Melembagakan Perampokan Negara di Tengah Pandemi

Defny Holidin. foto: istimewa

Penulis: Defny Holidin

semarak.co -“Krisis tidak mengubah seseorang dari baik menjadi buruk. Krisis hanya menyingkap secara kasat mata siapa dan apa saja yang sebetulnya buruk”. Atau seperti kata TR Williams (2018) “crisis does not build character; it only reveals what is already there”. Ungkapan ini tampak mewakili kegeraman kita semua yang mengalami krisis akibat pandemi COVID-19.

Bacaan Lainnya

Namun, krisis yang sebenarnya kita alami terletak pada tata kelola yang tidak hanya buruk tapi juga mengambil keuntungan dari rakyat yang diterpa krisis. Yang lebih mengenaskan adalah tindakan koruptif terjadi bukan semata-mata akibat adanya celah hukum tetapi memutarbalikkan hukum sekaligus melembagakannya. Sehingga seolah menjadi absah secara hukum.

Semasa pandemi ini sebetulnya rakyat dihadapkan pada akumulasi pelembagaan korupsi tata kelola pemerintahan yang sudah akut sejak lama dan menjadi terang-benderang semasa krisis. Rakyat sudah terlanjur tak berdaya, ditambah dengan sebagian kalangan intelektual dan aktivis masyarakat sipil yang kadung melacurkan harga diri pada kekuasaan.

Mulai dari paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid yang gagal mendongkrak perekenomian hingga revisi UU KPK. Dari pemindahan ibukota negara dan omnibus law yang menguntungkan pemodal besar hingga kasus stafsus milenial yang menumpang “dagangan” melalui lembaga kepresidenan dan berani merombak prosedur birokrasi hingga ke level kecamatan.

Dengan pola berulang semacam ini, tidakkah kita berpikir bahwa penyimpangan justru dianggap absah oleh para penyelenggara negara?

Bagaimana pandemic COVID-19 ini menyingkap jelas kebobrokan tata kelola pemerintahan? Sejatinya ada persoalan yang lebih mendasar dari itu. Kita perlu melihat gambaran utuh (the big picture) pelbagai hal yang jalin-berkelindan dalam menghasilkan kerancuan kebijakan selama ini.

Pertama, disorientasi kebijakan akibat inkoherensi visi-misi serta koordinasi program turunannya di dalam kabinet. Sejak awal periode kedua pemerintahannya, Presiden menegaskan unifikasi atau kesatuan visi-misi pemerintahan, tidak ada visi-misi masing-masing kementerian/lembaga.

Lebih lanjut, tidak ada kejelasan target yang hendak dicapai setidaknya pada 100 hari pertama. Ini juga diamini Presiden sendiri tempo hari. Masalah muncul sebab ada kerancuan orientasi dan titik berat kebijakan visi-misi presiden dan wakil presiden.

Meski diklaim hendak menjadikan pembangunan manusia Indonesia sebagai garda depan kebijakan pembangunannya, publik mafhum bahwa praktiknya pemerintah justru menggencarkan gagasan yang sama sekali tidak punya basis kebijakan yang konsisten dengan visi-misi pembangunan manusia.

Kehadiran Perppu No. 1 Tahun 2020 dengan sempurna menjadi bukti prioritas pembangunan ekonomi (elitis) yang membajak agenda penyelamatan nyawa rakyat di masa pandemic.

Semua kebijakan absurd ini sarat dengan semangat dehumanisasi manusia Indonesia dan pada saat yang sama penuh keberpihakan pada kelompok elit politik dan bisnis. Benar-benar transaksi ekonomi-politik yang korup!

Kedua, sebagai akibat dari hal pertama tadi, ada kegamangan dalam menyelamatkan masyarakat dari pandemi dan potensi krisis ekonomi yang mengikutinya. Pandemi bagi pemerintah bukan sekadar fenomena sosial tetapi lebih merupakan fenomena ekonomi.

Pemerintah masih terperangkap logika bahwa hard measures dalam penagangan pandemi COVID-19 dianggap menghalangi pertumbuhan ekonomi. Sehingga membiarkan pandemic berlangsung tanpa penanganan konkret yang akhirnya dapat berujung pada krisis ekonomi berkepanjangan.

Ketiga, ada kecenderungan pemerintah menghindar dari tanggung jawab konstitusional untuk menanggung imbas sosial-ekonomi ketika hard measures penanganan pandemic diterapkan. Ini pula yang menjelaskan, pemerintah bertahan mengambil opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) meski situasi nyata di lapangan memerlukan karantina wilayah.

Bukan mempermudah, pemerintah pusat membuat aturan birokratis terhadap pemda yang hendak menerapkan PSBB tersebut. Status kedaruratan nasional yang baru saja diumumkan presiden sudah terlambat meski masih bisa dikejar daripada tidak bisa sama sekali. Ini konsekuensi logis dari kerancuan kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemik.

Pemerintah seharusnya mengambil tindakan penanggulangan secara luar biasa (extraordinary), termasuk penggunaan dana Rp405T yang tidak boleh sekadar untuk melaksanakan program-program rutin, yang memang sudah ada sebelumnya.

Pemerintah harus prudent mengalihkan semua anggaran pemindahan ibukota negara dan omnibus law untuk menjalankan program extraordinary penanggulangan dampak sosial-ekonomi yang menimpa dunia usaha dan masyarakat.

Penting untuk merasionalisasi program pemerintah pusat dan daerah, termasuk di dalamnya adalah mengurangi perjalanan dinas, kegiatan kantor rutin, serta pengadaan barang dan jasa yang tidak relevan dengan core function unit kerja setiap level birokrasi di pemerintah pusat dan daerah.

Jika mau jujur, mesti diakui bahwa semua langkah darurat penyelamatan rakyat dari krisis ini pasti merugikan transaksi ekonomi-politik yang menyokong presiden saat ini. Beranikah Presiden Jokowi? *

Catat Kritis IDe#3

Institute for Democracy Education

Jakarta, 15 April 2020

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *