Oleh R Haidar Alwi *
semarak.co-Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (selanjutnya disebut Gus Menteri) mengatakan bahwa Kementerian Agama merupakan hadiah dari negara untuk Nahdlatul Ulama (NU) bukan untuk umat Islam secara keseluruhan.
Pernyataan ini disampaikan Gus Menteri saat membuka webinar internasional yang digelar Rabithah Ma’ahid Islamiyah dalam rangka peringatan Hari Santri dan disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube TVNU Televisi Nahdlatul Ulama pada Rabu, 20 Oktober 2021.
Gus Menteri mengklaim Kementerian Agama lahir karena pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan juru damainya adalah NU. Tujuh kata yang dimaksud adalah cikal-bakal sila pertama Pancasila, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Benarkah NU Satu-satunya Juru Damai?
Dikutip dari berbagai sumber terpercaya, pencoretan tujuh kata itu dilatarbelakangi oleh protes perwakilan Indonesia Timur, Johannes Latuharhary pada hari ke-dua sidang ke-dua BPUPKI, 11 Juli 1945. Usulan tersebut kemudian disepakati melalui sidang PPKI 18 Agustus 1945 sehingga sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sebelum disepakati, Bung Karno dan Bung Hatta memang sempat meminta sejumlah tokoh untuk membahasnya. Satu di antaranya adalah tokoh NU, KH Wahid Hasyim. Mungkin, peran beliaulah yang menjadi dasar Gus Menteri untuk melontarkan pernyataannya yang kontroversial.
Namun penting diketahui, KH Wahid Hasyim tidak sendiri. Ada juga Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Mohammad Hassan. Ketiga nama terakhir dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa klaim Gus Menteri kurang tepat.
Benarkah Kementerian Agama Hadiah Negara untuk NU?
Pada hari ke-dua sidang PPKI yang berlangsung pada 19 Agustus 1945, dibahas tentang pembentukan kementerian/departemen. Utusan Indonesia Timur, Johannes Latuharhary dengan tegas juga menolak pembentukan Kementerian Agama yang pertama kali diusulkan oleh Muhammad Yamin.
Usulan pembentukan Kementerian Agama kembali muncul pada Sidang Pleno KNIP, 25-27 November 1945 yang dipimpin Sutan Syahrir. Usulan yang disampaikan utusan Banyumas itu lantas mendapatkan persetujuan secara aklamasi termasuk restu dari Bung Karno.
Pembentukan Kementerian Agama lalu diumumkan melalui siaran RRI dan Haji Muhammad Rasjidi diangkat menjadi Menteri Agama pertama. Beliau bukanlah tokoh NU, melainkan seorang ulama yang berlatar pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah.
Memang, pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi. Namun, bukan kompensasi khusus untuk NU, melainkan kompensasi atas sikap toleransi yang ditunjukkan wakil-wakil Islam secara keseluruhan yang menerima pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi cikal-bakal sila pertama Pancasila. Pada akhirnya, Kementerian Agama adalah untuk semua agama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa klaim Gus Menteri kurang tepat.
Saran dan Rekomendasi?
Sebelum ditegur oleh Presiden Jokowi dan memancing kegaduhan yang lebih parah lagi, sebaiknya Gus Menteri menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada publik. Selain klaim yang kurang tepat, pernyataan Gus Menteri juga berpotensi memperuncing perpecahan bangsa.
Tidak hanya perpecahan antar kelompok Islam, tapi juga kelompok non-Islam. Sebab, kemerdekaan Indonesia dengan segala yang ada sekarang ini merupakan buah perjuangan bersama semua elemen bangsa.
Meminta maaf tidak akan membuat Gus Menteri menjadi hina, justru menjadi semakin mulia dan berwibawa. Ingat, Menteri Agama sebelumya, Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi juga pernah meminta maaf atas pernyataannya terkait cadar dan celana cingkrang. Jadi, minta maaf bukanlah hal tabu dan haram untuk diucapkan oleh seorang Menteri. (HAI)
Jakarta, 25 Oktober 2021
*) penulis adalah pengamat agama
sumber: WAGroup Jurnalis Kemenag (postSelasa26/10/2021/oebaysyariefoebaidillah)