Penulis Muhammad Abduh Tuasikal *
semarak.co-Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat. Salawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadis Nabi ﷺ, yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika azan Subuh.
Hadis tersebut adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”
(HR. Abu Daud no. 2350. Syaikh Al Albani mengatakan hadis ini Hasan Sahih)
Hadis ini seakan-akan bertentangan dengan ayat:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187).
Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa Allah ﷻ membolehkan makan dan minum sampai terbitnya Fajar Subuh saja, tidak boleh lagi setelah itu. Lantas bagaimanakah jalan memahami hadis yang telah disebutkan di atas? Alhamdulillah, Allah memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.
Berhenti Makan Ketika Adzan Subuh
Para ulama menjelaskan bahwa barang siapa yang yakin akan terbitnya Fajar Shadiq (tanda masuk waktu shalat Subuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal). Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.
Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya Fajar Shadiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin Fajar Shadiq itu muncul. Begitu pula ia masih boleh makan, jika ia merasa bahwa muazin biasa mengumandangkan azan sebelum waktunya.
Atau ia juga masih boleh makan, jika ia ragu adzan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya. Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan, sampai ia yakin sudah muncul Fajar Shadiq, tanda masuk waktu shalat Subuh. Namun lebih baik ia menahan diri dari makan, jika hanya sekadar mendengar kumandang azan.
Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Shalih Al Munajjid hafizhahullah. (Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202)
Adapun pemahaman hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini:
Pertama: Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah
Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan: “Kami katakan, bahwa jika Fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan, dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk Fajar, maka batallah puasanya.”
Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama. Dalil dalam masalah ini adalah hadis Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sungguh Bilal mengumandangkan adzan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Sahih terdapat beberapa hadis lainnya yang semakna). Adapun hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dalam riwayat lain disebutkan:
وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر
“Sampai muazin mengumandangkan azan ketika terbit Fajar.”
Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama. Al Hakim katakan bahwa hadis ini Sahih sesuai dengan Syarat Muslim. Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi.
Kemudian Al Baihaqi katakan: “Jika hadis tersebut Sahih, maka Mayoritas Ulama memahaminya bahwa azan yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah adzan sebelum terbit Fajar Subuh. Yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum, karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk Subuh.”
“Sedangkan maksud hadis “Ketika terbit Fajar” bisa dipahami, bahwa hadis tersebut bukan perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah azan kedua.”
Sabda Nabi ﷺ: “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar azan pertama.
Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadis Ibnu ‘Umar dan hadis ‘Aisyah.” Dari sini, sinkronlah antara hadis-hadis yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”
(Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6/312)
Kedua: Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa Salaf yang berpegang pada tekstual hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.” Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya azan Subuh.
Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan: “Mayoritas Ulama melarang makan sahur ketika telah terbit Fajar. Inilah pendapat Empat Imam Madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fikih di berbagai negeri.”
(Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341)
Catatan: Adzan saat Subuh di masa Nabi ﷺ itu dua kali. Azan pertama untuk membangunkan salat malam. Azan pertama ini dikumandangkan SEBELUM waktu Subuh. Azan kedua sebagai tanda terbitnya Fajar Subuh, artinya MASUKNYA waktu Subuh.
Pendukung dari Atsar Sahabat
Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah:
ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا
Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khattab mengatakan: “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu Subuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu Subuh telah masuk.”
ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر
Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu Fajar yang engkau masih ragu-ragu.”
وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر
Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zazan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata: “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air Zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang: “Apakah sudah terbit Fajar Subuh?” Salah satunya menjawab: “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab: “Belum.” (Karena terbit Fajarnya masih diragukan). Akhirnya beliau tetap meminum air Zam-zam tersebut.”
(Lihat Al Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 6/234)
Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang kita ingin pahami di awal tulisan ini, lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan:
هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن
“Riwayat yang ada menjelaskan, bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Subuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadis yang ada dengan ayat Alquran (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Subuh, pen).”
(Al Muhalla, 6/232)
Sikap Lebih Hati-Hati
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya: “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar azan Subuh lantas ia masih terus makan dan minum?”
Jawab beliau:
“Wajib bagi setiap Mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa, yaitu makan, minum dan lainnya, ketika ia yakin telah masuk waktu Subuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti Puasa Ramadan, Puasa Nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarat.
Hal ini berdasarkan firman Allah Taala (yang artinya): “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187)
Jika mendengar azan Subuh dan ia yakin bahwa muazin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit Fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan. Namun jika muazin mengumandangkan azan sebelum terbit Fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan.
Ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit Fajar Subuh. Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muazin mengumandangkan azan sebelum ataukah sesudah terbit Fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum, jika ia mendengar adzan.
Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika azan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya Fajar.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya Fajar Subuh. Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal salat yang ada sebagai tanda masuknya waktu Subuh.
Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi ﷺ: “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.” Begitu juga sabda Nabi ﷺ: “Barang siapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”
(Fatawa Ramadan, dikumpulkan oleh ‘Abdul Maqshud, hal. 201, dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202)
Syaikh Shalih Al Munajjid hafizhahullah mengatakan: “Tidak diragukan lagi, bahwa kebanyakan muazin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal salat yang ada, tanpa melihat terbitnya Fajar secara langsung. Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit Fajar yang yakin.
Jika makan saat dikumandangkan azan semacam itu, puasanya tetap sah. Karena ketika itu terbit Fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”
(Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202)
Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadis di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadis tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami. Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
sumber: rumaysho.com di WAGroup Pencita Ulama (post Kamis 15/4/2021)