Mendes PDTT Minta Pendamping Kuatkan Asas Rekognisi dan Subsidiaritas, Santri Berperan Gerakkan Ekonomi Desa

Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar di salah satu pondok pesantren. Foto: humas Kemendes PDTT

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyatakan, santri berperan besar dalam menggerakkan ekonomi desa.  Pondok Pesantren yang sebagian besar berada di tengah-tengah desa mempunyai arti penting secara spiritual, sosial, dan ekonomi bagi warga desa.

semarak.co-Mendes PDTT Halim mengatakan, secara kultural pesantren dan desa seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sebagian besar pesantren-pesantren berada di tengah-tengah desa. Para kiai pesantren merupakan rujukan utama warga desa jika mereka membutuhkan pandangan terkait masalah spiritual dan sosial.

Bacaan Lainnya

“Dewasa ini, pesantren juga menjadi penggerak ekonomi desa,” ujar Mendes PDTT Halim pada peringatan Hari Santri Nasional tahun 2021 di Jakarta, Jumat (22/10/2021) seperti dirilis humas melalui WAGroup Rilis Kemendes PDTT, Sabtu (23/10/2021).

secara spiritual, lanjut Mendes PDTT, pesantren menjadi pusat kegiatan-kegiatan keagamaan. Sedang makna sosial pesantren melahirkan tokoh-tokoh agama yang berperan penting ditengah masyarakat.

“Kalau mau jujur harus diakui jika salah satu kunci kemajuan desa terletak pada peran aktif kiai maupun santri yang bisa bersinergi dengan masyarakat desa. Jika sinergi ini bisa terus dipertahankan maka kemajuan desa segera direalisasikan,” kata Gus Halim, sapaan akrab Mendes PDTT Halim.

Gus Halim mengungkapkan mulai dekade 1970-an, pesantren menjadi pusat inovasi pertanian desa. Bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pembangunan desa, pesantren kerap memunculkan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

“Saat itu kerja sama pesantren, dan LSM dalam pembangunan desa bisa menghasilkan berbagai produk pertanian berkualitas mulai dari varietas bibit terbaru, tata cara bercocok tanam mutakhir, hingga pengelolaan usaha tani yang lebih efisien,” ujar Gus Halim yang juga akrab disapa Gus Menteri.

Tentu saat itu, kata Gus Halim warga desa tidak mudah menerima perubahan. Namun berbagai inovasi baru tersebut mula-mula diterapkan di lahan-lahan pesantren. Saat terbukti meningkatkan hasil panen maka perlahan-lahan inovasi tersebut diterima secara luas warga desa.

“Kami berharap pola-pola tersebut bisa kembali diterapkan dalam arti pesantren menjadi pusat inovasi kemajuan desa. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018, ada 28.961 pesantren tersebar di 14.020 desa. Menurutnya pesantren-pesantren ini berpotensi menggerakan sektor ekonomi desa,” imbuhnya.

Biasanya setiap pesantren, terang dia, memiliki lahan atau kolam yang diolah para santri. Tak jarang warga desa turut menggarap lahan-lahan pesantren. “Hasil garapan yang berlebih juga dijual ke pasar local,” ucap mantan Ketua DPRD Jawa Timur.

Selain itu, pesantren juga menjadi pasar bagi masyarakat desa sekitar pesantren. “Ini pasti, sekitar pesantren pasti tumbuh subur usaha-usaha masyarakat, mulai dari penjual makanan, pakaian, alat tulis, kitab, dan semacamnya, semuanya untuk kebutuhan santri,” ujar pria yang dibesarkan di pesantren ini.

Bagi Desa, lanjut Gus Halim, Pesantren menopang pencapaian tujuan SDGs Desa ke-4; Pendidikan Desa Berkualitas, serta tujuan SDGs Desa ke-18: Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

“Dengan demikian, pesantren dan santri adalah penyangga kualitas SDM, menggerakkan ekonomi desa, pesantren menunjang dinamika kelembagaan desa dan menopang budaya desa,” ujar Gus Menteri.

Sebelumnya diberitakan, Mendes PDTT Halim meminta para pendamping desa menguatkan asas rekognisi dan subsidiaritas desa. Penguatan dua asas ini akan mempercepat kemajuan dan kemandirian desa.

“Saya tidak berhenti dan lelah untuk memastikan asas rekognisi dan subsidiaritas desa benar-benar terimplementasi di lapangan. Para pendamping desa harus mempercepat realisasi dua asas yang menjadi ruh di Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa tersebut,” ujar Gus Halim, Jumat juga (22/10/2021).

Rekognisi desa merujuk pada eksistensi desa. Pada praktiknya, rekognisi desa ditunjukkan dengan pemberian kode wilayah desa yang menjadi basis eksistensi desa untuk mendapatkan dana desa, serta menjalankan keseluruhan rangkaian kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan warga desa.

Sedangkan asas subsidiaritas merupakan wewenang yang melekat pada desa karena telah menjadi tradisi, berlangsung berpuluh tahun lalu, dan biasa dijalankan di tingkat desa. “Asas subsidiaritas ini pada prakteknya kerap dijadikan rujukan bagi kepala desa atau perangkat desa dalam menyelesaikan konflik antarwarga tanpa harus menggunakan pendekatan hukum formal.

Ini merupakan kekayaan luar biasa dari desa-desa di Indonesia. Gus Halim menyatakan asas rekognisi dan subsidiary desa ini harus dijaga di tengah cepatnya pembangunan desa. Di sinilah pentingnya peran pendamping desa untuk menjaga dua asas tersebut benar-benar bisa menjadi modal dasar bagi percepatan pembangunan desa.

“Pendamping desa merupakan elemen penting dalam percepatan pembangunan desa. Salah satunya dengan menjadikan asasr rekognisi dan subsidiary benar-benar menjadi ruh pembangunan desa,” kata Gu Halim Iskandar yang juga politisi PKB.

Posisi ideal pendamping desa menurut Gus Halim Iskandar, adalah membersamai desa. Dengan demikian pendamping desa berada di di samping desa, bersama-sama desa, dan tidak mendahului desa. Pendamping desa harus berada di tengah-tengah warga desa, untuk memberdayakan diri bersama-sama warga desa.

“Pendampingan masyarakat bukan seperti proyek yang sekali datang langsung selesai, pendampingan bersifat terus menerus, setiap hari, sepanjang tahun,” tegas Gus Menteri yang juga dirilis humas melalui WAGroup Rilis Kemendes PDTT, Jumat (22/10/2021)

Saat ini, kata Gus Halim banyak pendamping desa yang berhasil menunjukkan peran terbaiknya dalam membersamai desa. Dia mencontohkan keberhasilan Nurul Hidayah, pendamping desa di Kecamatan Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah, dalam mengembangkan Desa Ramah Difabel.

Di tengah keterbatasan yang ada, Nurul Hidayah mampu meyakinkan pihak-pihak di level supra desa agar bisa terlibat pengembangan desa ramah difabel di wilayah dampingannya. “Dia mampu mengajak lembaga swadaya masyarakat dan pegiat disabilitas untuk masuk ke desa,” imbuhnya.

“Mereka melatih golongan difabel, menambah fasilitas bagi difabel di ruang publik, hingga bersama-sama desa menyiapkan rumah singgah. Inisiatif-inisiatif seperti inilah yang dibutuhkan dari sosok pendamping desa, sehingga berbagai kendala dan tantangan dalam percepatan pembangunan desa bisa terselesaikan,” pungkasnya. (rif/eza/smr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *