Meneladani Ibrahim AS dalam Pengabdian dan Kepemimpinan

Repro Imam Shamsi Ali. Foto: internet

Oleh Imam Shamsi Ali *)

semarak.co-*Kebesaran Allah dan Kehidupan*

Bacaan Lainnya

Saya memulai tulisan ini dengan mengajak kita semua menundukkan wajah kita yang mulia, merendahkan jiwa kita yang hanif, merenungkan azhomatullah (keagungan Allah) seraya mensyukuri segala nikmatNya yang tiada batas yang dikarunikan kepada kita semua.

Kebesaran Ilahi yang kita kumandangkan dengan alunan “takbir, tahmid, dan tahlil” adalah ekspresi iman sekaligus bentuk komitmen kita untuk menjadikan Allah “Jalla Jalaaluh” sebagai “rujukan kehidupan” kita. Bahwa dalam hidup ini semuanya bermuara dari SATU sumber, Allahus Shomad.

Kita ada, kita berada atau tidak berada, kita kuat atau lemah, menguasai atau di kuasai, bahkan kita hidup dan pasti suatu saat nanti kita mati, semuanya karena Allah SWT. Esensi falsafah hidup yang seperti inilah yang tersimpulkan dalam pengakuan iman kita: “لا اله الا الله”.

Bahwa tiada yang punya hak kekuasaan, keagungan, penyembahan dan pujian kecuali Allah, Tuhan Pemilik langit dan bumi.  Inilah ikrar awal jamaah haji ketika memulai niat manasiknya:

لبيك اللهم لبيك لا شريك لك ان الحمد والنعمة لك والملك لإشراك لك

“Kami datang ya Tuhan memenuhi panggilanMu, tiada sekutu bagiMu. Sesungguhnya seluruh pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milikMu. Tiada sekutu bagiMu”.  Ini pulalah yang menjadi falsafah hidup sejati seorang Mukmin:  انا لله وانااليه راجعون

Bahwasanya kita, dan segala yang ada pada kita; anak isteri, harta benda, kekuasaan dan kehormatan duniawi kita, semuanya adalah milik Allah yang menjadi titipan sementara kepada kita dan pada akhirnya juga akan kembali kepadaNya.

Hadirnya Allah dalam hidup kita, baik pada tataran individu maupun kolektif, melahirkan kekuatan dan energi kehidupan yang maha dahsyat. Manusia lemah dengan dirinya. Tapi menjadi kuat dengan Sang Pencipta, Allah SWT.

Dunia dengan segala tantangan dan godaannya menjadi ringan, bahkan kecil ketika “azhomatullah” (keagungan Allah) telah hadir dalam hidup manusia.  Sungguh “ma’iyatullah” (kebersamaan dengan Allah) adalah sebuah pegangan yang tak akan goyah.

Pegangan yang dalam istilah Al Quran disebut “العروة الوثقي” (pegangan yang kokoh). Pegangan inilah yang menjadikan manusia stabil dalam hidupnya. Apapun warna dan bagaimanapun pergerakan hidup yang terjadi tidak akan menjadikannya goyah dan rapuh.

“فمن يكفر بالطاغوت ويومن بالله فقداستمسك بالعروة الوثقي لاانفصام لها”

Kebesaran Allah dalam dada RasulNya inilah yang menjadikannya tenang menghadapi tantangan, bahkan di saat-saat upaya asasinasi oleh musuh-musuh sekalipun. Peristiwa menegangkan itu tergoreskan dan menjadi bagian dari Kalam Allah:

اذ هما في الغار اذ يقول لصاحبه لاتحزن ان الله معنا فانزل الله سكينته عليه وايده بجنود لن تروها

“Ingatlah, ketika keduanya berada dalam gua itu, ketika dia berkata kepada sahabatnya: jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Maka Allah menurunkan kedamaian kepadanya dan menguatkannya dengan bala tentara yang belum pernah kalian saksikan”.

Keagungan karunia Ilahi

Kemaha besaran sang Pencipta itulah yang terefleksi dalam keagungan ragam nikmatNya pada kita. Allah SWT mengaruniakan kepada kita nikmat yang luar biasa, lahir maupun batin: ظاهرة وباطنة

Sedemikian besarnya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita, menjadikan sangat sedikit di antara hamba-hambaNya yang mampu bersyukur: وقليل من عبادي الشكور

“Sangat sedikit dari hamba-hambaKu yang mampu bersyukur”.  Penciptaan kita sebagai manusia (insan, basyar atau Bani Adam) itu sendiri Sungguh sebuah kenikmatan dan kemuliaan yang luar biasa: ولقد كرمنا بني  ادم

“Sesunggguhnya Kami telah muliakan anak cucu Adam (manusia)”. Penciptaan kita sebagai ciptaan terbaik, “the best design” (ahsanu taqwiim) merupakan bentuk kenikmatan yang luar biasa. Keindahan, kenyamanan dan kesempurnaan penciptaan kita sebagai manusia, sungguh kenikmatan yang menuntut kesadaran rasa syukur dari kita semua.

Dijadikannya manusia sebagai makhluk yang memiliki kapasitas akal atau fikir, menjadikan makhluk lain irihati. Dengan kemampuan inilah manusia mampu berinovasi dalam rangka mengemban amanah “kekhilafahannya” di atas bumi ini:

وعلم آدم الأسماء كلها ثم عرضهم علي الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء ان كُنتُم صادقين.

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya. Kemudian Dia (Allah) menanyakan kepada para malaikat (tentang nama-nama itu). Maka Allah berkata: sebutkan kepadaKu nama-nama semuanya jika kalian mengaku benar”.

Nikmat Iman dan Islam

Tapi perlu kita kembali menyadari bahwa dari semua nikmat yang Allah karuniakan itu, nikmat iman dan Islamlah yang menjadi fondasi dan penentu. Karunia apapun akan menjadi nikmat jika dibangun di atas fondasi iman. Sebaliknya, karunia apapun jika tidak dibarengi iman justeru bisa menjadi “niqmah atau musibah kehidupan.

Dunia Barat dengan segala kemajuan material, perkembangan sains dan teknolog, khususnya dalam dunia informasi saat ini terbukti gagal memberikan ketenangan dan kebahagiaan hidup. Sebuah realita bahwa hidup tanpa iman dan Islam adalah kehidupan yang gagal, walau bergelimang dengan kemajuan materi.

Realita ini harus menyadarkan kita untuk mensyukuri dan selalu meninggikan “value” atau nilai iman dan Islam kita.

ولكن الله حبب إليكم الإيمان وزينه في قلوبكم وكزه إليكم الكفر والفسوق والعصيان أولائك هم الراشدون. فضلا منالله ونعمة والله عليم حكيم

“Akan tetapi Allah menjadikan engkau mencintai keimanan, membenci kekufuran, kefasikan dan dosa-dosa. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. Itulah keutamaan dan kenikmatan dari Allah. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana”.

*Idul Adha dan Ketauladanan Ibrahim*

Perayaan Idul Adha yang Umat Islam rayakan di seantero dunia sarat dengan makna dan nilai-nilai kehidupan yang sangat luar biasa. Ada makna hidup dan ujian, makna ketaatan dan pengorbanan, makna soliditas mental dan kekokohan iman, sekaligus mengajarkan nilai-nilai kehidupan kolektif dan kepemimpinan.

Dan yang teristimewa dari semua itu adalah kenyataan bahwa semua ini sangat erat dengan sejarah hidup Ibrahim AS. Maka sangat wajar, jika perayaan Idul Adha itu adalah bentuk kenangan sekaligus ketauladanan kita kepada nabiyullah, Ibrahim AS. Umat ini memang diperintah untuk menauladani Ibrahim AS:

واتبعوا ملة ابراهيم “Dan teladanilah millah Ibrahim”

Haji, Ibrahim dan korban memang menjadi tema utama dari Idul Adha yang yang dirayakan. Karena memang Ibrahim menjadi simbol kesempurnaan dalam pengabdian dan kemuliaan akhlak. Sementara haji adalah ibadah yang menjadi miniatur kehidupan manusia.

Dan semua itu hanya dapat diwujudkan dengan semangat pengorbanan. Ibrahimlah yang pertama kali diperintah untuk mengumandangkan kewajiban haji kepada umat manusia:

 واذذن في الناس بالحج يأتوك رجالا وعلي كل ضامر يأتين من كل فج عميق

“Dan kumandangkan kepada manusia (kewajiban) haji. Niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kali dan mengendarai onta, datang dari berbagai penjuru yang jauh”. ketauladanan dalam proses hidayah

Ketauladanan pertama dari sejarah perjalanan hidup Ibrahim AS adalah bahwa dalam proses menemukan “mutiara iman” diperlukan pencarian yang sungguh-sungguh. Tapi dengan kesungguhan dua instrumen yang Allah berikan kepada manusia: akal dan hati.

Kesungguhan hati itulah yang diekspresikan dalam Al-Quran:  والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وان الله لمع المحسنين.

“Dan mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami akan Kami tunjuki jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang muhsinin”.  Tapi manusia juga diciptakan dengan daya nalar. Karenanya pada diri manusia ada “kuriositas” (keingin tahuan) yang tinggi.

Karenanya proses menemukan hakikat iman memerlukan rasionalitas yang tajam pula. Kisah pencarian Tuhan oleh Ibrahim di tengah rimba kuriositasnya (keingin tahuan) itu dikisahkan secara cantik dalam Al-Quran, Surah al-An’am: 76-79.

Dari proses analisa dan pengamatan panjang melalui metode “at-tafkiir fil-khalq”, dari bintang-bintang, bulan, hingga matahari, pada akhirnya mengantar Ibrahim AS sampai kepada kesimpulan:  اني وجهت وجهي للذي فطر السموات والارض حنيفا مسلما وما انا من المشركين

“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Rabb yang mencipatakan langit dan bumi, menerima agama yang lurus. Dan aku tidaklah Aku termasuk orang-orang yang mempersekutukanNya”.

Maka keyakinan bukanlah perasaan atau bentuk emosi semata. Tapi sebuah kemantapan jiwa melalui cerna rasionalitas yang kokoh. Keimanan yang dilandasi oleh rasa emosi semata akan melahirkan karakter keagamaan yang sempit, dan kerap kali melahirkan prilaku emosional bahkan irrational yang destruktif.

Di sinilah rahasianya kenapa ayat-ayat pertama Al-Quran yang diwahyukan kepada baginda Rasul adalah perintah untuk memaksimalkan daya nalar. Perintah membaca: اقرأ.

Rasionalitas sesungguhnya memang menjadi salah satu karakter ajaran Islam, sekaligus kunci kekuatannya. Dengan pemikiran dan rasionalitas yang luas akan tumbuh “al-yaqiin” atau keyakinan hati yang solid. Suasana hati dengan keyakinan seperti inilah yang digambarkan oleh Al-Quran:

“كشجرةطيبة اصلها ثابت وفرعها في السماء تؤتي أكلها كل حين باذن ربها  (bagaikan pohon yang bagus, akarnya menghunjam ke dalam tanah, memberikan buah-buahnya setiap saat dengan izin Tuhannya).

Sungguh di zaman sekarang ini umat dituntut untuk membangun keseimbangan “iman” dan “rasionalitas”. Berbagai prilaku destruktif yang terjadi akhir-akhir ini seringkali disebabkan oleh emosi yang terimbangi oleh pemikiran yang rasional.

Keimanan yang solid melahirkan kekuatan dan kematangan hidup. Rasionalitas berpikir yang sehat melahirkan kedewasaan dan kebijaksanaan (hikmah) dalam berpikir dan bersikap. Saya sangat yakin, bangsa dan dunia kita saat ini memerlukan manusia-manusia seperti ini.

Mereka itulah manusia-manusia “Ulul al-baab”. Solid dan mapan hatinya, tajam daya nalarnya. Mereka ini yang digambarkan dalam Al-Qur’an:  الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلي جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والارض.

“Mereka yang mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dan mereka yang memikirkan ciptaan Allah, baik yang di langit maupun yang dibumi”.

Ujian dan kematangan hidup

Ketauldanan kedua dari Ibrahim AS adalah bahwa hidup ini merupakan perjalanan dari satu titik ke titik yang sama. Bagaikan tawaf, berputar berkeliling dengan irama dan tujuan yang sama. Namun perlu diingat, Ka’bah harus selalu menjadi sentra perputaran itu.

Allah harus menjadi pusat perputaran hidup manusia. Kaya atau miskin Allah menjadi pusat kehidupan. Kuat atau lemah Allah menjadi pusat kehidupan. Merasakan kemudahan atau kesulitan hidup Allah tetap menjadi pusat kehidupan. Ibrahim AS sendiri menegaskan bahwa dirinya terus bergerak menuju kepada Allah:  اني ذاهب الي ربي

Sesungguhnya aku berjalan menuju Tuhanku.” Realita hidup yang demikian menuntut kematangan atau kedewasaan dalam menjalaninya. Tanpa kedewasaan manusia akan menjadi “cengeng” dan lemah.

Untuk menumbuhkan kematangan dan kedewasaan hidup itulah manusia akan ditempa dengan berbagai ujian. Di sinilah Ibrahim AS tampil sebagai sosok tauladan yang sangat luar biasa. Ibrahim AS mengalami tempaan itu dari awal perjalanan hidupnya hingga mencapai puncak kematangannya.

Ragam bentuk ujian yang Allah SWT berikan kepada Ibrahim AS itu bukan karena ketidak sukaan. Tapi karena kecintaanNya kepadanya. Ibrahim AS sendiri adalah sosok hambaNya yang “khalilullah” (kekasih Allah).

Dari ujian keluarga, ke sahabat, hingga ujian publik dan kekuasaan. Ujian yang bersifat emosional, spiritual keimanan, hingga kepada yang bersifat fisikal dan material. Cobaan besar pertama yang Ibrahim harus lalui adalah ketika menyampaikan kebenaran kepada masyarakatnya.

Dengan caranya Ibrahim berjuang menegakkan “Kalimah Tauhid”, beliau ditangkap bahkan dieksekusi dengan hukuman mati. Tapi kematangan mentalitas dalam keimanan yang solid itu tidak menjadikannya gentar sedikitpun.

Di saat tawaran bantuan para malaikat silih berganti, semuanya ditampik dengan keyakinan penuh bahwa hanya Allah yang punya kuasa sejati. Dengan keyakinan inilah Allah memerintahkan api yang menggunung itu menjadi dingin bahkan menyenangkan bagi Ibrahim:  “يا نار كوني بردا و سلاما علي ابراهيم

(Wahai api, dinginlah dan menjadilah keselamatan bagi Ibrahim). Kuasa Allah berlaku. Api yang panas menjadi dingin bahkan menyenangkan Ibrahim dengan kuasaNya. Sebuah peristiwa yang melampaui daya nalar manusia yang kerap dibatasi oleh segala keterbatasaannya.

Logika dan skill komunikasi dalam dakwah

Ada sebuah catatan menarik yang terjadi ketika terjadi dialog antara sang raja dan Ibrahim sebelum eksekusi itu terjadi: “Kamukah yang merusak tuhan-tuhan kami Wahai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Tapi patung besar itulah sendiri yang melakukannya. Tanyakan kepadanya jika mereka mampu berbicara”.

Sang raja menjawab: “Engkau tahu kalau mereka itu tidak berbicara”.  Yang segera direspon oleh Ibrahim dengan kecerdikan dan logika: “lalu wajarkah kalian menyembah mereka selain Allah? Sedangkan mereka tidak memberi manfaat apa-apa?”.

Pelajaran terpenting dari petikan dialog antara Ibrahim dan raja itu adalah bahwa seorang Muslim, apalagi para ulama dan da’i harus memiliki ketajaman logika, sekaligus kapabilitas dalam mengkomunikasikan kebenaran.

Kelemahan logika dan ketidak mampuan mengkomunikasikan kebeneran melahirkan da’i-da’i yang kerap bermain dogma, mudah menyalahkan, bahkan mengkafirkan. Yang lebih berbahaya lagi ketika para da’i melakukan dakwah dengan metode “bolduzer”. Menghancurkan segala harapan hidayah atas nama dakwah. Bahkan lebih berbahaya meruntuhkan keindahan wajah Islam itu sendiri.

Ujian terbesar kehidupan: pengorbanan

Setelah settle atau menetap di negeri yang penuh barokah, Jerusalem, dan dengan proses panjang, datanglah ujian besar lainnya. Setelah sekian lama Ibrahim dan isterinya Sarah menikah, mereka tak kunjung juga dikaruniai anak. Bahkan keduanya telah mencapai umur uzur.

Ibrahim pun semakin khawatir akan kesinambungan dakwahnya. Hal ini disadari oleh isterinya, Sarah, maka Ibrahimpun diminta olehnya untuk menikahi hamba sahaya mereka, Hajar. Melalui Hajar Allah mengaruniakan seorang putra yang diberi nama Ismail AS. Alangkah bahagianya Ibrahim dengan karunia anak yang telah lama ditunggu-tunggu itu.

Ternyata ujian besar dari Allah kembali diterimanya. Ibrahim diperintah untuk membawa anaknya yang baru lahir, Ismail, bersama ibunya, Hajar, ke sebuah lembah yang tiada tumbuhan:  بواد غير ذي زرع عند بيتك المحرمً.

“Di sebuah lembah yang tiada tumbuhan di samping RumahMu yang tersucikan”. Lembah yang tiada tumbuhan bermakna sebuah tempat yang secara manusiawi tidak memiliki sumber kehidupan. Tiada tumbuhan berarti tiada air. Tanpa air berarti tiada kehidupan.

Tapi Ibrahim yang semakin matang dalam keyakinan dan hidup itu kembali tidak mempertanyakan perintah Allah SWT. Ibrahim meninggalkan mereka berdua tanpa siapapun dan dengan perbekalan sekadarnya.

Keyakinan Ibrahim akan penjagaan Allah pastinya lebih hebat dan pasti ketimbang penjagaan dirinya sendiri. Hajar yang sebelum menikah itu hanya seorang hamba sahaya, ternyata juga memiliki iman yang sangat kuat.

Di saat dia tanya ke suaminya apakah meninggalkan dirinya dan anaknya di tempat itu adalah perintah Allah? Ibrahim yang hanya mampu menjawab dengan gerakan kepala itu, direspon oleh Ibu Hajar: “berangkatlah, tinggalkanlah kami, karena saya lebih yakin dengan penjagaan Allah SWT”.

Bertahun-tahun Ibrahim meninggalkan anak dan isteri tercinta. Hingga suatu ketika datanglah ujian terbesar dalam hidupnya. Anak satu-satunya, yang telah lama ditunggu-tunggu, dan sangat disayangi itu, diperintahkan oleh Allah untuk disembelih. Dalam Al-Quran disebutkan:

فلما بلغ معه السعي قال يا بني اني اري في المنام أني أذبحك فانظر ماذا ترا؟ قال يا أبتي افعل ما تؤمرستجدني ان شاء الله من الصابرين.

“Maka ketika anaknya mencapai umur balig dia berkata: Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi jika aku menyembelihmu. Lalu bagaimana pendapatmu? Dia (sang anak) berkata: Wahai ayahku lakukan apa yang diperintahkan kepadamu, niscaya engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang bersabar”.

Tapi Allah Maha bijaksana dan Maha Kasih Sayang. Sembelihan itu diganti dengan seekor domba. Itulah tradisi yang kita rayakan melalui syariatnya Rasulullah Muhammad SAW dengan korban atau adha.

Ujian demi ujian Allah berikan Ibrahim. Dan Ibrahim lalui semuanya dengan penuh iman dan tawakkal. Ternyata ujian itu menjadi tangga untuk kekasih Allah, “khalilullah”, yang untuk selanjutnya menaiki tingkatan tertinggi dalam hidupnya.

واذابتلي ابراهيم ربه بكلمات فاتمهن  “Dan ingatlah ketika Allah menguji Ibrahim dengan Kalimaat (berbagai ujian) lalu dia menyempurnakannya”.

*Ketauladanan dalam kepemimpinan*

Ketauldanan ketiga dari kisah Ibrahim AS adalah ketauladan dalam kepemimpinan. Keberhasilan Ibrahim melalui berbagai ujian itu menjadikannya matang dalam menjalani kehidupan ini. Dengan kamatangan hidup itulah Allah mengangkat Ibrahim menjadi pemimpin bagi manusia (اماما للناس)

Kepemimpinan adalah pilar kehidupan. Karenanya semua manusia pada dasarnya adalah pemimpin dalam hidupnya. Rasulullah SAW menggambarkan hidup itu seolah gembalaan yang harus dijaga, tapi sekaligus dipertanggung jawaban.

كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته  “Setiap kalian adalah gembala dan semuanya akan diminta pertanggung jawaban dari gembalaannya”.

Ibrahim AS diangkat menjadi pemimpin bukan dengan tiba-tiba dan serta merta. Tapi melalui proses panjang dengan berbagai penempaan. Al-Quran menyampaikan:

واذابتلي ابراهيم ربه بكلمات فأتمها قال اني جاعلك للناس اماما قال و من ذريتي قال لاينال عهدي الظالمين.

“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah), lalu dia menyempurnakan. Dia (Allah) berfirman: sesungguhnya Aku menjadikan kamu seorang pemimpin. Ibrahim berkata: dan juga dari kalangan anak keturunanku.

Dia (Allah) menjawab: sesungguhnya keputusan Aku tidak akan diperoleh mereka yang zholim”. Setelah mencapai kematangan jiwa dan pengalaman hidup yang solid, Ibrahim AS memang berdoa untuk dijadikan pemimpin. Tapi Ibrahim meminta kepemimpinan yang berasas ketakwaan.

Kepemimpinan yang membawa umatnya kepada ketaatan dan kesalehan individu dan kolektif. ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة اعين واجعلنا للمتقين اماما.  “Wahai Tuhanku karuniakan kepada kami pasangan-pasangan dan anak keturunan yang menyejukkan hati. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.

Karakteristik kepemimpinan Ibrahim

Secara mendasar, kepemimpinan Ibrahim AS memiliki tiga karakteristik dasar, seperti yang digambarkan dalam Al-Quranul Karim: وجعلنا منهم اءمةيهدون بأمرنا لما صبروا وكانوا بآياتنا يوقنون  “dan Kami jadikan dari kalangan mereka pemimpin-pemimpin yang berpetunjuk dengan urusan Kami, memilki kesabaran, dan mereka dengan ayat-ayat Kami yakin”.

يهدون بأمرنا berarti mereka berpegang teguh dengan nilai-nilai kebenaran. Perpegang teguh juga berarti memiliki kapasitan keilmuan dan pemahaman dengan masalah-masalah (understanding the issues) yang dihadapi oleh kepemimpinannya. Dalam bahasa politik inilah yang disebut dengan “kapasitas” dan “kapabilitas”.

لما صبروا berarti memiliki mentalitas baja dalam menghadapi berbagai ringangan kepemimpinan. Rintangan yang kita maksud bukan saja kesulitan-kesulitan (challenges) yang ada. Tapi yang lebih penting untuk dihadapi dengan kesabaran ini adalah godaan-godaan (temptations) kekuasaan.

Sabar dengan kesulitan itu wajar dan lebih ringan. Tapi sabar menghadapi godaan itu jauh lebih berat dan kadang terlihat aneh.  وكانوا بآياتنا يوقنون  berarti yakin dan meyakinkan. Saya ingin mengatakan bahwa kepemimpinan Ibrahim itu dibangun di atas optimisme yang kuat. Tapi juga sekaligus memberikan optimisme yang tinggi. Optimisme dan harapan, bukan sekedar janji-janji yang seringkali gagal terpenuhi.

Ibrahim dan karakter demokratis

Ada satu catatan ringan tapi penting dari kepemimpinan Ibrahim adalah bahwa beliau selalu mendengarkan aspiarasi masyarakatnya. Hal ini terindikasi jelas ketika meminta opini anaknya menyikapi perintah Allah untuk menyembelihnya:

فلما بلغ معه السعي قال يابني اني اري في المنام اني اذبحك فانظر ماذا تري قال ياابت افعل ماتومر ستجديني ان شاء الله من الصابرين

“Maka ketika dia (Ismail) mencapai umur balig dia (Ibrahim) berkata: Wahai anakku, Sesungguhnya Aku bermimpi menyembelihmu, apa pendapatmu? Dia(Ismail) berkata: Wahai ayahku, lakukan apa yang diperintahkan kepadamu niscaya insya Allah engkau akan mendapatiku bersabar”.

Keinginan untuk mendengarkan, walaupun dari seorang anak remaja, dan berkenaan dengan urusan keyakinan, menjadikan Ibrahim menjadi “pemimpin” yang bijak. Tidaklah barangkali berlebihan jika saya memakai bahasa politik modern bahwa Ibrahim “master of democracy”?

Kepemimpinan itu Amanah

Kepemimpinan itu memang karunia, bukan sekedar kehormatan. Kepemimpinan adalah karunia amanah, kesempatan yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki untuk melakukan “pengabdian” kepadaNya melalui pelayanan publik. Dan karenanya pemimpin yang adil akan berada di posisi para nabi di hari Akhirat.

Kepemimpnan itu “karunia”, bahkan masuk dalam lingkaran “takdir”. Allahlah yang memberikan kepemimpinan kepada Ibrahim: أني جاعلك للناس اماما (sungguh Kami jadikan kamu (Wahai Ibrahim) sebagai pemimpin bagi manusia).

Al-Quran bahkan tegas menyampaikan:  قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنزع الملك من تشاء  “Wahai Allah, Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendak”.

Manusia yang menyadari hakikat ini tidak akan berambisi buta dalam memperebutkan kepemimpinan. Tidak akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepemimpinan. Tidak akan melakukan fitnah dan cara-cara busuk lainnya demi meraih kepemimpina itu.

Karena memang yakin Allahlah yang memberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya. Di tanganNya tergenggam kekuasaan langit dan bumi: بيده الملك وهو علي كل شيء قدير

Misi Kepemimpinan Ibrahim

Misi kepemimpinan Ibrahim itu tersimpulkan dalam doa yang beliau dipanjatkan kepada Allah bagi negeri dan dan penduduknya:  واذقال ابراهيم رب اجعل هذا البلد امنا وارزق أهله من الثمرات من أمن منهم بالله واليوم الاخر قال ومن كفر امتعهقليلا ثم اضطره الي عذاب إنار وبئس المصير.

“Dan ingat ketika Ibrahim berdoa: wahai Tuhan kami jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan karuniakan kepada penduduknya buah-buahan bagi yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat.

Dia (Allah) berfirman: tapi barang siapa yang ingkar maka Kami akan berikan kesenangan sejenak, lalu kami tarik mereka ke dalam api neraka, tempat kembali yang buruk”. Ada tiga hal penting yang menjadi misi utama kepemimpinan Ibrahim:

Pertama, Al-amnu (keamanan). Sebab dengan keamanan itu akan tercipta stabilitas).  Dan hanya dengan stabilitas akan terbangun kemakmuran.

Kedua, al-Rizqu (rezeki). Dengan pembangunan yang ditopang oleh stabilitas tadi akan tercipta kesejahteraan umum.

Ketiga, al-adlu (keadilan). Tapi kesejahteraan yang benar hanya terjadi ketika terbangun di atas asas keadilan. Kesejahteraan yang berkeadilan itu menjadi misi terpenting dari kepemimpinan.

*Kontekstualisasi Kepemimpinan Ibrahim*

Jika kepemimpinan Ibrahim AS kita kontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa kita, maka semua itu secara substantif tertuang dalam pasal-pasal di Falsafah negara kita, Pancasila. Kedalaman spiritualitas yang terpatri dalam kepemimpin Ibrahim AS itu terwakili dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kesabarannya membangun etika dalam kepemimpinannya yang berkarakter Itu terwakili dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sosoknya sebagai “ummah qanita” merupakan simbolisasi dari Persatuan Kebangsaan kita.

Bahkan moral dan integritas kepemimpinannya itulah yang tertuang dalam sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Sementara misi kepemimpinannya untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan umum tersimpulkan dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Doa Ibrahim untuk penduduk Mekah adalah bentuk “cinta negeri.“ (hubbub wathon). Dan karenanya nasionalisme, selama dimaksudkan untuk kepentingan umum dalam berbangsa dan bernegara adalah bagian dari spirit Islam.

Bersyukurlah kita bangsa Indonesia. Bangsa yang dalam sejarahnya tidak pernah terpisah dari nilai-nilai spiritualitas dan agama. Dan yang lebih khusus lagi, peranan agama dan ulama dari masa ke masa, dalam segala zaman dan situasi, tidak pernah dipandang sebelah mata.

Maka dalam merayakan pengorbanan Ibrahim, sekaligus kita bangun komitmen kepemimpinan yang berkarakter, berakhlakul karimah. Kepemimpinan yang mengedepankan “Rahmah” (kasih sayang) kepada rakyat. Terlebih kepada mereka yang memang berada pada posisi yang termarjinalkan.

Namun tidak kalah pentingnya adalah kita membangun kembali semangat besar kita untuk bangkit dalam kebersamaan untuk membangun bangsa yang besar dan menang. Bahkan lebih jauh, menjadi bangsa dengan “global leadership” (pemimpin global). Ibrahim AS adalah sosok yang merepresentasi globalitas umat.

Bahkan kepemimpinan Ibrahim juga adalah kepemimpinan global. Inilah yang digambarkan dalam bahasa Al-Quran: اماما للناس (pemimpin bagi seluruh manusia). Dalam konteks ini ada dua hal penting untuk kita sadari sebagai bangsa:

Pertama, pentingnya menyadari realita dunia kita. Bahwa dunia kita adalah dunia global yang menuntut kesiapan penuh dan global mindset dari kita.

Kedua: bangsa ini secara khusus sebagai bangsa berpenduduk Muslim terbesar dunia, harus bangkit untuk mengemban kepemimpinan global itu.

Dunia global adalah dunia yang berkarakter kecepatan, kompetisi, dan ketergantungan (interconnectedness). Umat dituntut untuk memilki kecepatan dalam menangkap semua peluang yang ada. Umat juga dituntut untuk memiliki kemampuan daya saing (kompetisi) yang tinggi.

Tapi tidak kalah pentingnya umat harus menyadari pentingnya membangun “kerjasama” dengan siapa saja demi membangun negeri dan dunia yang lebih baik. Namun tidak kalah pentingnya sekali lagi bangsa ini harus bangkit menjadi “imaman linnaas”.

Sebagai putra bangsa yang telah lama di luar negeri saya sangat yakin jika Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar dunia sangat kapabel untuk mengambil tanggung jawab “imaamah” atau kepemimpinan itu.

Maka masanya bangsa ini bangkit menampilkan Islam yang berkarakter maju dan menang. Islam yang saat ini sejatinya menjadi dambaan dunia. Islam yang ramah, Islam yang berkarakter tawassuth (moderat) wa tassamuh (toleran), tapi mu’tadil (berkeadilan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan).

Dengan semangat itulah umat Islam di bumi Nusantara ini, bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa, harus bangkit membangun negeri. Bahkan ikut turut dalam mewwujudkan dunia yang berkatakter Qurani: بلدة طيبة ورب غفور

اللهم اجعلنا من الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه. أقول قولي هذا واستغفر الله لي ولكم وًلساءر المسلمينوالمسلمات فاستغفروه انه هوالغفورًالرحبم.

Manhattan City, 26 Juni 2023

*) Presiden Nusantara Foundation, USA.

Renungan Hari Raya Idul Adha 1444 H / 2023 M

 

sumber: WAGroup BASECAMP PEJUANG 24 JAM (postKamis16/6/2023/21.06/]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *