namun dijadikan pijakan alokasi anggaran. Jika perhari/peranak bernilai Rp 50.000, maka konsekuensi dana yang harus dikeluarkan selama sekitar 90 hari bernilai Rp 90.000.000.000.000,- (sembilan puluh triliun rupiah).

Total angka pengeluaran itu sangat tidak matching dengan akumulasi dana operasional presiden per tahun, meski juga ditambahkan dengan 5% dari dana APBN milik kementerian teknis dan nonteknis. Sebuah renungan, apakah Prabowo mengeluarkan dari kantong pribadinya? Jika ya, Prabowo sendiri hanya memiliki dana cash kisaran Rp 2 triliun.

Rela miskin hanya untuk “menyogok” konstituen? Sangat diragukan. Atau, apakah Hasyim Djoyohadikusumo juga terpanggil untuk menghandlenya? Jika ya, Hasyim sendiri hanya memiliki dana kisaran Rp13 triliun.

Atau, apakah Jokowi sekeluarga juga mengeluarkan dana taktis untuk keperluan bansos? Jika ya, pun hanya memiliki kisaran Rp 8 triliun. Atau, ada kucuran dari kaum aseng (Tiongkok) yang konon telah disediakan kisaran Rp 1.000 triliun?

Jika pihak asing (aseng) menggelontorkan dana untuk kepentingan pilpres di tanah air ini, jelaslah itu melanggar UU. Tergolong kriminal (pidana) serius. Layak diriset oleh berbagai kalangan pemangku negeri ini, termasuk elemen rakyat. Namun, jika semua dana Prabowo, Hasyim dan keluarga Jokowi ditotal, nilainya hanya kisaran Rp25 triliun.

Sangat kurang untuk jabanin makan siang dan susu gratis. Makin besar kontraksinya jika dikaitkan dengan gempuran “gentong babi” yang nilainya tak terhingga. Maka, dari sisi data pengeluaran dana taktis demi Gibran dan atau paslon 02, dapat disimpulkan secara gamblang: terdapat pengemplangan terhadap keuangan negara yang tidak kecil nilainya.

Sangat jelas melanggar UU Keuangan Negara dan juga UU APBN 2023, apalagi pengemplangannya tanpa persetujuan DPR. Karenanya – secara simplistis – kita dapat melihat jelas praktik abuse of power yang begitu kuat, ceto welo-welo dan memaksakan kehendak. Dumeh kuwoso.

Inilah metadata angka yang tak dipahami kuasa hukum 02, sehingga berseloroh secara stupid saat jumpa pers pasca persidangan MK pada 5 April itu. Apakah selorohnya sebagai dagelan? Atau, terpaksa harus ndagel untuk mengelabuhi kepanikannya? Super aneh.

Hal penting yang menentukan nasib bangsa-negara ke depan dijadikan dagelan. Tidak lucu. Masalah abuse of power itu pun masih bisa dijelaskan lebih jauh dalam konteks distribusi bansos yang penuh muatan politik.

Jika memang, bansos merupakan kebijakan yang tepat sesuai UU dan konstitusi seperti yang disampaikan Muhajir Effendi, Sri Mulyani, Erlangga dan bahkan dibenarkan oleh Arsul Sani selalu hakim MK, di mana letak tepatnya ketika di lapangan dijumpai fakta distribusi yang diskriminatif?

Bukankah bansos menjadi hak seluruh rakyat miskin dan jelas kriterianya dan data penerimanya? Mengapa para penerima bansos hanya untuk kalangan pendukung 02? Mengapa kantongnya harus berlogo paslon 02?

Bukankah bansos dalam bentuk barang (beras) – seperti yang dituturkan Menso Tri Rismaharini – telah dihentikan sejak 2022 dan diganti dengan transfer uang ke rekening para penerima secara langsung sesuai data kemiskinan obyektif?

Bukankah, pembagian secara langsung di hadapan Istana sudah sangat tidak sesuai dengan kriteria para penerima bansos? Analisis metadata angka dalam kaitan politisasi bansos menggambarkan praktik abuse of power sang Jokowi.

Sulit dibantah secara akal sehat. Karenanya, meski para hakim MK tak terlihat proaktif, tapi – insya Allah – mencermati dan memahami metadata tersebut, sehingga dapat mengambil kesimpulan yang cerdas.

Akhirnya, secara over all, serangkaian perjalanan sidang MK untuk mengadili sengketa pilpres dapat kita saksikan, “bandul” keberpihakan for the justice akan hadir pada output MK kali ini. Seratus persen optimis? Eh nanti dulu. Di hadapan mereka, terdapat kekuatan eksternal yang terus mengintai. Bisa nyawa yang akan dibidik. Atau, serangan jutaan dollar yang siap menghampiri.

Jika para hakim MK mau berkompromi dengan para pecundang negara, maka revolusi tak terelakkan. Yang akan disasar dalam amuk mass, bukan hanya rezim dzalim ini dan seluruh anteknya, tapi para hakim MK kali ini yang bersekongkol pun akan menjadi sasaran.

Resikonya juga nyawa. Bukan hanya dirinya, tapi seluruh keluarganya. Sekarang hanya dua opsi: mati sebagai pengkhianat bangsa dan negara, atau pejuang keadilan bagi rakyat? Para hakim yang berakal sehat, bernurani, masih beriman dan commited to democracy yang lebih bercahaya demi masa depan bangsa-negara, pasti akan memilih “setia bersama rakyat”.

Pilihannya ini pun akan menjadikan Allah Yang Maha Adil bangga dan ta`dzim kepada anasir hakim yang adil, senantiasa berpihak pada kejujuran dan kebenaran. Anda dan atau kalian masuk dalam golongan penegak hukum yang ahli surga. Plaese noted. Hadits menyampaikan itu. Bukan opini hoax.

Tasikmalaya, 9 April 2024

*) Penulis: analis politik

 

sumber: WAGroup SATGAS BAKORDA DKI JAKARTA (postRabu17/4/2024/spartangym)

Pos terkait