Oleh Ana Nadhya Abrar dan M. Jehansyah Siregar *)
Semarak.co – Sudah lama kita mendengar kabar buruk tentang kerugian yang dialami oleh kereta cepat Whoosh (KCW). Namun, info yang disampaikan Prof. Mahfud MD tentang markup KCW membuat kita terhenyak. Semua kebanggaan kita KCW mendadak lenyap. Berganti dengan risau. Bahkan khawatir.
Betapa tidak. Info tersebut sangat menohok. Menyambar kita ibarat petir di siang bolong. Menghantam kita ibarat plot twist. Lihatlah: Mark up KCW tiga kali lipat! Di China 17 juta dolar AS per km Whoosh di sini jadi 52 juta dolar.
“Kalau gagal bayar, jangan-jangan China minta kompensasi wilayah, misalnya di Natuna Utara. Itu berbahaya, melanggar konstitusi kita,” kata Mahfud seperti dikutip media, 15 Oktober 2025.
Kita pun tersentak. Mark up itu masuk ranah pidana korupsi. Ini mesti diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siapa pun yang terlibat dalam korupsi itu mesti bertanggung jawab. KPK tidak boleh mendiamkan saja perkara ini.
Berbarengan dengan itu kita tersadar. Kejadian tersebut meruntuhkan tata kelola yang baik (good govrenance) yang selama diperjuangkan pemerintah. Risau kita menjadi pilu. Soalnya, ia bisa meruntuhkan daya saing bangsa.
Bagaimana tidak. Ia menunjukkan birokrasi kita tidak prudent. Ia memperlihatkan ketidakmampuan lembaga pemerintah maupun swasta mengelola sektor publik. Muaranya, publik tidak percaya lagi terhadap niat baik pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Secara konseptual, good governance bisa mendongkrak daya saing bangsa. Mengapa? Karena ia meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya dan kinerja pemerintah. Salah satu indikator good governance adalah transparansi.
Mark up KCW menunjukkan transparansi pemerintah kita payah. Lepas dari perdebatan siapa tokoh sentral mark up KCW, dia sudah melemahkan semangat bersaing Indonesia dengan negara lain.
Apakah dia tidak mengerti beberapa negara tetangga membangun reputasi agar punya daya saing yang tinggi? Lihatlah, ada yang meningkatkan literasi sains masyarakatnya. Ada pula yang membangun kolaborasi dengan negara yang maju dan kaya.
Ada bahkan yang mengundang investasi luar negeri. Maka tokoh sentral mark up KCW, siapa pun dia, tidak hanya memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Dia sudah merusak daya saing bangsa ini (setidaknya menurunkan daya saing bangsa).
Dia meninggalkan jejak kemunduran yang jauh ke belakang. Dia bahkan menghancurkan harapan rakyat yang ingin melihat Indonesia berkibar, paling tidak di Asia Tenggara. Sungguh kejam dia. Sekarang beberapa negara di Asia menerapkan konsep pemerintah yang lincah (agile government).
Penerapan ini diangankan untuk menaikkan daya saing bangsa. Idealnya, Indonesia juga menerapkan prinsip ini. Namun, kabar tentang mark up KCW bisa menghambat Indonesia untuk menerapkannya.
Bagaimana bisa mengimple-mentasikannya tanpa memenuhi prinsip transparansi? Kalau Indonesia nekad melakukannya, Indonesia akan semakin kehilangan daya saing. Tentu kita tidak perlu meratapi mark up KCW berlama-lama. Kita harus menahan diri untuk tidak terlalu bersedih.
Kita harus segera menyusun langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing bangsa. Salah satu cara yang masuk akal adalah berkonsultasi dengan teks-teks lama karya founding fathers. Memang konteks mereka dulu berbeda dengan konteks kita sekarang.
Namun, langkah-langkah operasional dalam meningkatkan daya saing bisa menjadi rujukan. Langkah-langkah itu bisa diberi konteks yang sesuai dengan kondisi sekarang. [ ]
Solusi Terpadu Untuk Sengkarut Kereta Cepat KCIC
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi hot news nasional. Ramai sekali perdebatan proyek yang dinyatakan rugi ini. Dirut PT. KAI menyebut utang PT. KCIC akan jadi bom waktu bagi kebangkrutan perusahaan. Keuntungan habis hingga merugi karena cicilan kereta cepat yang sangat besar.
Tak lama, Menteri Keuangan Purbaya menyatakan tidak mau APBN ikut menanggung utang proyek Whoosh (KCJB) tersebut. Menkeu minta Danantara untuk membayar cicilan utang itu setiap tahunnya. Namun Danantara mengatakan bahwa dividen tidak untuk membayar utang, semuanya untuk investasi.
Tentu saja ini jawaban yang kurang bertanggung-jawab. Polemik pun berlanjut, tidak berhenti sampai di sini. Dari kalangan netizen menuntut agar Jokowilah yang bertanggung jawab membayar utang ini. Ada pula yang mengusulkan restrukturisasi utang.
Usul yang aneh juga, karena tenor utang ke Bank Pembangunan Cina itu juga sudah sangat lama, 45 tahun. Mau diulur berapa lama lagi? Soal berubahnya suku bunga utang juga jadi pembahasan yang hangat. Terutama melejitnya bunga dari 0,1% oleh Jepang menjadi 3 persen di tangan Cina.
Polemik ini terus berlanjut tidak berkesudahan. Yang jelas, negara ini tidak boleh berlarut-larut tanpa solusi ke depan. Sekarang, mari kita coba lihat akar persoalannya. Yaitu sejak dimulainya proyek raksasa ini di era presiden yang lalu.
Presiden Jokowi boleh saja berambisi agar Indonesia menggenggam teknologi kereta cepat. Namun bagaimana mewujudkannya? Di sinilah biang masalahnya bermula. Ada “cognitive constraint” di sini. Presiden Jokowi memang sangat lemah dalam perencanaan pembangunan.
Akhirnya proyek tetap dipaksa dibangun tanpa perencanaan yang memadai. Bukan hanya kereta cepat, tapi hampir semua proyek infrastruktur, termasuk IKN. Proyek-proyek yang sudah digagas sebelum era Jokowi itu mengalami nasib yang sama.
Dibangun serba terburu-buru, “project oriented”, asal menghabiskan APBN hingga menumpuk utang. Hanya demi pencitraan politik. Tapi ya sudahlah, grasak-grusuk pembangunan infrastruktur di era Jokowi itu sudah menjadi sejarah.
Kereta cepat ini sudah berjalan lancar dan jutaan orang sudah menikmati nyamannya naik whoosh. Termasuk Makcik dan Encik dari Malaysia yang berwisata kereta cepat sekaligus jalan-jalan ke Bandung. Ke depan, mari kita ambil pelajarannya untuk membangun berbagai jenis infrastruktur di tanah air.
Salah satu kesalahan fatalnya adalah pembangunan KCJB dilakukan sebagai proyek tunggal. Pembangunan kereta cepat pada dasarnya harus dilakukan secara terpadu. Baik dengan sistem perkeretaapian eksisting maupun dengan kawasan perkotaan yang mengitarinya.
Infrastruktur transportasi yang berbentuk linier itu ibarat tulang punggung bagi tubuh. Sangat penting untuk menopang berkembangnya pusat-pusat kegiatan yang menjadi daging dan jantungnya. Oleh karena itu, pembangunan Kereta Cepat harus segera diikuti dengan program pengembangan lahan secara menjejaring.
Baik di simpul-simpul stasiunnya maupun melalui pengembangan jejaring multi moda transportasi. Pemanfaatan lahan dan penguasaan tanah harus dikendalikan secara sangat ketat oleh otoritas publik. Baik melalui instrumen tata ruang, status tanah hingga lembaga-lembaga pelaksana pembangunan.
Proyek kereta api cepat itu memang tidak akan pernah bisa jadi bisnis yang menguntungkan. Untuk itu, pemerintah harus menyadari kesalahan perencanaan sejak awal ini. Kemudian segera mengembangkan kawasan di sepanjang koridor kereta cepat Jakarta-Bandung tersebut untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Konflik tata guna lahan pun harus diminimalisasi, terutama pada area-area strategis yang menjadi simpul bangkitan angkutan. Rencana tata ruang pun harus terkoneksi, baik antara infrastruktur dan zonasi ruang, maupun antar moda infrastruktur.
Jadi, pembangunan kereta cepat itu tidak boleh lagi dibiarkan hanya menjadi proyek yang terisolasi. Apalagi pembangunan infrastruktur di wilayah metropolitan itu memang harus dijalankan dengan efisien karena melibatkan anggaran yang sangat besar.
Di Jepang, perencanaan terpadu di dalam kota dan antara kota-kota Tokyo, Osaka dan Nagoya dilakukan oleh MLIT atau “Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism”.
BUMN Japan Railway (JR, PT KAInya Jepang) dan BUMN Urban Development Corporation (UDC, Perumnasnya Jepang, sekarang bernama UR) otomatis bekerja sama mengembangkan jalur kereta dan simpul-simpul kawasan transit secara terpadu.
Mengapa? Karena sama-sama di bawah satu kementerian MLIT. Jika JR mendapat pemasukan dari tiket dan sumber lainnya, maka UDC mendapatnya dari bisnis properti hasil peningkatan nilai lahan.
Ada “land value gain capture management” di sana, yang mirip dengan pelaksanaan Pasal 33 UUD 45 untuk kawasan urban. Pendekatan “government driven development” ini selain mengendalikan spekulasi tanah juga menghasilkan sumber pemasukan selain tiket kereta.
Simpul-simpul transit yang dibangun menggunakan konsep TOD itu akhirnya berkembang dan memberikan peningkatan nilai lahan yang signifikan dan menjadi pendapatan non-tiket. Begitu juga dengan terciptanya hunian berimbang, dimana di pusat area dibangun danchi (apartemen sewa murah) oleh UDC.
Jika UR menguasai lahan dalam radius sekitar 200 meter, UDC di radius 500 meter, maka developer properti swasta mengembangkan lahan di radius 500 m s/d 2 kilometer dari stasiun. Pola pembangunan TOD seperti itu diterapkan untuk semua jaringan kereta. Mulai dari densha, kaisoku, tokkyu, hingga shinkansen.
Konsep terpadu antara “public transport” dan “public housing” di Jepang itu akhirnya menjamin tersedianya “public facilities” lainnya di kawasan permukiman kota. Sekali lagi, ini mirip pengamalan amanat UUD 1945 untuk “memajukan kesejahteraan umum”.
Lalu, apa sih persoalan Indonesia sebenarnya? Kenapa justru Jepang yang menerapkan dasar-dasar bernegara kita? Jawabannya hanya ketidakkonsekwenan dalam bernegara, termasuk hasrat pencitraan politik dari seorang presiden.
Terkait dengan keterpaduan MLIT di Jepang, coba bayangkan, apa jadinya kalau model itu diterapkan di Indonesia? Ada tiga menteri yang terpaksa diberhentikan. Memang kesannya kejam, tapi kabinet ramping itu akan sangat menghemat APBN.
Kabinet zaken itu mengefektifkan koordinasi dan bekerjanya teknokrasi. Aha! Tentunya ini harus jadi perhatian Menkeu Purbaya. Lalu, apa lagi masalah kita? Lagi-lagi korupsi yang merajalela! Dalam hal ini di beberapa Kementerian terkait proyek Kereta Cepat, seperti BUMN, Perhubungan, ATR, PU dan PKP.
Lihatlah Kementerian PU dan PKP beserta semua jajarannya di daerah. Regulator melupakan perannya untuk membangun sistem terpadu dan asyik jadi operator supaya bisa “main proyek” APBN. Apa dampaknya? Perumnas loyo, tanahnya habis dan PT. Pembangunan Perumahan berubah jadi kontraktor.
Perumda jadi makelar suruhan kepala daerah yang berurusan dengan developer swasta. Rencana pemerintah membangun Kota Walini maupun Tegal Luar jadi batal. Semua kenaikan nilai lahan diliberalisasi, terserah developer swasta.
Bahkan ada kabar para petinggi yang ikut-ikutan berspekulasi lahan di Padalarang dan Gedebage! Tidak ada lagi pengembangan kawasan siap bangun oleh pemerintah. Tidak ada proyek-proyek affordable housing seperti “danchi” di setiap simpul kereta di Tokyo.
Itulah persoalan Indonesia, dan masih ada banyak lagi. Lihatlah Kementerian ATR yang hanya jadi ajang oligarki berikut jajaran mafia tanahnya. Tata-ruang dijadikan tatar-uang dengan menciptakan ruang negosiasi peruntukan ruang.
KAI silakan jalankan proyek KCJB sendiri dengan beban biaya yang sangat tinggi. Jika utang bisa buat bangkrut perusahaan maka berusahalah mengeruk APBN lagi. Yang penting proyek besar berhasil buat pencitraan. APBN terkuras habis, badan usaha negara dibiarkan berdarah-darah.
Sementara elit penguasa dan oligarki menguasai tanah yang luas dan menikmati kenaikan nilai properti akibat pembangunan infrastruktur negara. Bah! Negara macam apa ini? Wah, wah, wah, ternyata seabrek-abrek masalah negeri ini.
Mudah-mudahan situasi sekarang ini belum terlalu terlambat. Semua prakondisi yang tidak dijalankan itu harus segera dibenahi oleh Danantara dan PT. KAI. Tujuannya bukan hanya untuk membayar utang, namun juga untuk mengembalikan pembangunan agar kembali ke jalurnya yang benar.
Pembangunan kawasan terpadu di sepanjang koridor KCJB akan langsung menghilangkan beban pembiayaan oleh pemerintah. Jika Danantara menugaskan BUMN untuk itu, maka tidak perlu pakai dividen untuk menutupi cicilan utang.
Secara stratejik pemerintah akan mampu mengubah proyek infrastruktur kereta cepat, dari beban biaya menjadi pertumbuhan ekonomi. Konsep pembangunan kawasan terpadu ini akan mengubah fokus, dari membangun kereta cepat sebagai proyek tunggal menjadi pengembangan kawasan ekonomi yang memberi “value capture and revenue generation”. []
*) Ana Nadhya Abrar adalah Guru Besar Jurnalisme UGM
*) M. Jehansyah Siregar, Ph. D adalah Staf Pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, SAPPK-ITB
Sumber: jernih.co di WAGroup Media & Jurnalis BPKH (postMinggu19/10/2025/)





