Oleh Syahrul Efendi Dasopang *
semarak.co-Kepempinan sekarang, lebih banyak terkuras soal demokratis atau tidak. Padahal itu hanya soal sifat dalam mengambil keputusan. Bukan hal yang esensial. Berkaca pada mazhab kepemimpinan Nabi, maka sifat kepemimpinan Nabi lebih agung dan praktis ketimbang mazhab kepemimpinan yang diajarkan populer seperti sekarang ini.
Kepemimpinan Nabi beralaskan pada saling kepercayaan. Tanpa kepercayaan, kepemimpinan tak bisa dijalankan. Meningkat setelah alas dasarnya kepercayaan terpenuhi, maka pelaksanaan kepemimpinannya berjalan dua pihak secara resiprokal (saling mengisi).
Dari sisi pemimpin, bertindak sebagai ra’i atau penggembala. Sebagai ra’i, pemimpin berlaku bijaksana, penuh kasih sayang dan mengutamakan keselamatan rakyat atau yang digembalakan. Keberhasilan pemimpin ditentukan oleh kepercayaan, ketaatan, dan kecintaan rakyatnya.
Sedangkan dari sisi rakyat, rakyat percaya pada pemimpinnya secara mutlak selama pemimpin taat pada Tuhannya, syariat-Nya dan kesesuaian perilaku kepemimpinannya dengan apa yang diucapkan dan dijanjikannya kepafa rakyatnya.
Selain percaya, rakyat juga taat dan mencintai peminpinnya dengan dibuktikan memenuhi perintah-perintahnya secara sadar dan antusias. Sebab, kebahagiaan dan sumber energi bagi seorang pemimpin atau ra’i, yaitu kepercayaan, rasa cinta dan sikap patuh rakyat pada diri seorang ra’i.
Sedangkan kebahagiaan dan sumber energi kolektik bagi rakyat atau yang dipimpin, ialah kasih sayang dan pengutamaan nasib rakyat dari seorang pemimpin ketimbang nasib pemimpin itu sendiri.
Apa saja yang menyenangkan dari hasil suatu usaha bersama antara rakyat dan ra’i, ra’i atau pemimpin lebih mendahulukan kepentingan dan bahagian rakyatnya ketimbang kepentingan dirinya.
Mazhab kepemimpinan Nabi inilah yang diterapkan oleh Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab hingga Umar bin Abdul Aziz. Bukan berarti Ustman dan Ali tidak seperti itu. Tetapi ketiga figur itu melimpah sekali kisah terkait mazham kepemimpinan Nabi itu diukirkannya.
Seperti, karpet mewah Persia yang dibagi rata oleh Umar kepada rakyatnya. Sampai kebutuhan istri dan anaknya terabaikan demi kesejahteraan rakyatnya. Demikian juga Abu Bakar harus menyambi berdagang di pasar demi tidak mau hak rakyatnya dari Baitul Mal dinikmatinya.
*) penulis adalah Sekjen Ikatan Sarjana al-Qur’an Indonesia (ISQI)
sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO