Menkes Disomasi WNA untuk Hentikan Vaksinasi dengan Pedoman WHO, Ombudsman Surati Kemenkes

Ilustrasi vaksin Covid-19. foto: internet

Nama Ted Hilbert seketika mencuri perhatian, karena ia bersama kuasa hukumnya mengajukan somasi kepada Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin. Permintaannya tak main-main, yakni meminta Menkes menghentikan program vaksinasi Covid-19 di Indonesia.

semarak.co-Ted Hilbert merupakan seorang warga negara asing (WNA). Namun ia sudah memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan izin tinggal tetap (ITAP) di Indonesia. Ini membuat ia wajib mengikuti program vaksinasi Covid-19 yang dijalankan pemerintah.

Bacaan Lainnya

Sebagai seorang penyintas Covid-19, Ted berpendapat vaksinasi untuk dirinya dan penyintas lainnya, memiliki risiko yang besar. Ia mengklaim, argumennya didukung ratusan jurnal internasional dan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) yang menyatakan, kekebalan alami yang dimiliki penyintas, setidaknya sama atau jauh lebih baik dari imunitas buatan dari vaksin Covid-19.

Ted lantas mempertanyakan hal ini kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Sejak September 2021, ia berkali-kali meminta data dan informasi kepada Kemenkes melalui lapor.go.id, ppid.kemenkes.go.id, ppid.pom.go.id, namun tidak mendapatkan respon.

Dengan didampingi Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukumnya, ia mendatangi Kantor Kemenkes untuk melakukan somasi. Victor mengatakan bila clientnya telah melakukan pengaduan secara tertulis melalui situs-situs resmi kemenkes tapi keluhannya belum mendapatkan tanggapan.

Dalam somasi tersebut, terang Viktor, terdapat surat yang berisikan tentang keberatan administratif/somasi yang merupakan aduan dan gugatan serta kelengkapan berkas data lainnya dikhususkan untuk menggugat persoalan program vaksinasi Covid-19.

“Jadi, Client saya ini adalah WNA dan sudah memiliki NIK dan ITAP (Izin tinggal tetap) di Indonesia dan ia juga merasa menjadi pihak yang ikut terdampak dengan adanya program vaksinasi Covid-19 dijadikan aturan administrasi,” kata Victor kepada Law-Justice.

Victor menyebutkan bila Ted Hilbert berharap Kemenkes segera responsif terkait somasi ini dan bersedia diskusi terbuka secara langsung. Pasalnya, ini perlu ada keterbukaan kepada seluruh rakyat Indonesia sehingga seluruh masyarakat Indonesia bisa mengetahui terkait program vaksinasi tersebut.

Tentu juga yang mengalami dampak kesulitan dari program vaksinasi covid19 ini mendapatkan kejelasan secara terbuka dan resmi dengan data yang transparan. “Kami menganggap Kemenkes sudah memiliki semua data dan referensi yang disebutkan dalam surat keberatan kami,” bebernya.

Jika ada yang tidak jelas atau Kemenkes ingin mendapatkan rincian dari pihaknya, maka pihaknya bersedia untuk bertemu kapan saja untuk memberikan dan mendiskusikan semuanya. Untuk saat ini, Victor menyebutkan bila pihaknya akan terus mengawal terkait somasi yang dilayangkan kepada Menkes tersebut.

Menurutnya, persoalan vaksinasi ini tidak bisa dianggap sepele karena hal ini berhubungan dengan hajat hidup masyarakat Indonesia. “Kami akan kawal terus dan belum ada perkembangan lagi,” sebutnya.

Sementara itu Kementerian Kesehatan melalui juru bicaranya Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa efektivitas dari vaksin dapat meningkatkan pencegahan infeksi vaksin Covid-19. Berdasarkan studi yang dilakukan Kemenkes selama 2021 kepada tenaga kesehatan, dalam tiga bulan pertama vaksin Corona cukup efektif dalam mencegah infeksi COVID 19 di DKI Jakarta.

Namun, pada periode April – Juni, vaksinasi lengkap kurang cukup melindungi Tenaga Kesehatan dari infeksi COVID-19. Meskipun demikian, ia mengatakan bila vaksinasi lengkap masih efektif melindungi dari resiko perawatan dan kematian akibat COVID-19.

Selain itu, studi dilakukan kepada Tenaga Kesehatan karena nakes merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap paparan virus SARS CoV-2 yang menyebabkan infeksi COVID19. Baik melalui interaksi dengan pasien maupun paparan di masyarakat. Atas dasar itulah pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenkes memprioritaskan Tenaga Kesehatan dalam program vaksinasi COVID-19.

Ia juga menuturkan bila sampai saat ini belum ada penelitian ataupun bukti ilmiah yang menunjukkan vaksin yang telah diproduksi dan telah digunakan di berbagai belahan dunia tidak bisa melindungi kita dari virus varian baru ini. “Vaksin yang digunakan dalam upaya kita melakukan penanggulangan pandemi COVID-19 masih sangat efektif,” tuturnya.

Meski begitu, Siti Nadia menekankan yang terpenting saat ini adalah masyarakat taat dengan protokol kesehatan. Efektivitas vaksin, ujar Siti Nadia perlu dibarengi dengan disiplin prokes dari masyarakat untuk mencegah varian baru covid.

Ia menambahkan meski saat ini sudah bergulir vaksinasi booster, Kemenkes tetap memprioritaskan vaksinasi primer untuk masyarakat. “Vaksinasi primer tentu masih menjadi prioritas pemerintah meski bersamaan dengan vaksinasi booster,” Siti Nadia masih kepada Law-Justice.

Terkait somasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada Kemenkes, Siti Nadia mengatakan somasi yang dilakukan oleh masyarakat akan menjadi perhatian. Selain itu, ia mengatakan pemerintah akan membahas lebih lanjut tuntutan yang tertuang dalam somasi tersebut. “Terkait somasi tentunya ini akan menjadi perhatian dan akan dibahas lebih lanjut ya,” katanya.

Ted Melapor ke Ombudsman

Ted pun Kecewa. Lalu ia melapor ke Ombudsman Republik Indonesia. Upaya Ted Hilbert ini mendapatkan perhatian dari Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga tersebut langsung bersurat kepada Kemenkes yang meminta agar memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Ted Hilbert.

Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan, Kemenkes memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaan yang diajukan Ted Hilbert. Hal ini penting sebagai bentuk keterbukaan lembaga negara kepada warganya. “Apalagi Indonesia memiliki Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, dimana seharusnya Kemenkes memberikan jawaban,” ujar Indraza kepada law-justice.co juga.

Sikap Kementerian Kesehatan kepada Ted Hilbert membuat Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafirah heran. Menurut dia, selama ini Kementerian Kesehatan selalu terbuka kepada DPR RI, terkait perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia, termasuk soal vaksin.

Menurut dia, transparansi merupakan bagian penting dalam menciptakan good governance. Penjelasan Kemenkes dibutuhkan agar masyarakat mengetahui hal-hal yang terkait dengan pandemi, dengan harapan hal tersebut akan meningkatkan kewaspadaan terhadap Covid-19.

“Saya kira, idealnya pemerintah menyampaikan informasi yang sedetail-detailnya kepada masyarakat mengenai efikasi, EUA, hingga KIPI supaya tidak terjadi polemik maupun kesimpang-siuran informasi,” kata Nihayatul Wafirah.

Meski begitu, Nihayatul tidak mempermasalahkan jika Ted Hilbert dan kuasa hukumnya ingin menempuh jalur hukum. Menurut dia, sah-sah saja hal itu dilakukan, selama sesuai dengan mekanisme dan jalur yang sesuai.

Terlepas dari sikap Kemenkes yang terkesan mengabaikan Ted Hilbert, sejumlah pertanyaan yang diajukan Ted kepada Kemenkes terkait efektifitas vaksin untuk penyintas justru mendapatkan perhatian Lembaga Eijkman.

Kepala Pusat Riset Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Wien Kusharyoto mengatakan, tanpa harus mempertanyakan ke Kemenkes, Ted Hilbert dan kuasa hukumnya sebenarnya bisa mencari sumber-sumber lain yang valid mengenai efentifitas vaksin.

Menurut Wien sudah banyak jurnal ilmiah yang membahas hal tersebut dan bisa dijadikan rujukan untuk mengetahui seberapa efektif vaksin untuk penyintas. “Apakah yang bersangkutan (Ted Hilbert) sudah mempelajari terlebih dahulu sebelum melayangkan somasi? jadi tidak hanya berbasis pada pengalaman pribadi saja,” cetus Wien kepada law-justice.co.

Terkait anggapan Ted mengenai penyintas tak perlu divaksin karena memiliki kekebalan tubuh alami, Wien menyatakan, ada beberapa kasus di Amerika Serikat, dimana seorang penyintas kembali terinfeksi Covid-19, lalu meninggal dunia.

Menurut Wien, ini menunjukkan, kekebalan alami yang yang dimiliki penyintas tidak menjamin dirinya tidak terinfeksi Covid-19 lagi. Karena itulah vaksinasi menjadi perlu, untuk meningkatkan kekebalan tubuh, khususnya enam bulan setelah dinyatakan negatif Covid-19.

“Kita tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi pada seseorang, termasuk penyintas. Namun berdasarkan penelitian, enam bulan setelah dinyatakan sembuh, daya tahan tubuh seseorang akan menurun, bahkan bisa dikatakan tida memiliki kekebalan lagi,” urai Wien.

Dugaan Bisnis Besar di Balik Pandemi

Sikap Kementerian Kesehatan kepada Ted Hilbert bisa menjadi sinyal adanya ketertutupan pemerintah terkait pandemi Covid-19. Informasi mengenai vaksin yang seharusnya gamblang bisa kita peroleh, malah jadi buram akibat tersumbatnya kanal informasi resmi dari pemerintah.

Dugaan yang sama juga muncul terkait pengadaan alat kesehatan (alkes) ditengah pandemi. Salah satunya adalah penyediaan alat tes PCR (Polymerase Chain Reaction). Ini adalah alat untuk mendeteksi ada atau tidaknya virus corona pada diri seseorang.

Tes ini menjadi laris manis selama pandemi, karena semua orang yang diduga terpapar Covid-19 harus melewati prosedur ini. Dan hingga laporan ini ditulis, orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 sudah lebih dari 4,7 juta.

Ini artinya, sampai sekarang sudah 4,7 juta orang melewati tes PCR, dengan biaya yang tidak murah. Dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah, seiring munculnya varian baru Covid-19, yakni Omicron. Meski harga tes ini terus turun, keuntungan yang didapat tetap tinggi.

Mengingat kini semua orang harus menjalani tes PCR untuk berbagai keperluan, salah satunya bepergian keluar kota. LSM pemantau Korupsi, ICW, pernah menyebut, keuntungan yang bisa didapat dari bisnis PCR bisa mencapai Rp10 triliun.

“Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam,” ujar ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah pada November 2021 lalu.

Besarnya perputaran uang di bisnis tes PCR, menarik minat banyak orang untuk ikut terjun dalam bisnis ini. Dan siapapun bisa ikut serta dalam bisnis ini, termasuk pejabat publik. Pada November 2021, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) melaporkan Menteri Koordinator Bidang kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). PRIMA mengadukan dua menteri itu atas dugaan terlibat dalam bisnis tes PCR.

Wakil Ketua PRIMA, Alif Kamal mengatakan, dugaan keterlibatan Luhut dan Erick dalam bisnis tersebut bermula dari temuan adanya satu perusahaan yang sahamnya terkait dengan bisnis dua menteri Jokowi tersebut. Perusahaan yang dimaksud Alif adalah PT. Genomik Solidaritas Indonesia (GSI).

Ini adalah perusahaan yang merupakan salah satu pemain besar dalam penyedia layanan tes PCR dan antigen di Indonesia. Menurut Alif, sebagian saham PT. GSI dimiliki oleh Luhut Binsar Pandjaitan dan keluarga Erick Thohir. “Di PT GSI itu ada sahamnya Boy Thohir kalau tidak salah. Dan disitu juga ada sahamnya Toba Sejahtera, perusahaan milik Luhut,” papar Alif.

Ini kemudian yang membuat PRIMA kemudian memutuskan untuk melaporkan kedua menteri tersebut ke KPK. Mereka menilai, tidak etis jika ada seorang pejabat publik setingkat menteri yang turut bermain di bisnis ini. Meski begitu, Alif belum bisa menunjukkan berapa jumlah kapitalisasi yang diperoleh PT.

GSI, pun begitu pula dengan nominal rupiah yang diduga mengalir ke kantong Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir dari bisnis PCR tersebut. “Justru kami berharap KPK yang bisa memberi pernyataan mengenai hal tersebut, agar tidak terjadi kesimpangsiuran di masyarakat,” tambah Alif.

Namun hingga kini, menurut Alif, belum ada tindak lanjut dari KPK mengenai laporan tersebut. Belum ada pemanggilan terhadap pihak-pihak tertentu yang diduga terkait dengan laporan PRIMA. Sementara Alif menyatakan, PRIMA sudah memberikan sejumlah bukti untuk memperkuat laporannya tersebut.

Hingga kini, dugaan PRIMA mengenai pejabat publik yang ikut bermain di bisnis PCR baru mengarah pada Luhut Binsar Pandjaitan dan Erick Thohir.Alif menyatakan, PRIMA belum menelusuri lebih lanjut dugaan-dugaan lainnya, termasuk adanya kartel atau pejabat lain yang ikut terjun dalam bisnis PCR.

Lagi-lagi, ia berharap KPK lah yang mengungkap hal itu. “Bolanya masih di KPK, kami minta KPK memberikan klarifikasi, pernyataan atau yang sejenisnya,” tegas Alif.

Sementara itu, KPK menyatakan tengah memproses laporan PRIMA. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri mengatakan, saat ini laporan mengenai dugaan keterlibatan dua menteri tersebut dalam bisnis tes PCR masih dalam tahap verifikasi. Menurut Ali Fikri, hal tersebut membutuhkan waktu untuk menentukan apakah laporan tersebut merupakan ranah KPK atau bukan.

Ali Fikri memastikan, KPK akan menindaklanjuti setiap laporan masyarakat yang masuk ke lembaga antirasuah tersebut. Namun, menurut Ali Fikri, hingga kini bekum ada yang bisa disampaikan ke publik mengenai kasus ini, karena proses verifikasi masih berjalan. “Mengenai materi pelaporan dan teknis verifikasi dan telaah tertentu, tidak bisa kami sampaikan saat ini,” ujar Ali Fikri kepada law-justice.co.

Tes PCR, Ladang Bisnis Baru Pemerintah

Hingga kini semua pemain dalam bisnis tes PCR adalah kalangan swasta. Pemerintah belum menyentuh area ini. Ini kemudian yang membuat tidak ada regulasi pasti, termasuk soal harga. Ketika awal pandemi menerpa Indonesia, tarif tes PCR melambung tinggi, hingga jutaan rupiah. Namun kini pemerintah sudah menekan harganya hingga ratusan ribu rupiah saja.

Kini pemerintah perlahan mulai masuk dalam pusaran bisnis tes PCR. Salah satunya dimulai dengan memproduksi alat tes PCR oleh BUMN farmasi di Indonesia. Terkait hal tersebut, salah satu BUMN di bidang farmasi, PT Indofarma menyatakan tengah mempersiapkan segala kebutuhan untuk mulai memproduksi alat kesehatan, termasuk alat tes PCR.

Selama ini Indofarma fokus memproduksi obat-obatan generik yang harganya terjangkau di masyarakat. BUMN farmasi ini juga turut memproduksi obat penunjang Covid-19, seperti Ivermectin, Remdesivir, dan Oseltamivir dalam bentuk generik.

Direktur Produksi PT Indofarma, Jejen Nugraha mengatakan, seriring dengan dibentuknya holding BUMN farmasi di Indonesia, PT Indofarma memang sedang dipersiapkan untuk masuk ke ranah industri alat-alat kesehatan, termasuk memproduksi alat tes PCR. “Kita targetkan tahun ini, karena memang butuh banyak persiapan untuk masuk ke industri seperti itu,” ujar Jejen.

Jejen menambahkan, persiapan untuk memulai produksi alat kesehatan telah dilakukan sejak lama, bahkan ketika pandemi mulai menerpa. Namun, kata Jejen, persiapan tersebut tidak bisa instan agar hasilnya maksimal. Meski baru akan masuk ke industri alat kesehatan, menurut Jejen, Indofarma sudah lebih dulu menjalankan bisnis di bidang laboratorium.

salah satunya untuk layanan pemeriksaan hasil tes PCR untuk Covid-19. Bisnis tersebut dijalankan oleh cucu perusahaan Indofarma yang bernama Farma Lab. Terkait BUMN yang akan merambah ke bisnis alat kesehatan, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Aria Bima mempersilakan jika BUMN farmasi sudah siap berproduksi.

Ia menyatakan ke depannya semua BUMN farmasi memang diarahkan untuk memproduksi alat kesehatan. Namun ia mengingatkan, saat ini gelombang ketiga Covid-19 tengah terjadi. Karena itu, Aria meminta BUMN farmasi membuat skala prioritas antara memproduksi obat atau alat kesehatan.

Menurut Aria Bima, yang mendesak saat ini adalah ketersediaan obat-obatan penunjang untuk kesembuhan pasien Covid-19. Ia mengatakan, jangan sampai fokus BUMN farmasi terbelah, sehingga bisa mengakibatkan kelangkaan obat di pasaran.

“Sekarang yang lebih urgent adalah obat-obatan. Kebutuhan obat untuk 270 juta rakyat Indonesia saat ini masih minim yah? Hingga kini BUMN farmasi masih menjadi tumpuan dalam produksi obat-obatan untuk pasien Covid-19, terutama yang dalam bentuk generik.

Ia menjelaskan, kalangan swasta tak banyak yang ingin turut serta bermain di wilayah obat generik, karena harga eceran tertinggi (HET) lebih rendah dibanding obat paten. “Harga batas bawah yang generik itu tidak menutup biaya produksi di perusahaan swasta farmasi, yang bisa hanya BUMN,” kata Aria.

Transparansi Pemain Stok Vaksin

Terkait dengan program vaksinasi tersebut, Pengamat Politik Saiful Anam mengatakan Presiden Joko Widodo didesak untuk membuka kepada publik sosok yang mengatur soal vaksinasi. Terutama penggunaan vaksin Sinovac, seperti diketahui program vaksinasi di Indonesia juga mendapatkan sorotan dari luar negeri.

Contohnya, beberapa waktu lalu negara luar tidak percaya terhadap vaksin buatan China karena penyebaran Covid-19 di Indonesia semakin masif. “Saya kira Istana Negara harus membuka kepada publik siapa ahli di belakang vaksin Sinovac, jangan-jangan ada permainan mafia vaksin di belakang ahli yang merekomendasikan vaksin Sinovac di Indonesia terutama soal program vaksinasi dan lainnya,” kata Saiful kepada Law-Justice.

Saiful menyebutkan yang menjadi sorotan saat ini dalam program vaksinasi adalah terkait pengadaan vaksin sinovac. Ia merasa selain istana buka suara, bahkan lembaga antirasuah KPK juga perlu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. “Tentu kalau hal tersebut betul, maka saya kira KPK wajib untuk melakukan penyelidikan program vaksinasi terutama dalam pengadaan vaksin Sinovac di Indonesia,” ujarnya.

Dalam program vaksinasi pemerintah, Saiful lebih menyoroti soal pengadaan vaksin sinovac karena sarat akan kepentingan. Ia meminta pemerintahan Jokowi untuk memberikan penjelasan kepada publik secara terang benderang terkait program vaksinasi dan pengelolaan dana PEN untuk covid. “Ini perlu ditindaklanjuti, bila tidak tentu sangat membahayakan bagi Indonesia,” tandasnya.

GMNI Desak Bongkar Mafia Bisnis Alkes dan Vaksin

Desakan membongkar program vaksinasi pemerintah juga datang dari kalangan aktivis mahasiswa, yakni GMNI. Bahkan DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menuntut KPK untuk membongkar penyebab lambatnya distribusi vaksin di Indonesia. GMNI menduga adanya mafia vaksin hingga memperlambat upaya vaksinasi.

Ketua Umum DPP GMNI, Imanuel Cahyadi menyampaikan kepada KPK agar segera turun tangan membongkar dugaan adanya mafia vaksin sehingga membuat distribusi vaksin menjadi terhambat. “KPK harus mengawasi proses vaksinasi ini, jangan sampai upaya untuk melindungi rakyat malah menjadi praktik bancakan segelintir orang,” kata Imanuel kepada Law-Justice.

Imanuel juga meminta pihak yang bertanggung jawab dalam distribusi vaksin agar melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Ia berharap tak ada hambatan distribusi pada masyarakat. “Distribusi vaksin terkesan berjalan lambat dan tidak merata. Seharusnya para pihak yang terlibat dalam distribusi vaksin ini bertanggung jawab untuk mendistribusikan vaksin secara cepat, adil dan merata,” ujarnya.

Hal tersebut, menurutnya perlu dibuka kepada publik supaya publik paham dalam kondisi seperti ini seharusnya saling bahu membahu untuk bisa lepas dari pandemi covid. Tidak hanya terkait vaksinasi, hal lain seperti alkes dan distribusi obat juga perlu diinvestigasi lebih jauh. “Ini harus segera ditindaklanjuti supaya semua terang benderang,” pungkasnya.

BPK Pantau Pengadaan Vaksin dan Alkes

Tak hanya itu BPK juga menemukan adanya dugaan penyimpangan biaya bahan baku/bahan produk berupa harga pembelian vaksin COVID-19 oleh PT BF (Persero), dan kelebihan pembayaran atas biaya operasional PT BF yang dilakukan kemenkes. Dan BPK juga sepanjang 2020 sudah melakukan audit pengadaan vaksin.

Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan juga melakukan pemeriksaan terhadap pengadaan vaksin akan dilakukan mulai dari perencanaan kebutuhan, penetapan target dan sasaran, pengembangan vaksin dalam negeri, pengadaan vaksin melalui PT Bio Farma, dan distribusi vaksin. Sedangkan pada pemeriksaan pelaksanaan vaksinasi, meliputi pelayanan vaksinasi dan pemantauan kejadian ikutan pascaimunisasi (KIPI).

Sedangkan terkait pengawasan keamanan, BPK akan memeriksa khasiat/manfaat, dan mutu vaksin Covid-19 dilakukan sebelum dan setelah beredar yang akan dilaksanakan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Tim pemeriksa pada AKN VI akan melaksanakan pemeriksaan pada Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan,” ujarnya.

Sedangkan tim pemeriksa pada 34 BPK Perwakilan akan melakukan pemeriksaan pada pemerintah provinsi dengan uji petik pada minimal dua pemerintah kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut,” kata Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama KN) VI, Dori Santosa. (net/law/smr)

 

sumber: radaraktual.com dari lawjustice di WAGroup PAMEKASAN GERBANG SALAM (postJumat18/2/2022/ok)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *