diramu oleh Asnawin Aminuddin *)
semarak.co-Esais dan cerpenis Andi Wanua Tangke, menulis esai pendek dengan judul “Matinya Seniman” dan memposting esai tersebut di grup WhatsApp (WA) FOSAIT (Forum Sastra Indonesia Timur), Kamis sore, 25 Januari 2024.
WA Grup FOSAIT dihuni puluhan seniman, sastrawan, budayawan, akademisi, dan ada juga beberapa wartawan, antara lain Asia Ramli Prapanca (Ram Prapanca), Tri Astoto Kodarie, Syariar Tato, Anil Hukma, Bahar Merdu, Idwar Anwar, Nawir Sulthan, Syahril Rani Patakaki, Suradi Yasil.
Selanjutnya Agus K Saputra, A Nojeng Galla Nonci, Zulkarnain Hamson, dan Fadli Andi Natsif. Di bagian atas tulisannya, Andi Wanua Tangke menulis dengan huruf kapital: GUMAM DI WARKOP. Berikut esai pendeknya:
Matinya Seniman
Oleh Andi Wanua Tangke
SENIMAN telah mati. Siapa pembunuh seniman? Ketakutan! Ketakutan menjadi terdakwa satu-satunya sebagai pembunuh seniman. Ironis–di zaman kebebasan, di zaman reformasi–seniman tak berkutik. Rela dibunuh oleh bayang-bayang ketakutan. Nyalinya redup. Melempeng. Direnggut oleh sebuah rezim.
Gedung-gedung kesenian seperti jajaran kuburan-kuburan tua. Sunyi senyap. Tak ada teriakan puisi dan pementasan teater yang mewakili zamannya. Mereka tidak sibuk mencipta karya sebagai manusia-manusia merdeka yang wajib menangkap nurani bangsanya yang sedang luka parah. Mereka sibuk dan asyik menyusun proposal. Tanpa rasa malu: meminta-minta bantuan.
Mengapa mereka gagal menjadi saksi moral untuk kebangkitan bangsanya yang luka parah itu dengan karya-karya potret sosialnya? Takut! Itulah jawabannya: hanya satu kata.
Dalam sejarah peradaban, inilah rezim yang berhasil “menabur ketakutan” untuk anak-anak bangsanya, termasuk kaum seniman yang diharap tampil menyuarakan perlawanan, akhirnya memilih mati. Mati!
Makassar, 25 Januari 2024
***
Esai pendek itu awalnya hanya mendapat tanggapan ringan dari cerpenis Anwar Nasyaruddin, dengan menulis: “Waduh, begitukah, seniman sekarang menjadi penakut?” (dan ditambahkan emoji senyum). Ishakim (seniman, sastrawan, pelukis, perupa) juga menyahut: “Seddi tong pandapa’…”
Diskusi tentang esai “Matinya Seniman” menjadi ramai setelah kritikus sastra Mahrus Andis memberikan tanggapan. Berikut tanggapan Mahrus Andis: “Kayakx tulisan ini berlebihan, ya. Tidak ada seniman yang takut. Dan tidak ada rezim yang membuat seniman merasa takut berkreasi.”
Di Jakarta, Taman Ismail Marzuki setiap hari diramaikan dengan diskusi, pentas seni dan kumpul-kumpul para seniman. Di Provinsi lain yang ada Taman Budayanya, juga tetap aktif. Bahkan di Sulbar, baru-baru ini, senimannya berhasil pentaskan cerita klasik sejenis Kondobuleng, karya Suparman Sopu.
Di Benteng Makassar juga baru saja kita nikmati beberapa pertunjukan seni, malah tingkat nasional dan Asean. Jadi, apanya kira-kira seniman disebut mati2? Penyair tetap menulis dan diskusi puisi, seniman pelukis tetap melukis dan bahkan pameran lukisan.
Esai sastra mengalir setiap saat, dengan tema kritik, bahkan esai di koran pun kadang keras menawarkan literasi dengki dan fitnah. Nah, sekali lagi, di sisi mana matinya seniman dan takutnya pada sebuah rezim?”
Menanggapi komentar tersebut, Andi Wanua Tangke mengatakan: “Saya merindukan sajak-sajak perlawanan WS Rendra dan Wiji Thukul, Bung. Juga teater Koma, dll, yang dulu bersuara nyaring ke rezim. Hehe…”
Mahrus Andis kembali menimpali dengan mengatakan: “Persoalan uang, Bung. Banyak seniman berhenti berkarya karena persoalan biaya tidak ada. Untung sekarang ada media sosial yang banyak menampung karya seni sastra, tanpa perlu biaya hehehe. Jadi, seniman tetap hidup dan tak ada rezim yg membuat mereka takut.”
“Oh…uang ya, Bung? Kirain mereka takut!” balas Andi Wanua.
“Takut sama siapa? Pemerintahan Jokowi saat ini malah menghidupkan semangat berkarya para seniman lewat UU Pemajuan Kebudayaan.
Mungkin lebih bagus jika Bung AWT menulis gumam tentang Apa Tugasnya Dikbud, Pariwisata dan Badan Bahasa Sulsel dalam membangun seni budaya (baik teater, tari, musik, senirupa atau sastra) di daerah ini?” tanya Mahrus.
“Seddito pendapa’, Bung. Hehe…” jawab Andi Wanua.
“Jangan hanya mengakui sebagai satu pendapat, Bung. Pertanggung jawabkan argumen bhw seniman telah mati dan sebuah rezim membuatnya takut berkarya. Bung sudah terlanjur melempar literasi ke luar hihi. Jangan seperti GM menjadi cengeng di tivi tanpa ada yg cubit,” kata Mahrus.
“Hehe… Iye, Bung. Saya masih berpandangan: seniman sekarang bungkam di depan rezim, Bung. Tak ada lagi puisi-puisi sumbang dan teater berteriak, Bung,” ujar Andi Wanua.
Sastrawan asal Kabupaten Barru, Badaruddin Amir, kemudian muncul memberi tanggapan yang cukup panjang dan cukup serius. Pensiunan guru yang cerpen-cerpen dan puisi-puisinya sudah banyak dibukukan itu menulis tanggapan berjudul: Cara Menikmati Esai Pendek Andi Wanua Tangke Berjudul “Matinya Seniman”
***
Oleh Badaruddin Amir
Bagi saya, cara yang terbaik untuk mengapresiasi dan menikmati esai pendek AWT (Andi Wanua Tangke, red), adalah melepaskan diri dari pikiran rasional yang berkaitan dengan realitas yang terjadi saat ini maupun sebelumnya.
Bahwa ada rezim yang menebar ketakutan bagi seniman yang kemudian membunuh (kreativitas) seniman, itu terjadi pada sebuah negeri yang bernama Anuland. Karena apabila esai pendek ini dikaitkan dengan konteks (rezim) sekarang, maupun rezim sebelumnya, maka akan sangat gampang dibantah.
Puluhan tulisan yang “menantang” maupun “menentang” seperti tulisan AMAS Satudua dapat kita buat. Jadi enaknya memang dinikmati sambil membayangkan situasi di negeri Anuland saja. Tulisan ini menggambarkan sebuah gambaran yang cukup gelap tentang kondisi seniman dalam suatu masyarakat di negeri Anuland, yang diwarnai oleh ketakutan dan rezim otoriter.
Di dalamnya terdapat elemen-elemen seperti kekecewaan, ironi, dan kesedihan atas keadaan di mana seniman tidak dapat berkarya secara bebas dan bahkan menjadi korban rezim yang menindas tersebut.
Di sini AWT menyoroti bahwa di era kebebasan dan reformasi (tapi era reformasi itu terjadi pada reszim sebelumnya — eh mengaitkan lagi dengan konteks di luar negeri Anuland), seniman seakan-akan telah kehilangan kebebasannya. Mereka tidak bisa berkutik dan akhirnya rela mati di bawah bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh rezim tersebut.
Gambaran tentang gedung-gedung kesenian yang sunyi senyap mirip dengan kuburan tua menunjukkan betapa seniman tidak lagi aktif dalam menciptakan karya yang merepresentasikan zamannya.
Kemudian, AWT menyoroti kegagalan para seniman dalam menjadi saksi moral untuk kebangkitan bangsanya yang sedang mengalami penderitaan. Mereka lebih sibuk dengan hal-hal administratif seperti menyusun proposal dan meminta bantuan, daripada menciptakan karya-karya yang memperjuangkan kebenaran dan membangkitkan semangat perlawanan.
“Ketakutan” dianggap sebagai faktor utama yang menghambat seniman untuk bertindak dan menyuarakan perlawanan terhadap rezim yang menindas. Akhirnya, tulisan ini mengekspresikan kekecewaan (pribadi) atas keadaan di mana seniman, yang seharusnya menjadi pilar kebebasan dan kebenaran, akhirnya memilih mati (menghentikan berkarya) sebagai jalan keluar dari situasi yang menekan tersebut.
Secara keseluruhan, tulisan ini menyoroti tentang betapa pentingnya peran seniman dalam memperjuangkan kebebasan dan kebenaran dalam masyarakat, dan bagaimana kondisi politik dan sosial yang penuh ketakutan dapat menghambat mereka dalam menjalankan peran tersebut.
Esai ini mengingatkan saya pada buku “The Death of the Author (1967)” karya Roland Barthes, yang menulis sebuah kalimat singkat dan terkenal: “Pengarang telah mati”, meski dengan konteks yang berbeda.
Nah, saya kira begitulah cara menikmati esai ini, bukan dengan mematahkannya, karena saya kira pokok-pokok pikiran yang dilontarkan oleh AWT memang sangat bagus jika ditulis menjadi sebuah cerpen, novel, atas sebuah kritik panjang yang lebih universal dan tak mengacu hanya pada konteks negara kita.”
Antitesis
Andi Wanua menanggapi tulisan Badaruddin dengan mengatakan, “Tak kuduga sedalam dan seluas ini apresiasita atas ‘gumam’ yang lahir di warkop sore tadi, Bung.”
Sastrawan, sutradara dan budayawan Yudhistira Sukatanya, rupanya tidak tahan hanya membaca esai dan komentar dalam diskusi ini, dan muncul dengan menulis sebagai berikut;
“Saya punya antitesis dari pendapat AWT dalam esai pendek ‘Matinya Seniman’. Jika memang sedang terjadi masa gelap sebagaimana ungkapan AWT, maka itu adalah lahan yang subur bagi lahirnya karya-karya realisme sosial. Dan karya-karya tersebut sesungguhnya sedang ruah bertebaran hadir di banyak platform media sosial masa kini. Tidak lagi hanya di media massa meanstream, tapi juga di grup komunitas.
Jadi andai kematian itu dianggap memang ada, maka itu hanya terjadi dalam imajinasi yang mati karena hanya berkacamata kuda, lupa bahwa cakrawala wacana kekaryaan masa kini tidak bisa lagi dipahami hanya dengan berkacamata kuda.
Dunia media mutakhir adalah dunia border less. Di tapal batas itu kini kita senantiasa, nyaris setiap saat menyantap lalu lalang pikirin (baca: ekspresi kesenian) dengan rupa-rupa bentuk hingga virtual realiti yang datang dan berlalu dengan cepat. Bahkan kadangkala demikian cepat hingga tak sempat lagi tercapture konsumen media.”
Mempermasalahkan Sesuatu yang Menarik
Membaca komentar antithesis Yudhistira Sukatanya itu, Badaruddin Amir langsung menjawab dengan mengatakan:
“Bagi saya, esai itu selamanya bersifat subjektif-elementer, dengan suasana baik untuk menulis, selama masalah yang ditulis itu menarik hati penulisnya dan menurutnya baik untuk diucapkan. Saya pernah mengumpamakan esai itu sebagai tulisan yang genit. Sekali ia datang mencubitmu lalu lari, dan kejarlah kau akan kujitak!
Tulisan esai sesungguhnya adalah sebuah tulisan yang mempermasalahkan sesuatu yang sungguh-sungguh menarik hati penulisnya. Ia boleh fakta, memiliki rujukan, tapi boleh juga hanya sekadar gagasan dari fakta, jadi bukan fakta itu sendiri.
Abstraksi mungkin sangat gampang dipahami di sini. Sebuah abstraksi tentu saja tidak sama dengan kesimpulan dari sebuah fakta, karena itu esai tak dapat dimintai pertanggungjawaban karena ia tak menguraikan sesuatu yang faktual.
Arif Budiman dalam esainya “tentang Esai” menyebutkan bahwa sebuah esai bukanlah sebuah studi ilmiah yang baku, penuh kehati-hatian dan tanggungjawab ilmiah yang menekan, tapi hanya sebuah tulisan yang mempermasalahkan sesuatu “sepanjang merangsang hati penulisnya.”
Sedangkan Dr Taufik Abdullah berpendapat bahwa esai sastra tidak bisa dijadikan referensi dalam disiplin ilmu sejarah, karena esai bukan fakta. Esai adalah tulisan yang bersifat pribadi. Soal panjang atau pendeknya sebuah esai itu tak menjadi soal. Seperti juga karya sastra fiksi ada yang panjang ada yang pendek dan panjang-pendek itu bukan ukuran esai, tapi ukuran lain.
Adapun penamaan, ya apalah arti sebuah nama seperti kata Shakespeare. Esai panjang boleh Anda namakan “Espan”, seperti juga esai mini dapat anda sebut “Esmini”, suka-sukalah. Itu hanya singkatan.
Bahkan sekarang ada banyak orang yang membuat singkatan menyesatkan seperti “PUSAI” singkatan dari “Puisi Bonsai”, yang padahal dalam apologinya tidak mau mengaku bentuk puisi pendek menyerupai Haiku itu sebagai puisi.
Semoga pencetus “Esmini” tidak demikian, artinya tetap mengaku apa yang disebut “Esmini” itu adalah sebuah esai karena ia adalah singkatan dari “Esai Mini”. Dengan begitu dalam perlakuan kita juga harus bijak membedakan antara “esai” dengan “berita”, “feature”, “laporan”, dan lain-lain.
Seniman tak Bisa Mati
Sastrawan dan budayawan Ahmad Saransi, juga muncul dengan komentar yang mendukung pendapat Mahrus Andis. Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sulawesi Selatan dan Penerima Penghargaan Tertinggi Nugra Jasadharma Pustaloka Bidang Pelestari Naskah Kuno Perpustakaan Nasional RI, mengatakan, seniman tidak bisa mati semuanya dan bisa muncul kembali.
“Matinya seniman, tapi tak bisa mati semuanya. Ia punya trauma dan nostalgianya sendiri. Ia punya cerita yang selalu muncul kembali,” kata Ahmad Saransi, yang mantan Ketua Asosiasi Arsiparis Indonesia Cabang Sulsel dan kini arsiparis pada Badan Perpustakan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Mendapat dukungan pendapat itu, Mahrus mengatakan; “Betul Dinda. Kalau misalnya AWT berhenti menulis cerpen berarti itu sudah mati kreativitasnya sebagai sastrawan penulis cerpen atau cerbung.”
“Penyair tdk menulis puisi lagi, penari tidak menari lagi, pelukis tdk melukis lagi, kritikus sastra tidak menulis kritik atau apresiasi sastra lagi, teaterawan tidak lagi main teater, pemain musik atau penyanyi tdk lagi bermain musik atau nyanyi; itu boleh disebut ‘mati kreativitas seni-nya. Maka solusinya, mari tunjukkan bakat atau keahlian seni sesuai bidang profesi yang kita tekuni. Begitu kura-kura, hehehe,” tutur Mahrus.
Sastrawan Muhammad Amir Jaya yang didaulat menjadi “Presiden FOSAIT”, belakangan muncul dengan komentar yang ia beri judul; “Esei.” “Matinya seniman ketika akal sehat dan hati nurani tdk lagi berfungsi. Puncaknya, membiarkan kezaliman menari-nari di depan mata,” kata Amir Jaya.
Komentar itu ditanggapi oleh Mahrus Andis, dengan mengatakan, “Ah jangan bikin kacau pemahaman karya sastra. AWT aumni Fak. Sastra, pasti tahu membedakan mana esai biasa (seperti Cermin atau Esmini) dan mana karya imajinasi (seni sastra) seperti cerpen, puisi, novel dan drama. Selamat berhari Jumat.” ***
*) wartawan
note: MATINYA SENIMAN. Sejumlah sastrawan, seniman, budayawan berdiskusi tentang “Matinya Seniman” di grup WA “FOSAIT”, dari kiri atas searah jarum jam Andi Wanua Tangke, Muhammad Amir Jaya, Yudhistira Sukatanya, Mahrus Andis, Ahmad Saransi, Badaruddin Amir, Anwar Nasyaruddin, dan Ishakim.
sumber: pedomankarya.co.id, Jumat, Januari 26, 2024 di WAGroup ISLAM DAN NKRI HARGA MATI (postJumat26/1/2024/asnawinaminuddin)