Karena Miliki Brand, Kemenkop dan UKM Mediasi Warteg Buka di Malaysia

JAKARTA-Menteri Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga mengatakan, kementeriannya mendorong koperasi yang menaungi pengusaha Warung Tegal untuk membuka warteg di Malaysia, Januari 2017 nanti. Karena Warteg ini brandnya cukup bagus dan besar. Apalagi WNI banyak sekali di Malaysia. Kemenkop dan UKM, lanjut Puspayoga, sudah ketemu koperasi Warteg. Mereka tidak minta bantuan dana, tapi mediasi dengan pemerintah Malaysia agar mendapat kemudahan dalam urusan perizinan usaha. Karena pemerintah Malaysia cukup ketat dalam pemberian perizinan usaha, terutama masalah kehalalan.

“Peran pemerintah untuk pembukaan warteg ini hanya sebagai mediator. Kami akan bantu mediasi. Ternyata, Koperasi Warteg tak perlu uang. Mereka luar biasa jiwa wirausahanya. Nantinya, yang membuka warteg pelaku usaha dari koperasi warteg. Koperasi warteg sudah melihat tempatnya di Malaysia dan kita memediasi itu,” ujar Puspayoga di gedung Kemenkop dan UKM, Kuningan, Jakarta Selatan,Kamis (29/12).

Menurut Puspayoga, hadirnya warteg di negeri jiran, semakin menunjukkan UMKM kuliner Indonesia dapat bersaing dengan UMKM dari negara lain. “Kami dan Koperasi Warteg berencana mendirikan banyak warteg di Malaysia nantinya. Warteg adalah warung makan yang sudah sangat dikenal masyarakat Indonesia dengan ciri khas menunya. Apalagi, warga negara Indonesia yang bekerja dan tinggal di Malaysia cukup banyak,” ulang mantan wakil gubernur Bali.

Deputi Produksi dan Pemasaran Kemenkop dan UKM I Wayan Dipta mengatakan, pihaknya memberikan bantuan berupa insentif bagi para pelaku UMKM untuk mendapat sertifikasi halal. Masing-masing pelaku UMKM menerima bantuan sebesar Rp 2,5 juta. “Itu untuk sertifikatnya saja. Kita tidak sampai prosesnya. Kalau prosesnya mahal,” ujar Wayan di sela mendampingi Menkop dan UKM.

Itu, lanjut Wayan, merupakan bantuan pendanaan maksimal yang bisa diberikan pihaknya untuk mendorong pelaku UMKM melakukan sertifikasi halal. Meski demikian, ia mengaku telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk disederhanakan. Sebab berdasarkan UU Nomor 33/2014 tentang jaminan produk halal, prosesnya terlalu lama. Bahkan bahan bakunya juga harus disertifikasi halal yang memberatkan pelaku UMKM.

“Kalau itu sudah kita perjuangkan. Kesulitan tersebut membuat banyak pelaku UMKM enggan melakukan setifikasi halal. Tahun ini ada 75 UMKM yang menerima dana insentif tersebut. Umumnya, yang banyak minta itu makanan minuman,” ujarnya.

Kebanyakan, pelaku UMKM tersebut berasal dari Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan beberapa dari Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Pemberian insentif kepada 75 pelaku UMKM tersebut berdasarkan dari adanya permintaan dari seluruh daerah Indonesia. Ia mengakui, sejauh ini sangat sedikit yang mengusulkan diri untuk mendapatkan sertifikasi halal, “Usulannya sedikit kita yang aktif nyari,” kata dia.

Wayan mengakui, adanya sertifikasi halal dapat memberi nilai tambah kepada UMKM tanah air. Dia mengharapakan, adanya sertifikat halal akan mampu membuka peluang pasar ekspor produk UMKM Indonesia. Tahun depan, ditargetkan ada 750 UMKM yang melakukan sertifikasi baik kehalalan, Standar Nasional Indonesia (SNI), sertifikasi keamanan pangan Hazard Analysis & Critical Control Point (HACCP) dan sertifikasi lainnya.


Asal mula warteg

Saat ini, keberadaan Warteg tidak hanya terpusat di kota-kota besar, tetapi juga berdiri di kota-kota kecil di seluruh Nusantara. Bahkan, pemerintah mendorong agar warteg bisa segera mendunia.
Tokoh warteg Asmawi menuturkan kepada Liputan6.com pada awal September 2016 lalu bahwa warteg muncul sekitar 1960-an. Kemunculannya seiring dengan pembangunan infrastruktur di Ibu Kota yang begitu pesat setelah 20 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

Saat itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno berupaya mempercepat pembangunan infrastruktur ibu kota dengan cepat. Kesempatan itu dimanfaatkan warga Tegal untuk mengadu nasib di Jakarta. Mereka saat itu kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan dan tinggal di lokasi proyek dengan membuat bedeng. “Di sela pekerjaannya, bagi sejumlah istri kuli bangunan mencoba untuk berbisnis kuliner dengan menjual nasi ponggol di lokasi proyek,” ucap Asmawi.

Nasi ponggol merupakan hidangan makanan nasi putih dengan lauk makanan sambal tahu dan tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Menu itu merupakan makanan khas Tegal yang sudah turun temurun dan diperkirakan ada sejak setengah abad yang lalu.

Dari segi harga, nasi ponggol cukup murah meriah, lezat dan mengenyangkan. Maka itu, nasi ponggol menjadi favorit para pekerja proyek bangunan yang pekerjaannya menguras keringat. “Karena nasi ponggol sudah dikenal warga Tegal, maka bisnis kuliner itu pun jalan dan terus berkembang. Dari berjualan di pojok-pojok lokasi proyek, hingga akhirnya memiliki warung sendiri,” kata dia.

Seiring waktu, warteg dibuka tidak hanya di sekitar lokasi proyek-proyek pembangunan saja. Waktu mulai merambah ke pemukiman-pemukiman. Memasuki awal 1990-an, bangunan warteg yang bangunnya berbentuk bedeng darurat berubah menjadi semi permanen. Namun, ciri khas bangunan warteg yang berukuran 3×3 meter dan bagian depan bercat biru masih kerap dipertahankan. “Kalau sekarang ini warteg sudah sangat berkembang, bahkan sampai beberapa di antaranya sudah menjadi rumah makan. Tapi, masih ada juga yang bentuknya masih seperti biasa yang sederhana,” katanya. (lin/berbagai sumber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *