Mendahulukan Allah: Kunci Kemajuan Suatu Bangsa

ilustrasi hamba Allah yang sadar diri. foto: internet

Oleh Anonym *

semarak.co-Mari kita mengajukan pertanyaan, kenapa Bangsa Indonesia demikian banyak dirundung masalah; bukankah Presiden/wakil Presidennya mengaku seorang Muslim? Para pembantunya dan semua pejabat adalah orang beragama; tidak ada yang senang jika tidak disebut demikian?

Bacaan Lainnya

Para pendiri Bangsa, setelah bermusyawarah menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada posisi paling utama diantara kelima sila lainnya. Sudahkah kita bertanya, filosofi penempatan sila pertama itu dalam falsafah Pancasila? Tentu amat keterlaluan jika belum, sebab itu kami pun berasumsi bahwa pertanyaan tersebut telah diajukan.

Namun, apa jawabannya? Umumnya jawaban kita selama ini adalah bahwa bangsa Indonesia mengakui keberadaan semua agama. Maka muncullah tafsiran bahwa Pancasila mengajarkan toleransi antarberagama.

Kami tidak mengatakan jawaban seperti di atas itu keliru, namun apakah itu satu-satunya jawaban? Apakah tersedia jawaban yang lain, yang bahkan sangat mungkin jawaban yang lain itu justru jauh lebih tepat?

Mari kita perhatikan bagaimana mukaddimah UUD 1945, karena di dalam naskah inilah Pancasila itu tercantumkan dalam Konstitusi kita. Dikatakan bahwa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala Bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

Kita berhenti dulu pada paragraph yang pertama ini. Lalu bertanya, doktrin apa yang menjiwai lahirnya suatu pemahaman bahwa “kemerdekaan adalah hak”? Dari mana itu hak kemerdekaan? Tentu berasal dari sebuah pandangan yang sejalan dengan konsep universal tentang hak azasi manusia.

Bahwa secara azasi, manusia itu memiliki otonominya sendiri sebagai sesuatu yang diberikan bukan oleh manusia, tapi oleh yang menciptakan manusia, sehingga disebut sebagai hak asal. Konsep ini telah diterima secara universal baik dikalangan orang bergama maupun diluar kalangan orang beragama.

Kebetulan para perumus Mukaddimah UUD 1945 itu umumnya beragama Islam, maka tentu kita bersepakat bahwa konsep itu dipengaruhi cara pandang para perumusnya, yang mayoritasnya beragama Islam. Dengan demikian, pertanyaan kita selanjutnya adalah pada bagian mana ajaran Islam itu mencantumkan adanya hak azasi manusia?

Jawabannya tiada lain adalah tauhid, kalimat Laa Ilaha Illa Allah. Mengapa demikian, karena dalam ajaran Islam, keberadaan manusia adalah hamba Allah, dan status kehambaan ini diperoleh dengan mengakui Keesaan Allah SWT, mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT.

Hanya dengan demikian barulah eksistensi manusia itu diberikan oleh Allah berupa hak hidup di bumi Allah, dan pengingkaran atas tauhid berarti hilangnya eksistensi kehambaan itu. Dengan demikian hak merdeka diberikan tiada lain setelah hak hidup dan hak hidup diberikan setelah mengakui keesaan Allah SWT.

Maka sangat tepat jika kemudian pada paragraph kedua mukaddimah pembukaan UUD 45 itu diawali dengan kalimat: “Atas berkat Rahmat Allah SWT”. Sebuah doktrin kebangsaan yang diletakkan para founding fathers Bangsa kita (Indonesia), bahwa dalam keseluruhan gerak langkah membangun Bangsa, semenjak di proklamirkan hingga seterusnya, mestilah menempatkan Allah SWT sebagai variable paling utama dan pertama dalam pembangunan.

Demikianlah Al-quran mengajarkan bahwa dalam setiap memulai suatu pekerjaan, maka awalilah dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim. Sebuah filosofi kehidupan yang menjadikan Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim pada posisi paling Utama.

Praksisnya bagaimana? Tentu dalam praksisnya, seluruh kebijakan pembangunan mesti dirumuskan dengan mempertimbangkan aspek kasih sayang, cinta kasih. Sehingga tidak ada ruang bagi negara untuk berubah menjadi diktator, penindas, penjajah bagi negara lain atau bangsa lain, apalagi terhadap rakyatnya sendiri.

Mewarnai seluruh kebijakan pembangunan dengan sifat welas asih, kasih sayang antar sesama, inilah yang senantiasa mesti diperhatikan. Karena abai terhadap aspek ini, berarti akan tidak ber-peri kemanusiaan dan jauh dari peri keadilan. Agama dalam wujud ajaran cinta kasih dengan demikian adalah jiwa dari masa depan Bangsa Indonesia yang didambakan oleh para pendiri Bangsa kita.

Lalu, kenapa peran agama seolah dilihat tidak penting? Mungkin ada pihak yang akan berkata, ah itu hanya persepsi anda saja. Saya katakan cobalah lihat cara anda mengalokasikan anggaran, itulah salah satu fakta bahwa urusan pembinaan kerohanian, keagamaan di nomor sekiankan dalam pembangunan.

Agar catatan ini tidak terlalu panjang, kami mengajak para pembaca untuk merenung sejenak, sudahkah Allah diutamakan dalam setiap aktifitas kita? Dan lebih luas, sudahkah ajaran-ajaran Allah diutamakan dalam mengisi pembangunan? Silahkan jawab masing-masing dengan jujur sebagaimana semestinya orang yang beriman. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan-Nya kepada kita semua.

*) penulis tidak ditemukan hingga artikel ini ditayangkan, namun jika nantinya kami menemukan nama penulisnya tentu akan dikoreksi artikel ini untuk mencantumkannya.

 

sumber: WAGroup PEACE ANIES for RI 1 (postMinggu28/8/2022/)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *