Viral di media sosial, seorang kakek menikahi seorang gadis di Pacitan, menyisakan satu masalah hukum yang luput disoroti. Yaitu penggunaan mas kawin berupa cek, apakah termasuk mahar yang dibayar tunai atau tidak?
Semarak.co – M Ishom el Saha, Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten menyatakan, hal ini perlu diungkap karena berkonsekuensi hukum, apakah pasangan tersebut boleh berhubungan suami istri atau tidak, terutama jika istri belum mau diajak berhubungan, maka suami harus menunggu sampai cek itu dicairkan istri.
“Dalam praktik pernikahan di Indonesia, mahar salah satu syarat sah pernikahan menurut hukum Islam dan juga hukum nasional. Mahar dapat berupa uang, emas, barang, maupun jasa, selama disepakati kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan hukum atau kesusilaan,” ujarnya, dirilis humas melalui link resmi kemenag.go.id di WAGroup Jurnalis Kemenag, Minggu (12/10/2025).
Namun, pertanyaan yang cukup sering muncul dalam praktik adalah, apakah sah memberikan mahar dalam bentuk cek, dan apakah itu termasuk mas kawin tunai atau tidak tunai?
Secara hukum Islam, mahar bisa diberikan secara tunai (mu’ajjal) atau tidak tunai (muakkhar), tergantung kesepakatan antara mempelai. Tunai di sini bukan berarti harus berupa uang fisik, melainkan bahwa hak atas mahar diberikan saat itu juga, meski bentuknya bukan uang kontan.
Dalam hal ini, penggunaan cek sebagai alat pembayaran mas kawin menjadi wilayah abu-abu yang perlu dianalisis dari segi keabsahan dan kekuatan pembayarannya.
Cek, menurut hukum perbankan Indonesia adalah alat pembayaran tidak tunai. Ia merupakan surat berharga yang dapat diuangkan pada bank yang bersangkutan. Artinya, meskipun bentuknya seperti janji membayar, cek tidak serta merta dapat langsung dianggap sebagai uang tunai sampai dana tersebut dicairkan.
Dari sudut pandang hukum positif, apabila seseorang memberikan mahar berupa cek pada saat akad nikah, maka mahar tersebut belum dapat dianggap telah dibayar secara riil sebelum cek itu diuangkan.
Ini menimbulkan pertanyaan: apakah pernikahan tersebut sah jika mahar yang diberikan berupa cek yang belum diuangkan? Dalam praktik Kantor Urusan Agama (KUA), mahar dalam bentuk cek biasanya tetap diterima, selama ada kejelasan nilai dan kesepakatan dari kedua belah pihak.
Namun, dari perspektif kehati-hatian hukum, ada baiknya memastikan bahwa cek tersebut dapat dicairkan dan memiliki dana yang cukup (funded). Jika cek tersebut ternyata kosong atau tidak dapat diuangkan, maka dapat menimbulkan sengketa hukum, karena dianggap sebagai wanprestasi.
Dalam hal ini, pihak istri dapat mengajukan gugatan atau permohonan hak terhadap mahar yang dijanjikan namun tidak ditepati. Secara fiqh (ilmu hukum Islam), sah tidaknya mahar dalam bentuk cek tergantung pada niat dan kesepakatan. Jika cek tersebut memang diserahkan secara ikhlas dan diterima oleh pihak perempuan, maka sah akad nikahnya.
Namun, secara substansi, status pembayarannya tidak termasuk tunai dalam arti sesungguhnya, karena pihak istri belum menerima bentuk mahar secara nyata dan langsung. Lebih jauh lagi, penggunaan cek sebagai mahar membawa dimensi hukum perdata dan perbankan ke dalam ranah perkawinan.
Artinya, jika terjadi permasalahan dalam pencairan cek tersebut, maka penyelesaiannya tidak hanya melibatkan hukum keluarga, tapi juga bisa masuk dalam ranah perdata umum atau bahkan pidana, jika ada unsur penipuan atau cek kosong yang disengaja.
Oleh karena itu, sebagai bentuk kehati-hatian dan kepastian hukum, disarankan agar penggunaan cek sebagai mahar dicantumkan secara jelas dalam akta nikah dan, jika perlu, disertai dengan pernyataan tertulis tentang kesediaan pihak suami untuk menjamin pencairan cek tersebut.
Sebagai kesimpulan, mahar menggunakan cek secara formal sah-sah saja, tetapi secara substansi tergolong sebagai pembayaran tidak tunai karena tidak langsung berpindah dalam bentuk nilai riil saat akad nikah.
Maka, penting bagi pasangan dan petugas pencatat nikah untuk memahami aspek legal, keuangan, dan keabsahan dari alat pembayaran yang digunakan sebagai mahar, agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. (hms/smr)