Malaria Kembali Gagal Obati Virus Corona, Sperma Pasien Berisiko Kecil Tularkan Melalui Hubungan Seks

Ahli flebotomi Jenee Wilson berbincang dengan Melissa Cruz, teknisi Unit Gawat Darurat Valley Medical Center yang sudah pulih dari penyakit virus corona akibat tertular dari seorang pasien, saat ia selesai menyumbangkan plasma orang sembuh di Central Seattle Donor Center of Bloodworks Northwest di Seattle, Washington, Amerika Serikat, Jumat (17/4/2020), selama wabah COVID-19. Plasma dari orang yang sembuh akan digunakan dalam penelitian kemungkinan perawatan bagi para pasien virus corona. Foto: indopos.co.id

Para peneliti China yang menguji sperma pria pada pasien wabah virus corona jenis baru penyebab Covid-19 menemukan bahwa minoritas dari mereka memiliki virus corona dalam air mani mereka, membuka kemungkinan kecil penyakit tersebut ditularkan melalui seks, menurut ilmuwan pada Kamis (7/5/2020).

semarak.co -Riset para doktor di Shangqiu Municipal Hospital, China, terhadap 38 pria yang dirawat dengan penyakit tersebut menemukan bahwa enam di antaranya atau setara 16 persen, terbukti positif SARS-CoV-2 pada air mani mereka.

Bacaan Lainnya

Para peneliti mengatakan bahwa sementara temuan itu masih awal dan hanya berdasarkan segelintir pria terinfeksi, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat apakah transmisi seksual mungkin berperan dalam penyebaran pandemi Covid-19.

“Diperlukan riset lebih jauh sehubungan dengan informasi rinci mengenai pelepasan virus, durasi bertahan hidup serta konsentrasi dalam air mani,” tulis tim tersebut dalam studi yang dipublikasi di JAMA Network Open seperti dikutip Reuters.

Jika dapat dibuktikan bahwa SARS-CoV-2 dapat ditularkan melalui seks, lanjut tulisan tim itu, mungkin menjadi bagian penting dari pencegahan, Terlebih mengingat fakta bahwa SARS-CoV-2 terdeteksi di air mani pasien sembuh.

Para ahli independen mengatakan temuan tersebut menarik tetapi harus ditinjau dengan hati-hati, dan dalam konteks penelitian kecil yang lain, yang belum menemukan virus corona baru dalam sperma.

Riset kecil sebelumnya terhadap 12 pasien Covid-19 di China pada Februari hingga Mei menemukan bahwa seluruh pasien tersebut terbukti negatif SARS-CoV-2 dalam sampel air mani.

Profesor andrologi di Universitas Sheffield Inggris, Allan Pacey, mengatakan penelitian seharusnya tidak dianggap sebagai kesimpulan, sebab terdapat sejumlah kerumitan teknik pada pengujian virus dalam air mani. Menurutnya, keberadaan SARS-CoV-2 dalam sperma tidak menunjukkan apakah itu aktif dan mampu menyebabkan infeksi.

“Namun kita tidak perlu heran jika virus yang menyebabkan Covid-19 ditemukan dalam air mani sejumlah pria, karena ini telah ditunjukkan dengan banyak virus lainnya seperti Ebola dan Zika,” katanya.

Sementara itu, profesor medis reproduksi di Queen’s University Belfast, Sheena Lewis, menekankan bahwa itu merupakan “penelitian yang sangat kecil” dan temuannya sesuai dengan penelitian kecil lainnya yang membuktikan rendah atau tidak adanya SARS-CoV-2 dalam pengujian sampel air mani.

Namun, efek jangka panjang SARS-CoV-2 terhadap reproduksi pria belum diketahui,” katanya.

Sementara itu obat malaria, yang berulang kali dipromosikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebagai perubahan penting dalam perang melawan virus corona baru, kembali gagal menunjukkan manfaatnya pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Kesimpulan itu dihasilkan dari  sebuah penelitian yang diluncurkan pada Kamis (7/5/2020) seperti dilansir Reuters.

Sekalipun penelitian yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine itu memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, para dokter melaporkan bahwa penggunaan hydroxychloroquine tidak mengurangi kebutuhan pasien atas bantuan pernapasan ataupun menurunkan risiko kematian.

“Kami tidak melihat adanya hubungan antara menggunakan obat ini dan peluang kematian atau intubasi,” kata ketua peneliti Dr. Neil Schluger kepada Reuters dalam wawancara telepon.

“Para pasien yang mendapatkan obat ini tampaknya tidak menjadi lebih baik,” ucapnya. Di antara pasien yang diberi hydroxychloroquine, 32,3 persen akhirnya membutuhkan ventilator atau menjadi kritis, dibandingkan dengan 14,9 persen pasien yang tidak memperoleh obat itu.

Tetapi, dokter lebih mungkin meresepkan hydroxychloroquine kepada pasien yang sakit parah, jadi para peneliti di New York-Presbyterian Hospital dan Columbia University Irving Medical Center menyesuaikan hasil penelitian itu dengan fakta tersebut.

Mereka menyimpulkan bahwa obat itu mungkin tidak memperparah pasien, tetapi jelas tidak membantu. Hydrocxychloroquine, yang juga digunakan untuk mengobati lupus dan radang sendi, juga tidak menunjukkan manfaat bila dikombinasikan dengan antibiotik azithromycin, menurut laporan tim Schluger.

Azithromycin sendiri juga tidak menunjukkan manfaat. Bulan lalu, dokter di Departemen Urusan Veteran AS melaporkan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien COVID-19 dan mungkin menimbulkan risiko kematian yang lebih tinggi.

Analisis catatan medis menunjukkan tingkat kematian 28 persen ketika obat diberikan sebagai tambahan perawatan standar, dibandingkan dengan 11 persen dengan perawatan standar saja. Dalam penelitian terbaru itu, 811 pasien mendapat hydroxychloroquine dan 565 tidak.

Karena mereka tidak secara acak menerima hydroxychloroquine atau plasebo, “penelitian tidak boleh digunakan untuk mengesampingkan baik manfaat maupun bahaya” dari obat, kata para peneliti.

Percobaan acak, standar utama untuk tes terapi baru, harus dilanjutkan, tambah mereka. Tetapi untuk saat ini, “pedoman di rumah sakit kami telah berubah sehingga kami tidak merekomendasikan pemberian hydroxychloroquine kepada pasien yang dirawat di rumah sakit,” kata Dr. Schluger, kepala divisi obat-obatan paru, alergi dan perawatan kritis di Irving.

Studi yang lebih kecil, termasuk yang dilakukan di China, telah menunjukkan bahwa hydroxychloroquine mungkin berguna, “tetapi ini adalah studi kecil dan tidak berkualitas baik. Orang-orang memanfaatkannya karena pasien kritis,” katanya.

Saat in, tidak ada pengobatan yang disetujui untuk COVID-19, meskipun remdesivir obat antivirus eksperimental Gilead Sciences Inc minggu lalu menerima otorisasi penggunaan darurat dari regulator Amerika Serikat. (net/lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *