Pakar hukum Universitas Soedirman (Unsoed) Fauzan mengatakan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bisa membatalkan putusan MK perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat batas usia capres-cawapres. Fauzan menyebut ada dua mekanisme yang bisa dilakukan MKMK untuk membatalkan putusan tersebut, bisa langsung atau tidak.
semarak.co-Fauzan menjelaskan jika merujuk pada hukum tata negara positif, maka sesuai ketentuan Pasal 24C UUD 1945, memang keputusan MK sejak diucapkan dalam sidang pleno langsung berlaku dan tidak ada upaya hukum.
“Namun, celah untuk pembatalan masih bisa dimungkinkan dengan adanya laporan pelanggaran kode etik ke MKMK. Pertama bisa oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik,” kata Fauzan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (2/11/2023).
Ia menyadari tupoksi MKMK memang menjaga keluhuran dan martabat hakim MK. Namun, jika ternyata para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral.
“Sebab diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik. Jika merujuk hukum tata negara positif, maka putusan MK nomor 90 juga bisa tetap berlaku,” ujar Fauzan dilansir cnnindonesia.com, Kamis, 02 Nov 2023 17:48 WIB melalui laman pencarian google.co.id.
Tetapi, ia mengingatkan di atas hukum ada moralitas sehingga harus menjadi aspek yang diperhatikan. Hukum yang baik tentunya harus memperhatikan aspek moralitas, jika ini yang menjadi pertimbangan, bisa saja MKMK ada kemungkinan keluar dari pakem hukum tata negara positif.
Dengan pertimbangan moralitas itu, putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik sifatnya tidak mengikat. Menurut Fauzan, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan dan pasti menimbulkan diskursus juga.
“Menurut saya, perlu ada kajian kembali mengenai keputusan MK yang final dan mengikat. Ke depan menurut saya jika ternyata putusan MK dijatuhkan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik, maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan,” kata Fauzan lagi.
MK menjadi sorotan usai mengeluarkan putusan terkait syarat batas usia capres-cawapres. MK menambah ketentuan capres-cawares boleh di bawah umur 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Keputusan itu menuai banyak sorotan lantaran dianggap untuk mempermudah anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun melenggang ke Pilpres di 2024. Usai putusan itu keluar, kini Gibran resmi menjadi cawapres dari Prabowo Subianto dan telah mendaftar ke KPU. Di sisi lain, Gibran juga masih menjabat sebagai Walikota Solo.
Di bagian lain diberitakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia Brahma Aryana mengajukan gugatan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat capres-cawapres.
Brahma menggandeng advokat Viktor Santoso Tandiasa dan Harseto Setyadi Rajah atas permintaan uji materiel (judicial review) putusan tersebut. Permintaan tersebut sudah teregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023.
“Dengan ini pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 6109 Sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 90/PU U-XX 11/2023,” demikian dokumen permohonan pemohon, Kamis (2/11/2023).
Brahma mengetahui jika mengacu pada Pasal 60 UU MK, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Namun, dia menjelaskan putusan MK itu masih bisa digugat kembali karena apa yang digugat tidak sama dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus.
Sebab, pasal yang dipermasalahkan adalah pasal yang telah ditambah normanya oleh MK lewat putusan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Yang dimohonkan oleh pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi,” ujar Brahma dilansir cnnindonesia.com, Kamis, 02 Nov 2023 15:11 WIB.
Secara substantif, Brahma melayangkan gugatan lantaran menilai putusan MK tersebut bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945. Dia juga menilai ketentuan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 yang telah dimaknai Mahkamah Konstitusi No. 90/PU U-XX 11/2023 akan menimbulkan persoalan hukum.
MK menambah ketentuan dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 menjadi:
Persyaratan menjadi Calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Menurut Brahma, frasa penambahan ketentuan dalam penalaran yang wajar berpotensi secara pasti akan menimbulkan persoalan hukum bagi calon yang berusia di bawah 40 Tahun, karena terdapat frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
Sementara, kata dia, terhadap frasa tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut. Apakah jabatan pada tingkat gubernur dan wakil gubernur atau juga termasuk jabatan pada tingkat bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.
Dia juga mempersoalkan terkait 5 hakim yang sepakat mengabulkan permohonan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini berkaitan dengan apa yang dipermasalahkan dalam gugatan Brahma. Dalam putusan itu, 3 hakim yang memaknai ‘pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’.
Sedangkan, ada 2 hakim memaknai ‘berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi/pada jabatan gubernur. Hal itu tidak memenuhi syarat untuk dapat dikabulkannya permohonan karena hanya 3 hakim konstitusi yang setuju pada pilihan pemaknaan tersebut (YM. Prof. Dr. Anwar Usman, YM. Prof. Dr. Guntur Hamzah, dan YM Prof. Manahan MP Sitompul).
Bahwa sementara 2 hakim konstitusi lainnya setuju terdapat alternatif syarat berpengalaman sebagai kepala daerah tingkat provinsi’ (YM. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih) dan syarat ‘berpengalaman sebagai gubernur yang pada persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’ (YM. Dr. Daniel Yusmic P Foekh).
Menurutnya, frasa ‘yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’ inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.
Di sisi lain, putusan itu juga membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pemilihan kepala daerah. Hal itu menurutnya berisiko. “Bahwa hal itu tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia,” tuturnya.
MK menjadi sorotan usai mengeluarkan putusan terkait syarat batas usia capres-cawapres. MK menambah ketentuan capres-cawares boleh di bawah umur 40 tahun asalkan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Keputusan itu menuai banyak sorotan lantaran dianggap untuk mempermudah anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun melenggang ke Pilpres 2024. Usai putusan itu keluar, kini Gibran resmi menjadi cawapres dari Prabowo Subianto dan telah mendaftar ke KPU.Di sisi lain, Gibran juga masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Bivitri: Putusan MKMK tak Berpengaruh
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan apapun putusan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak akan berpengaruh langsung kepada pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Pernyataan itu disampaikan oleh Bivitri Susanti dalam dialog Sapa Indonesia Pagi KompasTV, Kamis (2/11/2023). “Secara prinsip sebenarnya putusan MKMK itu nantinya, apapun keputusannya, tidak akan berpengaruh langsung pada pencalonan Gibran,” ucap Bivitri.
“Jadi tidak akan bisa menyebut dalam amar putusannya, bahwa misalnya KPU tidak boleh begini atau begitu, karena MKMK wewenangnya terbatas pada etik dari orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran etik,” demikian Bivitri melanjutka dilansir kompas.tv – 2 November 2023, 10:15 WIB.
Namun demikian, sambung Bivitri, yang masih didiskusikan dari putusan MKMK adalah dampaknya pada putusan Mahkamah Konstitusi No 90 Tahun 2023 tentang Pemilu. “Misalnya, ketika MKMK memerintahkan kepada majelis yang tersisa dengan asumsi kalau nanti Anwar Usman dipecat dengan tidak hormat, untuk mengulang,” jelas Bivitri.
“Karena sudah ada perkara yang masuk, tiga perkara yang masuk, untuk mengulang pembahasan pasal 169 huruf Q ini yang soal umur tadi ya yang ditambahkan atau itu bisa diuji lagi dan sudah ada yang mengajukan, itu bisa saja dipercepat, jadi faktor ketidakpastian memang tetap ada,” imbuhnya.
Maka itu dalam hal ini, MKMK mengubah waktu pengambilan kebijakan dengan mempercepat putusan jadi 7 November 2024. Karena itu juga MKMK sudah membuat kebijakan untuk mempercepat pengambilan keputusan 7 November karena ada batas memperhatikan jadwal Pemilu.
Walaupun menurut peraturan itu, terang Bivitri, maksimal bekerja 30 hari, tapi mereka mempercepatnya melihat situasi politik seperti ini. “Sekarang kita tinggal berharap supaya hukum yang sudah dibuat amburadul kembali normal sebagaimana hukum yang adil,” ujarnya.
Di bagian lain lagi Ketua MKMK Jimly Ashidiq menyinggung kreativitas pemohon perkara 141/PUU-XXI/2023 yang melayangkan uji materi ke MK atas pasal syarat usia capres-cawapres yang baru saja diubah MK pada 16 Oktober lalu lewat Putusan 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.
Dalam sidang pemeriksaan pelapor di MKMK, Jimly mengaku tak pernah terpikir hal seperti itu bisa dilakukan. “Hal baru ini. Anda tidak kepikiran ini, pengajuan judicial review terhadap undang-undang yang baru diputus kemarin,” kata Jimly di gedung MK, kawasan Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (2/11/2023).
Yang membuatnya lebih terkejut, gugatan itu diregistrasi oleh MK. “Kalau sudah diregistrasi, harus disidang. Anda bisa membayangkan, kan, kreatif itu,” ucap Jimly yang mantan Ketua MK dilansir kompas.com, Kamis (2/11/2023).
Pemohon itu adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana (23). Brahma meminta, frasa baru yang ditambahkan MK, yaitu atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada dinyatakan inkonstitusional dan diganti menjadi lebih spesifik.
“Yakni hanya jabatan gubernur. Sehingga bunyi selengkapnya berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pilkada pada tingkat daerah provinsi,” kata Brahma dalam gugatannya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (30/10/2023).
Ia mempersoalkan, dalam penyusunan putusan itu, 5 hakim konstitusi yang setuju mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pun tak bulat pandangan. Dari 5 hakim itu, hanya 3 hakim (Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah) yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah pada semua tingkatan.
Termasuk gubernur berhak maju sebagai capres-cawapres di bawah 40 tahun. Namun, 2 hakim lainnya (Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh) sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak. Menurutnya, ini dapat menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.
Karena, jika dibaca secara utuh, maka hanya jabatan gubernurlah yang bulat disepakati 5 hakim tersebut untuk bisa maju sebagai capres-cawapres. “Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya 3 hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi,” kata Brahma.
Ia menegaskan, frasa baru pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim dari 5 suara hakim yang dibutuhkan. Sidang pemeriksaan pendahuluan atas perkara ini akan dihelat, Rabu (8/11/2023), bersamaan dengan hari terakhir pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti.
Pengacara Brahma, Viktor Santoso Tandiasa, meminta MK menggelar sidang cepat hanya dalam 1 hari untuk membuat putusan, seperti yang pernah dilakukan MK pada perkara 102/PUU-VII/2009.
Adapun, jika gugatan Brahma dikabulkan, maka bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju, Gibran Rakabuming Raka berpotensi tidak memenuhi syarat sebab putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) berusia 36 tahun itu masih berstatus wali kota. (net/cnn/kpc/smr)