Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) Amerika Serikat (AS) melaporkan bahwa pihaknya mengizinkan penggunaan plasma darah dari pasien sembuh wabah virus corona jenis baru penyebab COVID-19 sebagai pengobatan penyakit tersebut, pada Minggu (23/8/2020).
semarak.co– Hal itu disampaikan sehari setelah Presiden AS Donald Trump menyalahkan FDA karena menghalangi peluncuran vaksin dan obat COVID-19 demi alasan politik.
Pengumuman otorisasi penggunaan darurat oleh FDA juga datang menjelang Konvensi Nasional Partai Republik, di mana Trump akan dicalonkan untuk memimpin partainya kembali selama empat tahun.
Sehari sebelum pengumuman FDA, Trump mencolek Komisaris FDA Stephen Hahn di akun Twitter dan mengatakan, “Deep state ( jaringan rahasia di kalangan pejabat) atau siapa pun di FDA sedang sangat mempersulit produsen obat untuk membiarkan pihak lain menguji vaksin dan obat.”
Lanjutan cuit Trump yang dilansir Reuters, Senin (24/8/2020), “Jelas, mereka berharap dapat menunda jawaban sampai setelah 3 November. Harus fokus pada kecepatan dan keselamatan nyawa!”
Trump mengumumkan konferensi pers pukul 21.30 GMT Minggu. Ia sepertinya akan mengumumkan hal ini. FDA, yang terlihat tergesa-gesa dengan pengumuman pada Minggu (23/8/2020), menyebutkan bukti awal menunjukkan plasma darah mampu mengurangi angka kematian dan meningkatkan kesehatan pasien ketika diberikan dalam tiga hari pertama dirawat di rumah sakit.
Belum diketahui pasti apa yang bakal menjadi dampak langsung dari keputusan ini. “Sepertinya bahwa produk itu aman dan kami nyaman dengan itu dan kami terus melihat sinyal keamanan yang tidak mengkhawatirkan,” kata Peter Marks, direktur Center for Biologics Evaluation and Research (CBER) FDA saat panggilan konferensi dengan awak media.
Pihaknya juga mengaku telah menetapkan ini sebagai prosedur yang aman dalam analisis terhadap 20.000 pasien, yang mendapat pengobatan ini. Hingga kini 70.000 pasien telah diobati dengan menggunakan plasma darah, menurut FDA.
Pasien yang paling diuntungkan dari pengobatan ini adalah mereka yang berusia di bawah 80 tahun dan mereka yang tidak menggunakan alat pernapasan, lanjutnya. Pasien tersebut memiliki 35 persen tingkat kelangsungan hidup lebih baik sebulan usai menerima pengobatan.
Direktur FDA Stephen Hahn mengatakan Trump belum berbicara dengannya atau FDA dan tidak berperan dalam keputusannya untuk membuat pengumuman pada Minggu (23/8/2020).
Sementara itu, mayoritas warga Inggris menolak nasionalisme vaksin COVID-19 dan mengatakan mereka bersedia menunggu sampai para pekerja kesehatan di negara lain menemukan vaksin jika itu akan membantu mengakhiri pandemi segera, menurut survei pada Senin (24/8/2020).
Dilakukan pada pertengahan Agustus oleh perusahaan jajak pendapat Savanta ComRes untuk organisasi anti kemiskinan The ONE Campaign, survei menemukan dukungan publik yang signifikan untuk vaksin COVID-19 agar tersedia untuk semua negara secara bersamaan, terlepas dari seberapa kaya atau seberapa kuatnya mereka.
“Warga Inggris jelas memahami pandemi global ini menuntut respons global. Tak akan berhasil apabila masing-masing negara berjalan sendirian. Saat virus ini berkembang di mana saja, maka virus mengancam orang di mana saja,” kata direktur ONE Inggris, Romilly Greenhill seperti dikutip Reuters, Senin (24/8/2020).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu menyerukan diakhirinya nasionalisme vaksin. Pihaknya juga memperingatkan soal penimbunan saat banyak negara yang menyetujui kontrak pembelian jutaan dosis vaksin COVID-19.
Hasil survei One Campaign membuktikan bahwa lebih dari 2.000 orang yang disurvei, 82 persen mengatakan sebuah negara yang mengembangkan vaksin COVID-19 harus berbagi pengetahuan mengenai hal itu. Sementara, 76 persen berpendapat bahwa suntikan COVID-19 harus tersedia di seluruh negara secara serentak.
Lebih dari 80 persen merasa bahwa ketika vaksin COVID-19 tersedia, maka harus didistribusikan dengan cara yang paling efektif untuk mengalahkan pandemi secara global.
Sekitar 71 persen mengatakan jika itu artinya pandemi dapat dihentikan lebih cepat, petugas kesehatan di Inggris dan kemudian negara lain harus mendapatkan vaksin terlebih dahulu, bahkan jika orang sehat di rumah harus menunggu sedikit lebih lama. (net/smr)