Mengutip Tak Lagi Gratis: Menuju Era Royalti Karya Jurnalistik

Tundra Meliala, Ketua umum AMKI Pusat. Foto: dokpri

Oleh Tundra Meliala *)

Semarak.co – Sudah puluhan tahun, wartawan, dosen, hingga pegiat media sosial di Indonesia hidup dengan satu keyakinan sederhana: asal mencantumkan sumber, mengutip karya jurnalistik itu sah dan tak berbayar.

Bacaan Lainnya

Prinsip itu bahkan terasa seperti hukum alam di ruang redaksi dan ruang kuliah. Namun, wacana baru yang muncul dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta membuat prinsip lama ini mulai bergeser: mengutip bisa saja berujung bayar royalti.

Rancangan revisi UU Hak Cipta yang tengah digodok Kementerian Hukum memuat gagasan penting bahwa karya jurnalistik diakui sebagai karya intelektual dengan nilai ekonomi.

Artinya, berita, foto, video liputan, atau laporan investigasi tak hanya dihargai sebagai informasi publik, tetapi juga sebagai hasil kreasi profesional yang layak mendapat imbalan finansial bila digunakan ulang secara komersial.

“Ini bentuk penghargaan terhadap jurnalis yang karyanya diambil pihak lain, terutama karya investigasi dan eksklusif,” kata Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas seperti dilansir media.

Dari Etika ke Ekonomi

Selama ini, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memberi ruang bagi pengambilan berita aktual dari kantor berita, lembaga penyiaran, atau surat kabar tanpa dianggap melanggar hak cipta, asal sumbernya disebutkan lengkap.

Etika jurnalistik juga menguatkan hal itu: menyebut sumber sudah cukup, asal tak menjiplak utuh. Namun, dunia berubah cepat. Model bisnis media digital kini berbasis pada klik dan algoritma yang membuat karya jurnalistik sering dikutip, disalin bahkan dipotong di berbagai platform tanpa kompensasi apa pun.

Akibatnya, media kehilangan potensi ekonomi dari karya mereka sendiri. Data Reuters Institute Digital News Report 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 57% pembaca di Indonesia mengonsumsi berita lewat agregator atau media sosial bukan langsung dari situs media asal.

Praktik ini membuat pendapatan media turun hingga 30% dalam lima tahun terakhir. Di tengah situasi ini, ide royalti menjadi masuk akal –bahkan mendesak.

Dunia sudah Bergerak Duluan

Gagasan royalti untuk karya jurnalistik bukan hal baru di dunia. Di Uni Eropa, misalnya, EU Copyright Directive 2019 memberi hak ekonomi kepada penerbit berita atas setiap penggunaan ulang karya mereka oleh platform digital seperti Google News atau Facebook.

Prancis dan Australia bahkan mewajibkan perusahaan teknologi raksasa membayar royalti kepada media lokal. Sementara di Amerika Serikat, perlindungan hak cipta atas karya jurnalistik berlaku hingga 70 tahun setelah kematian pencipta.

Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Pakistan memiliki masa perlindungan 50 tahun. Sebagian juga menerapkan pembayaran royalti bila karya digunakan dalam konteks komersial, seperti iklan atau konten berbayar.

“Kalau kita ambil foto dari media luar negeri tanpa izin, bisa langsung ditagih dalam dolar,” ujar seorang dosen jurnalistik di Yogyakarta, mengingatkan mahasiswanya agar berhati-hati dalam praktik pengutipan digital.

Revisi UU dan Tantangan Kebebasan Pers

Namun, penerapan royalti jurnalistik bukan perkara sederhana. Sebab, UU Pers saat ini mengatur bahwa pengutipan cukup dilakukan dengan menyebutkan sumber. Bila sistem royalti diberlakukan, maka pasal tersebut perlu diperluas

Atau diubah agar tidak bertentangan dengan semangat kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Dewan Pers dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers maupun Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) telah menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam proses revisi.

Pengalaman revisi UU Penyiaran jadi pelajaran: draf yang tidak transparan bisa mengancam kemerdekaan pers. Revisi harus melibatkan jurnalis, media, dan masyarakat sipil agar adil dan proporsional, agar perlindungan hak cipta tidak berubah menjadi alat pembatasan informasi.

Dari Penghargaan ke Keseimbangan

Royalti karya jurnalistik sejatinya bukan untuk membungkam akses publik, melainkan mengembalikan nilai intelektual dan ekonomi jurnalisme yang kini sering diabaikan. Dunia maya telah menjadikan karya berita begitu mudah disalin, dibagikan.

Dan dimonetisasi pihak ketiga tanpa imbalan bagi pembuatnya. Jika revisi ini berhasil dirumuskan secara transparan dan partisipatif, Indonesia akan memasuki fase baru –era penghargaan yang adil bagi kerja jurnalistik.

Mengutip bukan lagi sekadar urusan etika dan sopan santun, tetapi juga tentang keadilan ekonomi. Sebab di balik setiap berita yang kita baca, ada waktu, tenaga, dan keberanian manusia yang pantas dihargai lebih dari sekadar sebaran tautan.*

*) Ketua Umum Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI)

 

Sumber: WAGroup Platform AMKI Pusat (postJumat10/10/2025/sg)

Pos terkait