Opini by Zeng Wei Jian
Tidak disangka, Surya Paloh berani melontarkan respon atas pertanyaan Presiden Jokowi di Acara HUT Golkar.
Nadanya seperti protes. Ada sedikit marah. Ngeles. Merasa dicurigai. Orang mengira orasinya itu adalah bentuk perlawanan.
Bagi Priyayi Jawa klasik, berbalas pantun politik macam begini bisa dianggap tidak santun. Sama artinya; Melawan Sang Raja.
Triangular of force; Jokowi-PKS-Surya Paloh. Pernyataan terbuka Presiden Jokowi di acara Golkar bisa diartikan arahan supaya Golkar merespon manuver Surya Paloh.
Publik dan Pro Jokowi dibuat heran. Nasdem punya tiga kursi kabinet. Bagian dari koalisi pemerintah. Tapi kok ya rangkul-rangkulan dengan kubu oposisi. Mesra pula.
Rasanya Presiden Jokowi is sleeping with the enemy. Snake grass dari genus Natrix tidak punya racun. Tapi “snake in the grass” atau yang disebut Roman poet Virgil sebagai “latet anguis in herba” bisa mematikan.
Seandainya “triangular of force” tadi dibreak-down maka mau tidak mau konsepsi Philosopher Kautilya harus digunakan.
Konsepsinya berbunyi “The enemy of my enemy is my friend”.
PKS lawan politik Jokowi. Jadi teman Surya Paloh. Artinya Surya Paloh memposisikan Jokowi sebagai lawan. Sehingga lawan dari lawan adalah teman.
Bila menggunakan Mathematical sociology dan iterative process versi Anatol Rapoport maka “teman dari musuh adalah musuh”. Presiden Jokowi mestinya mengadopsi perspektif ini.
Ketika Surya Paloh memutuskan jadi teman dari lawan pemerintah maka tidak ada alasan mempertahankan tiga kursi menteri di kabinet Indonesia Maju.
It is not fair bagi partai lain. Arahan tersirat kepada Golkar punya konsekuensi logis. Presiden Jokowi harus memperkuat amunisi perang. Berikan tiga kursi menteri Nasdem kepada PDIP, Golkar dan Gerindra. Bisa juga satu untuk Golkar dan dua bagi Gerindra.
Jangan beri makan snake grass hingga dia punya kemampuan bermetamorfosis jadi Rattlesnakes.
THE END