Oleh Tatang Suherman *)
Semarak.co – Sebuah tulisan muncul beberapa hari setelah kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau diberi nama Kongres Persatuan PWI di Cikarang Jawa Barat, 29-30 Agustus 2025. Esai demikian penulis Ahmad Munib, tokoh jurnalis di Papua yang menyebutnya.
Dia menulis tentang kongres PWI yang dia sebut sebagai kongres kongresan. Tulisan Munib menyentuh hati saya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat saya baca dan saya pun tersadar. Apa yang dia tulis umumnya benar.
Selama belasan tahun menjadi anggota PWI dan dua tahun sempat masuk kabinet pengurus dengan Ketua Umum PWI Pusat Hendry Chaeruddin Bangun, saya merasakan apa yang ditulis Munib. Menjadi anggota dan pengurus PWI ternyata tidak seperti yang diharapkan sebelumnya.
Bayangan awal masuk dalam organisasi atau wadah para wartawan se Indonesia ini akan mendapat pengalaman baru dalam dunia jurnalistik, memperbanyak teman dan merasakan nikmatnya kekeluargaan. Sayangnya, semua itu ternyata hanya sebatas mimpi.
Tak ada yang namanya rasa kekeluargaan atau memupuk persaudaraan sebagaimana tujuan berkumpulnya sebuah komunitas, yang namanya PWI. Meski umur perkumpulan wartawan ini sudah tua dan jumlah anggotanya paling besar ternyata faktanya sudah lapuk dimakan usia.
Marwah yang digadang gadang sebagai rohnya PWI, lebih kurang hanya sebatas slogan. Yang diamati, dialami dan dirasakan hari-hari bukan kebahagiaan melainkan intrik, fitnah, dan sikut sikutan. Muncul kubu kubuan yang berbuntut permusuhan antar-kawan. Selama dua tahun, energi, pikiran, dan uang terkuras.
Energi pengurus habis untuk rapat bagaimana merampas kekuasaan walau harus menabrak aturan. Peraturan organisasi dan AD/ART dilabrak demi mencapai ambisi pribadi yang ingin menguasai organisasi. Pikiran terpusat untuk menyusun strategi bagaimana bisa menjegal.
Bukan hanya retak di tingkat provinsi, tapi konflik turun ke tingkat provinsi sampai kabupaten/kota. Ada yang dilantik ketua yang dihasilkan KLB abal abal, ada pula yang dibekukan ketua hasil kongres Bandung. Mirip kisah cinta instan: pagi akad nikah, sore langsung masuk Pengadilan Agama.
Konflik berkepanjangan berakhir dengan kesepakatan kongres dipercepat atau dilabeli dengan Persatuan. Padahal kongres yang tidak mengacu pada Peraturan Organisasi (PO) dan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Aturan organisasi dilompati.
Kongres terselenggara dasarnya karena kesepakatan. Kubu ALB pun pesta pora. Kongres di Cikarang berubah jadi panggung adu wani piro. Alih-alih forum sakral, malah menjelma semacam panggung sandiwara yang aktornya rebutan spotlight.
Ibarat petani sibuk berkelahi untuk merebut cangkul dari pemilik sah, sementara sawahnya dibiarkan kering. Pada akhirnya, padi gagal panen, yang tumbuh hanyalah rumput konflik. Pengalaman adalah pelajaran hidup. Pelajaran menjadi anggota dan pengurus PWI bisa menjadi cermin.
Masih banggakah menjadi anggota PWI?? Akhirnya pertanyaan itu yang muncul di benak saya. Bisa jadi pertanyaan serupa juga muncul di benak yang lain. Andai saja ada wadah baru yang lebih progresif dan mengikuti kekinian, kemungkinan bisa menjadi pelabuhan baru bagi insan insan pers.
Yang menginginkan sebuah organisasi yang bisa menampung mereka. Organisasi yang berwawasan ke depan seiring dengan pesatnya perkembangan digital. Wadah yang bisa menampung paduan media online dan medsos yang kini bak belantara tanpa ada pengakuan dari pemerintah.
Mereka diakui keberadaanya tetapi tidak punya pijakan legalitas jelas. Terakhir wadah yang ditunggu para kaum milenial dan gen z adalah wadah yang mengerti keinginan mereka tetapi tetap menjaga persahabatan dan persaudaraan. *
*) penulis pemimpin redaksi dan mantan Pengurus PWI Pusat
Sumber: Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), (postSelasa23/9/2025/tatang)