Puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), Selasa 20 Februari 2024 mungkin bisa menjadi catatan bersejarah bagi dunia pers atau media di Indonesia. Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Publisher Rights.
semarak.co-Publisher Rights merupakan aturan yang mewajibkan perusahaan internet seperti Google hingga Meta (Facebook, Instagram, dan WhatsApp) untuk menegosiasikan kesepakatan komersial dan membayar media massa Indonesia untuk konten berita yang tayang di platformnya.
Lahirnya Perpres 32/2024 ini diharapkan mampu mendukung keberlanjutan industri media-media nasional, serta kerja sama yang lebih adil antara perusahaan pers dan platform digital dengan kerangka hukum yang jelas.
Sebab, saat aturan berlaku, platform digital tidak bisa lagi secara bebas mengambil berita dari media. Dengan kata lain, media dapat menuntut perusahaan internet yang menggunakan konten mereka untuk bagi hasil keuntungan, misalnya dengan Google, Facebook, hingga TikTok.
Aturan Publisher Rights ini sebenarnya bukan hal baru di dunia industri media massa. Sebelum di tanah air, aturan secama ini juga diterapkan di beberapa negara seperti Australia, Kanada hingga Prancis. Di Australia, aturan ini dikenal dengan sebutan News Media Bargaining Code.
Seperti dilansir Media Freedom Coalition, Pemerintah Australia mulai menggodok News Media Bargaining Code dengan meminta masukan dan rekomendasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen Australia (ACCC) pada April 2020. Aturan ini kemudian mulai berlaku pada Maret 2021.
Setelah berlaku, Google dan Meta menyepakati perjanjian komersial sukarela dengan sejumlah besar media berita di Australia. ACCC, di antaranya memberikan izin kepada Country Press Australia pada 5 Agustus 2021 dan Commercial Radio Australia pada 29 Oktober 2021, melakukan tawar-menawar dengan Google dan Facebook mengenai bagi keuntungan atas konten berita yang ditampilkan di platform tersebut.
Tanpa melanggar undang-undang persaingan usaha Australia. ACCC menilai, penerapan kebijakan tersebut telah berhasil hingga saat ini. Sebab lebih dari 30 perjanjian komersial antara platform digital (Google dan Meta) dengan berbagai bisnis berita di Australia telah dicapai.
Tak hanya media besar, media kecil pun mendapatkan keuntungan dari adanya aturan News Media Bargaining Code. Dari data ACCC, perjanjian nilai ekonomi berkisar antara 3 hingga 5 tahun kontrak, dengan nilai keuntungan lebih dari 200 juta dolar Australia.
Salah satu kekurangan implementasi aturan ini adalah masih terbatasnya keuntungan bagi media kecil hingga menengah. Menurut ACCC, Google dan Meta lebih mudah membuat perjanjian dengan perusahaan-perusahaan media besar di Australia, seperti News Corp Australia, Nine-Fairfax, ABC, dan Seven.
Biasanya, media-media tersebut dapat lebih cepat meneken perjanjian dengan lebih menguntungkan. Salah satu solusinya, media-media kecil dan menengah harus lebih dulu membentuk asosiasi bersama sebelum ter-notice dan mencapai negosiasi dengan Google dan Meta.
Selain itu, media di Australia belum mendapat rincian perjanjian dengan platform digital. Sebab aturan ini tidak mewajibkan pengungkapan rincian perjanjian apa pun dan hal tersebut dilindungi oleh perjanjian kerahasiaan (NDA).
Dengan demikian, media akan sulit mengetahui detail keuntungan dan bagaimana melakukan pendekatan negosiasi. Terlepas dari itu semua, implementasi News Media Bargaining Code dinilai membawa harapan cerah bagi keberlangsungan media di Australia.
Lain halnya dengan Kanada. Dikutip dari Reuters, Google sempat merasa keberatan dengan aturan Publisher Rights yang bernama Online News Act/Bill C-18 yang mulai berlaku Juni 2023. Regulasi di Kanada ini dianggap lebih ketat daripada penerapan Publisher Rights di Australia dan Eropa.
Google berpendapat, menampilkan berita seharusnya bisa dilakukan oleh semua pihak secara gratis di internet, sehingga tidak perlu membayar ke pihak penerbit. Namun, pada akhirnya Google sepakat untuk mematuhi aturan Bill C-18 Kanada sehingga batal memblokir berita Kanada.
Kesepakatan Google menaati aturan Bill C-18 ini diduga karena berhasil dalam negosiasi soal besaran pembayaran untuk media atau penerbit berita lokal. Ini juga telah dikonfirmasi oleh Menteri Warisan Budaya Kanada, Pascale St-Onge.
“Setelah diskusi yang cukup alot selama berminggu-minggu, saya dengan senang hati mengumumkan bahwa kami telah menemukan jalan tengah bersama Google untuk penerapan Undang-Undang Berita Online,” ujar Bill dilansir voi.id, 20 Maret 2024, 10:00.
Menurut seorang pejabat Kanada, Google sepakat untuk membayar sekitar 100 juta dolar AS (sekitar Rp1,5 triliun) setiap tahun kepada media di Kanada. Selain Google, Meta juga harus mengikuti Undang-Undang Berita Online ini jika masih mau menayangkan berita Kanada di platform mereka.
Namun, juru bicara Meta mengatakan bahwa pihaknya akan tetap memblokir berita Kanada meski Google telah berubah pikiran. Di Eropa, Prancis disebut menjadi negara pertama di Uni Eropa yang menerapkan aturan Publisher Rights. Aturan Neighbouring Rights sudah berlaku sejak Juli 2019.
Google kemudian menandatangani perjanjian untuk membayar media Prancis atas hak menampilkan konten berita mereka secara online sejak aturan berlaku. Dengan demikian, organisasi media di Prancis akan dikompensasi secara adil ketika artikel berita mereka muncul di halaman hasil mesin pencari.
Tapi, perjanjian ini tak selalu berjalan mulus. Perselisihan mengenai Neighbouring Rights telah memperburuk hubungan antara Google dan organisasi berita Prancis. Google bahkan sempat didenda sebesar 500 juta Euro terkait perselisihan hak cipta dengan penerbit berita.
Bagaimana dengan di Indonesia nantinya? Usai ditandatangani Presiden Jokowi, Selasa 20 Februari lalu, Publisher Rights akan mulai berlaku setelah 6 bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Beberapa poin dalam Perpres 32/2024 ini, antara lain:
Pertama, tidak memfasilitasi penyebaran dan/atau tidak melakukan komersialisasi konten berita yang tidak sesuai dengan Undang-Undang mengenai pers setelah menerima laporan melalui sarana pelaporan yang disediakan oleh perusahaan platform digital.
Kedua, memberikan upaya terbaik untuk membantu memprioritaskan fasilitasi dan komersialisasi berita yang diproduksi oleh perusahaan pers. “Memberikan perlakukan yang adil kepada semua perusahaan pers dalam menawarkan layanan platform digital,” demikian bunyi Pasal 5 huruf c.
Keempat, melaksanaan pelatihan dan program yang ditujukan untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas dan bertanggung jawab. Kelima, memberikan upaya terbaik dalam mendesain algoritma distribusi berita yang mendukung perwujudan jurnallisme berkualitas sesuai dengan nilai demokrasi, kebinekaan, dan peraturan perundang-undangan. Terakhir, bekerja sama dengan perusahaan pers.
Solidaritas antarMedia
Pemerhati media sustainability, Agus Sulistyo mengungkapkan, media-media di tanah air, terutama media kecil dan menengah perlu mencermati implementasi Publisher Rights di Australia. Menurutnya, salah satu kunci keberhasilan Publisher Rights di Indonesia adalah soliditas antarmedia dan peluang bernegosiasi kolektif.
“Opsi negosiasi kolektif perlu diperjuangkan Pemerintah dan Dewan Pers untuk melindungi kepentingan media kecil atau media daerah. Secara sederhana hubungan antara publisher dan platform digital adalah hubungan antara pemilik konten dan pemilik teknologi distribusi konten,” imbuhnya.
Persenyawaan antara konten dan teknologi distribusi konten ini dalam praktiknya melahirkan benefit: trafik, popularitas, leverage pendapatan iklan dan data pengguna. Dalam konteks inilah, lanjut Agus, Publisher Rights melembagakan negosiasi antara kedua belah pihak.
Pada negosiasi ini, setiap pihak dapat berargumentasi tentang kontribusi masing-masing dalam persenyawaan di atas. Karena posisi dan kekuatan pemilik teknologi yang sangat dominan, dimungkinkan bagi pemilik konten untuk bernegosiasi kolektif.
Dia menyatakan, impelentasi Publisher Rights ialah obat mujarab yang akan menyembuhkan segala penyakit daya hidup media nasional. Karena, Publisher Rights sangat penting untuk memberikan daya tawar publisher berhadapan dengan platform digital yang telah memonopoli distribusi konten dan belanja iklan digital.
“Tapi, publisher juga harus terus-menerus berinovasi untuk mencari bentuk-bentuk baru pendistribusian konten, interaksi khalayak dan monetisasi konten. Media massa harus terus menyesuaikan diri dengan perubahan ekologi konsumsi media,” tutur Agus.
Melalui keterangan tertulis Kamis, 22 Februari 2024, Direktur Kebijakan Publik Meta Regional Asia Tenggara, Rafael Frankel menyatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali berkonsultasi dengan pemangku kebijakan terkait aturan Publisher RIghts.
“Kami memahami bahwa Meta tidak akan diwajibkan untuk membayar konten berita yang diposting oleh para penerbit berita secara sukarela ke platform kami. Kami menghargai kemajuan yang telah dicapai pemangku kebijakan dalam memastikan bahwa Perpres Publisher Rights mengakui manfaat yang didapatkan oleh penerbit berita dalam layanan yang kami sediakan,” ungkapnya.
Sementara itu, Google melalui keterangan tertulis, Rabu 21 Februari menyatakan memahami keputusan pemerintah mengesahkan Perpres Publisher Rights dan akan segera memahami detailnya. Google juga mengklaim selama ini telah bekerja sama dengan penerbit berita dan pemerintah untuk mendukung dan membangun masa depan ekosistem berita yang berkelanjutan di Indonesia.
“Maka dalam upaya bersama ini, kami selalu menekankan perlunya memastikan masyarakat Indonesia memiliki akses ke sumber berita yang beragam, dan juga perlunya mengupayakan ekosistem berita yang seimbang di Indonesia,” tuturnya.
“Yaitu ekosistem yang dapat menghasilkan berita berkualitas untuk semua orang, sekaligus memungkinkan semua penerbit berita, baik besar maupun kecil, untuk berkembang,” demikian pernyataan dari perwakilan Google menambahkan. (smr)
sumber: voi.id di WAGroup Guyub PWI Jaya (postJumat22/3/2024/)