Menteri HAM Tolak Usulan Stafsus Jadi Penjamin Tersangka Perusakan Rumah Retreat di Sukabumi

Menteri HAM Natalius Pigai di kantornya gedung Kementerian HUKUM dan HAM kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Foto: internet

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan Kementerian HAM tidak akan menindaklanjuti usulan staf khususnya Thomas Harming Suwarta terkait permintaan menjadi penjamin bagi tersangka kasus perusakan rumah retreat di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat (Jabar).

Semarak.co – Pigai menyatakan bahwa tindakan yang bertentangan dengan hukum merupakan perbuatan individu yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai Menteri HAM RI, Pigai mengklaim tidak akan menindaklanjuti usulan spontanitas Thomas S Suwarta.

Bacaan Lainnya

“Karena itu mencederai perasaan ketidakadilan bagi pihak korban. Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan dari individu/personal yang bertentangan dengan Pancasila,” tulis Pigai dalam akun pribadinya di X saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (6/7/2025).

Hingga saat ini, Kementerian HAM belum mengambil sikap resmi karena masih menunggu laporan dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkumham Jabar. Sampai saat ini kami belum mengeluarkan surat atau sikap resmi dari Kementerian karena sedang menunggu laporan dari Kanwil Jawa Barat. Demikian untuk menjadi perhatian.

Sebelumnya, Stafsus Menteri HAM Thomas Harming Suwarta menjelaskan, penangguhan tersangka kasus perusakan rumah singgah di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), baru sebatas usulan. Dia mengatakan, belum ada langkah resmi apa pun dari Kementerian HAM.

“Ini baru sebatas usulan, saya memberikan masukan saja setelah saya dan tim melihat dan menemukan dinamika yang ada di lapangan. Sampai saat ini belum ada langkah resmi apa pun atau surat dari kementerian terkait usulan tersebut,” kata dia dilansir dari Antara, Sabtu (5/7/2025).

Lebih jauh Menteri HAM Pigai menyebut, revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM bakal menguatkan keberadaan Komisi Nasional (Komnas) HAM. Penguatan itu sesuai amanat Prinsip Paris untuk Lembaga HAM Nasional (NHRI) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Ini adalah amanat dari PBB melalui Prinsip Paris. Karena itu, di dalam (revisi) undang-undang ini kami akan mendudukkan komisi nasional tersebut berdasarkan amanat Prinsip Paris, yaitu lembaga yang benar-benar independen,” kata Natalius Pigai konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Kamis (3/7/2025).

Menteri HAM Pigai menjelaskan, Prinsip Paris menegaskan bahwa Komnas HAM merupakan pengawas independen atas kegiatan pembangunan pemerintah. Melalui revisi UU HAM, penguatan terhadap tugas pengawasan yang dimiliki Komnas HAM akan diperkuat demi menghadirkan keadilan bagi rakyat.

“Apakah komisi HAM akan diperkuat atau diperlemah? Revisi undang-undang adalah dalam rangka memberi penguatan, prinsipnya, bukan dalam rangka memperlemah. Ini bahasa yang perlu diketahui, memberikan infus, memberikan penguatan,” ujarnya.

Namun, Pigai belum bisa membeberkan bentuk penguatan yang akan diberikan kepada Komnas HAM. Sebab, akan dibicarakan setelah draf revisi UU HAM disampaikan kepada publik. Revisi Diperlukan Dalam kesempatan itu, Pigai juga menegaskan bahwa revisi UU HAM diperlukan.

Sebab, undang-undang tersebut sudah berusia lebih dari dua dekade dan banyak isinya yang tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Terkait dengan revisi Undang-undang 39 tahun 1999. Mengapa harus revisi?

“Karena memang sudah 24 tahun. Karena itu banyak hal yang tidak up to date dengan perkembangan hak asasi manusia, baik yang berkembang di seluruh dunia maupun juga di Indonesia,” ujarnya.

Menteri HAM Pigai juga menyebut, revisi ini merupakan bagian dari langkah penguatan instrumen HAM yang sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Poin Penting Selain penguatan Komnas HAM, Pigai mengungkapkan, poin penting lain dalam revisi yang diusulkan adalah menyesuaikan perubahan pola pelanggaran HAM.

Dia menjelaskan bahwa aktor pelanggar HAM kini tidak hanya datang dari negara (state actors), tetapi juga dari kalangan non-negara seperti korporasi maupun individu. “Selama ini pelaku pelanggaran HAM adalah negara. Tapi, sekarang mengalami pergeseran ke non-state actors dan individual,” katanya.

Pigai menyebut, aktor seperti korporasi perlu dimasukkan dalam regulasi karena berpotensi melakukan pelanggaran HAM berskala besar, termasuk lewat aktivitas bisnis yang eksploitatif. “Di Indonesia, isu bisnis dan HAM baru masuk ke dalam Perpres. Sementara pelaku bisnis belum diatur dalam UU HAM,” ujarnya.

Demikian pula dengan pelaku individu yang melakukan pelanggaran HAM secara terencana, sistematis, dan dalam skala luas. Menurut Pigai, mereka perlu diakomodasi sebagai aktor dalam UU yang baru.

Lebih lanjut, Pigai mengungkapkan, daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU HAM di Kementerian HAM sudah selesai sekitar 60 persen dan 40 persen sisanya akan disempurnakan dari masukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.

“Kami sudah meminta 25 kementerian dan lembaga, termasuk komisi-komisi untuk memberikan masukan kepada kami. Baru lima yang memberikan masukan. Hampir 20-an, tunggu memberikan masukan. Ini masukan di draf awal, tapi bahwa berikut kita sampaikan drafnya kepada publik,” katanya. (net/kpc/gle/smr)

Pos terkait