Kurangnya kajian sejarah akan pemikiran intelektual Indonesia mendorong Yayasan Komunitas Salihara (Salihara) bekerja sama Komunitas Utan Kayu (TUK) untuk memulai sebuah tradisi seminar tahunan/dua tahunan untuk membaca dan mendiskusikan pemikiran para intelektual Indonesia yang dinamakan Art Camp.
semarak.co-Art Camp akan diselenggarakan Komunitas Salihara di Komunitas Salihara kawasan Pasar Minggu Jakarta dan secara daring (dalam jaringan) atau online berupa zoom webinar, pada 25-27 Maret 2022. Art Camp memiliki tujuan untuk memperdalam pemahaman kita dengan membaca kembali pemikiran dan karya dari tokoh pilihan.
Di 2022 ini, memperingati genap usia Goenawan Mohamad ke-80 pada 2021, seminar Art Camp kali ini pun mengangkat pembacaan akan gagasan, tulisan, dan karya Goenawan Mohamad dan sumbangsihnya dalam dunia seni, jurnalistik, dan sastra Indonesia.
Selain itu, Art Camp ini juga menjadi jawaban akan kerinduan dalam berkumpul dan berdiskusi seni dan budaya secara langsung yang sempat terhenti selama 2 tahun lamanya akibat pandemi COVID-19.
Kegiatan ini akan menjadi langkah pertama dari Komunitas Salihara untuk akhirnya menjalankan pertemuan fisik yang akan mempertemukan para penikmat sastra dan budaya dari JaBoDeTaBek dan sekitarnya.
Mengutip rilis Komunitas Salihara yang diterima redaksi semarak.co, Selasa (22/3/2022), kegiatan akhir pekan ini akan diadakan intens selama tiga hari dua malam baik secara luring dan daring, Jumat-Minggu (25-27/3/2022).
Pada kegiatan luring, para peserta akan berkumpul di Salihara dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat dan akan mengikuti pemaparan pemikiran Goenawan Mohamad yang akan dipaparkan pembicara. Sedangkan untuk kegiatan daring, peserta tetap bisa mengikuti materi-materi pembicara dari rumah melalui Zoom meeting.
Rangkaian materi yang bisa diikuti para peserta terbagi ke dalam beberapa sesi, diantaranya adalah
Jumat, 25 Maret 2022
Sesi 1 | 15:30 WIB – Di Antara Sajak dan Intelektualisme
Pembicara: Ni Made Purnama Sari, Nirwan Dewanto, Triyanto Triwikromo
Moderator: Avianti Armand
19:00 WIB (khusus luring) – Diskusi dan Musik
Goenawan Mohamad, Seni dan Kebebasan
Bersama Ayu Utami dan Sri Hanuraga
Sabtu, 26 Maret 2022
Sesi 2 | 10:00 WIB – Adorno: Bagaimana Seni Membebaskan?
Pembicara: Fitzerald K. Sitorus & Bambang Sugiharto
Moderator: Akhmad Sahal
Sesi 3 | 13:00 WIB – Nietzsche: Mungkinkah Ambiguitas Dijelaskan?
Pembicara: A. Setyo Wibowo & Yulius Tandyanto
Moderator: Martin Sinaga
Sesi 4| 15:30 WIB – R Rancière: Apakah Politik Selalu Tentang Kekuasaan?
Pembicara: A. Setyo Wibowo & Sri Indiyastutik
Moderator: Martin Sinaga
Sesi 5 | 19:00 WIB – Dari Marx ke Derrida: Masih Adakah Humanisme?
Pembicara: Y.D. Anugrahbayu & Martin Suryajaya
Moderator: Akhmad Sahal
Minggu, 27 Maret 2022
Sesi 6 | 10:00 WIB – Jurnalisme, Demokrasi dan Pergulatannya
Pembicara: Agus Sudibyo dan Donny Danardono
Moderator: Arif Zulkifli
Sesi 7 | 14:00 WIB – Tuhan dan Hal-hal yang Tidak Selesai
Pembicara: Ayu Utami dan Ulil Abshar Abdalla
Moderator: Nong Darol Mahmada
Tentang Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad atau akrab disapa GM lahir di Kabupaten Batang, 29 Juli 1941. Sebagai seorang budayawan, Goenawan Mohamad menempati posisi khas dalam perkembangan pemikiran seni di Indonesia. Ia berseberangan dengan Sutan Takdir Alisjahbana maupun Pramoedya Ananta Toer dalam hal hubungan seni dengan politik dan pembangunan.
Tapi, seperti Takdir, ia mengolah filsafat Barat dengan tekun dan bergairah. Karya-karya Goenawan Mohamad dapat dikatakan tak lekang oleh waktu karena meskipun ditulis pada masa kemarin, pemikirannya selalu relevan hingga saat ini.
Ni Made Purnama Sari, penulis dan salah seorang pemateri dalam acara ini mengatakan sosok GM merupakan tokoh yang mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda.
“GM adalah sosok yang memiliki dimensi kekaryaan luas. Dari sisi genre, dia menulis puisi, prosa, naskah drama, serta esai-esai budaya. Dari sisi tematik, dia mengolah khazanah tradisi hingga penjelajahan ke pemikiran modern,” ujar Ni Made dalam rilis Komunitas Salihara.
Dilanjutkan Ni Made, “Dia tumbuh dari generasi intelektual pada zamannya yang masih mengedepankan kritik elaboratif sebagai upaya dialog dengan pemikiran-pemikiran seni budaya yang berbeda, meskipun tradisi ini mengalami represi kekuasaan negara.”
“Dan sayangnya, tradisi intelektual seperti ini kian memudar akibat perkembangan teknologi, media sosial dan perilaku kita berinteraksi di dunia maya: kritik elaboratif tidak hadir sebagai upaya membangun silang pendapat yang membangkitkan pengetahuan, bahkan kesadaran,” imbuh Ni Made lagi.
Selain itu, sambung dia, GM adalah pemikir yang mengolah filsafat Barat dengan cara dan kebutuhannya sendiri. Cara GM berfilsafat yang bukan secara sistematis-akademis melainkan dalam konteks dan pergulatan didapat dari didikan yang mengajarinya bahwa berpikir berangkat dari masalah (problem). (smr)