Menanam Matahari

ilustrasi anak-anak SMK tengah praktik wirausaha. foto: istimewa

Oleh Noerjoso *

semarak.co-Selama saya menjadi warga Muhammadiyah, hampir tak sekalipun saya menyaksikan keriuhan hari tani yang dirayakan oleh warga Muhammadiyah. Mungkin karena sebagian besar warga Muhammadiyah bukanlah petani.

Bacaan Lainnya

Namun begitu sebagai orang yang setidaknya pernah bercita-cita menjadi petani, saya mencoba membuat tulisan tentang petani dan Muhammadiyah pada hari tani kali ini. Toh antara milad Muhammadiyah dan hari tani hanya selisih sebulan saja. Jadi saya pikir hanya semacam 11 12 begitu.

Suatu pagi iseng-iseng saya membuat profile sederhana tentang siswa salah satu SMK Muhammadiyah. Kebetulan lagi saya menjadi salah satu anggota komite sekolah tersebut. SMK tersebut terletak di daerah pinggiran kota. Sudah dapat ditebak bagaimana profil siswa yang dilayaninya.

Sebagian besar orang tua mereka bekerja sebagai petani penggarap. Dan dari sebagian besar itu oleh pemerintah digolongkan sebagai penduduk miskin. Celakanya sebagian dari yang tergolong miskin itu berada pada situasi miskin ekstrim.

Wajarlah jika orang tua siswa tidak mampu membayar beberapa kewajiban yang harus dibayarkan kepada sekola guna memenuhi kegiatan belajar mengajar (KBM). Piutang sekolah kepada orang tua siswa saat ini angkanya sudah mencapai 9 digit. Jumlah tersebut dari tahun ke tahun semakin meningkat.

Apalagi pandemi belum dapat dipastikan kapan mereda. Selanjutnya keisengan saya berlanjut. Beberapa angkatan saya tengok. Hasilnya sungguh sangat mengejutkan. 71 % lulusannya menganggur. Sisanya secara detail angkanya adalah sebagai berikut 21% bekerja di sektor industri dan UMKM, 4 % menggeluti wirausaha dan 4 % sisanya melanjutkan ke perguruan tinggi.

Padahal bom demografi itu saat ini belum meledak. Realita itu tentu saja Jauh dari harapan lik and match yang dicita-citakan ketika mendirikan sekolah kejuruan. Industri ternyata tak mampu menyerap mereka. Alasan utamanya adalah rendahnya kompetensi lulusan. Sudah hard skillnya jeblok, soft skillnya juga ambles.

Ibarat pepatah sudah jatuh dihimpit tangga pula. Bahkan dapat dikatakan SMK tersebut justru hanya menjadi penyumbang angka pengangguran yang cukup besar di regio atau daerah di sekitarnya. Ironi memang. Namun begitu itulah pil pahit yang harus kita telan.

SMK sebagai sebuah plesetan dari sekolah menegah ke bawah menjadi betul-betul ironi. SMK yang diharapkan sebagai pencetak tenaga siap kerja itu menjadi seperti hanya sebuah fiksi belaka. Ia yang diidealkan menjadi jawaban atas kemiskinan justru yang terjadi adalah sebaliknya.

Ada apa sebenarnya dengan SMK tersebut? Setelah coba saya runut ternyata salah satu penyebab utamanya adalah pihak sekolah gagal memetakan profil siswanya secara lebih mendalam. KBM praktis diselenggarakan tanpa melihat postur atau profil murid-muridnya yang oleh pemerintah digolongkan sebagai orang miskin.

Akibatnya KBM di sekolah diselenggarakan tanpa memperdulikan keterbatasan atau karakteristik siswa mereka. Bagi orang-orang miskin atau ekstrim miskin sekolah gratis saja tidaklah cukup bagi mereka.

KBM yang mengacu pada standarisasi dan kecenderungan penyeragaman kurikulum justru semakin membuat siswa terperosok ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. Kata ahli kemiskinan perdesaan, kemiskinan bagi petani ibarat banjir sudah sampai ke dagu. Ombak kecil saja akan segera menenggelamkan mereka.

Pengakuan persamaan atau kesetaraan sebagai argumen normatif justru hanya akan menjadi ilusi semata. Karena secara faktual mereka yang tergolong siswa miskin memiliki berbagai keterbatasan pilihan dalam menjangkau sumber penghidupan.

Pengakuan terhadap persamaan itu seolah-olah justru seperti menutup mata atas keunikan dari masing-masing siswa jika dipandang dari kemampuannya menjangkau sumber-sumber penghidupan. Pengalaman atau situasi kemiskinan secara langsung akan membentuk kepribadian atau karakter siswa.

Karakter putus asa, curiga terhadap orang lain, minder, takut perubahan dan baperan adalah contoh karakter siswa yang mengalami situasi kemiskinan. Hal itu artinya akan berkaitan langsung dengan kebijakan sekolah dalam menyelengarakan KBM.

Implikasinya, tiap kebijakan KBM yang terkait langsung dengan siswa haruslah memperhitungkan “karakteristik” atau harapan yang terkait dengan ketidakbebasan siswa miskin itu sendiri. Tanpa itu, KBM tidak akan dapat bekerja secara operasional.

Itulah yang terjadi pada banyak kasus. Siswa miskin biasanya memiliki naluri untuk menolak gagasan baru. Meskipun gagasan baru yang ditawarkan dalam KBM tersebut akan sangat membantunya dalam mendongkrak kompetensi dirinya. Banyak pihakyang semula menganggap penolakan siswa itu bersifat irasional.

Padahal, hal itu sebenarnya justru merupakan keputusan yang paling rasional dari siswa miskin tersebut. Gagasan baru dalam KBM semisal magang, kunjungan kerja industri, kelas industri, teaching factory atau kerja praktek di perusahaan TNCs memang menjanjikan loncatan keterampilan dan pengetahuan.

Loncatan itu diharapkan menjadi motivasi dan wawasan baru yang akan mempersiapkan mentalnya. Namun, itu semua bukan berarti tidak mengandung risiko-meski mungkin bekal tersebut membuat para siswa dapat bekerja di perusahaan besar yang akan mampu mendongkrak pendapatan keluarganya kelak.

Dan itu berarti akan mengatrol kesejahteraannya kelak. Siswa-siswa itu menjadi takut dalam mecoba hal-hal baru yang ditawarkan oleh sekolah. Toh itu semua bagi mereka belumlah pasti. Tingginya angka persaingan kerja membuat para siswa miskin tersebut seperti kalah sebelum bertanding.

Hal itu wajar. Ketika mereka mengiyakan gagasan-gagasan baru dalam KBM tersebut berarti haruslah dikeluarkan sejumlah biaya baru yang itu berarti akan menambah beban kemiskinan keluarganya. Sementara itu gagasan baru tersebut tidak secara otomatis akan membuat mereka unggul dalam kompetisi mencari kerja.

Realita ini seperti lingkaran setan yang sulit dicari ujung dan pangkalnya. Oleh karena itu, tiap proses KBM harus berbasiskan data dan potensi serta kebutuhan di tingkat mikro siswa. Karakteristik masalah di siswa miskin amat bervariasi dan hal itu akhirnya menentukan harapan siswa yang berasal dari keluarga miskin itu sendiri.

Ini berarti, perlu ada KBM yang bertolak dari kenyataan akan kondisi kemiskinan yang dialami siswa dan keluarganya tersebut. Itu artinya tidak ada KBM yang seragam antara berbagai sekolah kejuruan yang ada.

Hal seperti itu senada dengan yang disampaikan oleh ekonom dan Kepala Columbia University’s Earth Institute Jeffrey Sachs mengenai pengentasan kemiskinan. Menurut dia, diagnosa terhadap kemiskinan harus seperti diagnosa seorang dokter terhadap pasiennya. Dia menamakannya clinical economics.

Pihak sekolah Dalam hal analisis haruslah mengacu pada clinical economics ini. Kemiskinan yang dialami oleh siswa dan keluarganya harus dilihat secara komprehensif dan teliti sehingga melahirkan kebijakan dan proses KBM yang praktis dan tepat.

Seperti penyebab sakit pada pasien, menurut Sachs, penyebab kemiskinan antar tempat atau masyarakat tidak dapat digeneralisasi begitu saja. Hal itu berarti bahwa Harapan dan ketidakbebasan keluarga serta siswa miskin haruslah juga menjadi pertimbangan kuat dalam melaksanakan kebijakan sekolah yang melayani warga yang tergolong miskin tersebut.

Dalam konteks ini, sekolah diharapkan mampu memperluas kebebasan dan harapan siswanya yang tergolong sebagai penduduk miskin tersebut. Faktanya, anak dari keluarga miskin terutama yang tergolong chronical poverty atau extreme poverty memerlukan semacam kebijakan pendidikan khusus.

Hal ini disebabkan kaum miskin memiliki keterbatasan dan karakteristik masalah yang berbeda dengan orang nonmiskin. Pendidikan yang bersifat umum-meski terasa mulia secara normatif-tidak akan efektif memutus lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).

Dari kondisi di atas, menjadikan industri sebagai kiblat SMK sepertinya menjadi terasa salah. Selain tidak sebanding dengan ankatan kerjayang dihasilkan oleh SMK, industri juga semakin berttransformasi ke arah robotisasi dimana tenaga manusia semakin tidak dibutuhkan. Bahkan pada skala tertentu industri rentan untuk diterpa krisis.

Pandemi C19 telah menjadi bukti yang nyata. Ia telah secara pasti merontokkan dunia industri. Selanjutnya apa yang sebaiknya dilakukan oleh SMK yang melayani masyarakat miskin tersebut? Pertanyaan mudah tapi sulit dijawab. Sebut saja namanya Japri. Japri berasal dari keluarga ekstrim miskin.

Bapaknya bekerja serabutan dari mulai buruh tani hingga buruh bangunan. Bahkan keluarga yang rentan broken home. Kedua orang tuanya juga dililit hutang yang entah sampai kapan baru dapat dilunasi. Ketika ia disodori sebuah aplikasi dari pihak sekolah untuk mengisi biodata ia isi dengan sangat antusias.

Pada kolom pekerjaan orang tua ia isikan direktur pabrik kapal. Selanjutnya pada kolom isian cita-cita ia isikan dokter. Ketika saya tanya mengapa ia lakukan itu semua? Jawabnya ringan saja. Toh data itu tidak akan digunakan oleh sekolahnya.

Namun ketika Japri mulai akrab dengan saya serta sering saya ajak ngobrol-ngobrol santai maka keluarlah seluruh uneg-unegnya. Ia sebenarnya memiliki kepribadian yang smart. Pengalamannya beragam.

Japri dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan mulai dari membuat uritan benih padi, ndaut lahan sawah, tandur, matun, ngarit, macul, pertukangan hingga desain grafis. Suatu ketika iseng-iseng Japri saya pasrahi untuk membuat tempe.

Alhasil jadi juga. Kini Japri tidak hanya mampu meletakkan harapan dan realita hidupnya secara proposional tetapi telah jauh melampaui itu. Ia telah menganggap bahwa keberhasilan seseorang itu diukur dari kemanfaatan dirinya untuk menolong orang lain. Japri memang masih harus membuktikan dirinya.

Namun ia telah melalui proses yang benar. Pendekatan secara mendalam selama 2 tahun telah membuatnya merasa ada dan dihargai sekaligus dicintai bukan hanya sekedar untuk dimanjakan. Kini Japri merasa lebih nyaman dan tidak curiga.

Dan itu menjadi pintu masuk bagi menemukan kembali kemanusiaan Japri yang hampir saja lenyap ditelan keputusasaannya melihat realita kemiskinan keluarganya. Itu semua memerlukan dedikasi, ketrampilanketerampilan khusus dan tidak datang secara instant. Akhirnya selamat hari tani nasional. Matahari masih setia menghidupkan benihmu.

 

sumber: WAGroup Komunitas ALIPh (post Sabtu25/9/2021/caknoer)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *