MA Kuatkan Perpres Soal Sanksi Pidana Penolak Divaksin, Pandu Riono: Sekarang Kita Ditakut-takuti Omicron

Epidemiolog Pandu Riono di rumahnya, Kamis (20 Agustus 2020). foto: google.co.id

Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menemukan indikasi yang menguatkan anggapan bahwa masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan pandemi COVID-19. Epidemiolog Pandu Riono pun menyebut masyarakat Indonesia ditakut-takuti dengan varian Corona baru, Omicron. Hal ini disampaikan Pandu untuk menanggapi hasil survei IPI.

semarak.co-Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi menyebut pihaknya menangkap indikasi masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan Corona. Setidaknya ada 4 indikator kejenuhan masyarakat terhadap Corona. Indikator tersebut merupakan hasil survei terhadap sejumlah kebijakan pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Bacaan Lainnya

“Jadi lagi-lagi, pandemi belum selesai, tetapi sepertinya publik mengalami kejenuhan, kelelahan. Beberapa indikator yang kami temukan ini,” kata Burhanuddin saat memaparkan hasil survei, seperti ditayangkan di kanal YouTube IPI, Minggu (9/1/2022) yang kemudian dilansir detik.com/Minggu, 09 Jan 2022 17:52 WIB

Berikut hasil surveinya:

– Pembatasan libur nataru 2021
Setuju 46,8 persen
Tidak setuju 50 persen
Tidak jawab/tidak tahu 3,2 persen

– Tes PCR jadi syarat perjalanan
Setuju 34,6 persen
Tidak setuju 61,6 persen
Tidak jawab/tidak tahu 3,8 persen

– Rencana vaksinasi ketiga atau booster
Setuju 41,7 persen
Tidak setuju 54,8 persen
Tidak jawab/tidak tahu 3,5 persen

– Vaksinasi anak usia 3-12 tahun
Setuju 34,2 persen
Tidak setuju 63,2 persen
Tidak jawab/tidak tahu 2,7 persen

Survei Indikator Politik Indonesia digelar pada 6-11 Desember 2021. Populasi survei tersebut adalah warga negara Indonesia berusia 17 tahun ke atas atau mereka yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. Penarikan sampel survei Indikator menggunakan metode multistage random sampling.

Total sampel 2020 responden dengan sampel basis sebanyak 1.220 orang yang tersebar proporsional di 34 provinsi, serta dilakukan penambahan sebanyak 800 responden di Jawa Timur. Margin of error survei tersebut +- 2,9% pada tingkat kepercayaan 95 persen. Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka.

Setelah Burhanuddin memaparkan keseluruhan hasil survei, Pandu Riono baru diberikan kesempatan. Dalam tanggapannya Pandu meyakini gelombang ketiga Corona tak akan terjadi di Indonesia.

Pandu mengungkapkan sikap ketidaksetujuan ketika pemerintah berencana menerapkan PPKM level 3 selama libur Nataru 2021. Sebab, Pandu meyakini gelombang ketiga tidak akan terjadi.

“Pada waktu Nataru saya sudah membaca itu, kenapa kok tiba-tiba pemerintah mau melakukan PPKM level 3. Saya bilang nggak perlu. Saya melakukan protes keras dan banyak sekali setiap mungkin 2-3 kali saya dalam setiap wawancara, seminar dan sebagainya, tidak gelombang 3, semua epidemiolog bilang ada gelombang 3, tidak ada saya bilang,” papar Pandu.

Pandu mengklaim tidak asal bicara. Dia memiliki data yang bisa dijadikan rujukan atas pernyataannya tak akan ada gelombang ketiga. “Kenapa kok begitu, saya berbeda pendapat? Karena saya yakin dengan data yang saya miliki dari DKI. Dan kalau itu berlaku di seluruh Indonesia, angkanya nggak beda jauh dan itu bisa sebagai penangkal adanya lonjakan walaupun Nataru,” jelasnya.

Setelah menjabarkan sejumlah hal, termasuk soal kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, baru kemudian Pandu menyebut soal masyarakat Indonesia sedang ditakut-takuti Omicron. “Dan sekarang kita ditakut-takuti dengan Omicron. Jakarta Omicron sudah menembus seribu,” ucap Pandu.

Pandu menjelaskan seribu lebih kasus Omicron di Jakarta adalah pelaku perjalanan dari luar negeri. Pandu menegaskan vaksinasi bukan obat yang membuat orang kebal Corona. “Tapi dari seribu itu, 900 itu bukan penduduk Jakarta, 900 itu pelaku perjalanan luar negeri yang kemungkinan di negara sana Omicron-nya memang tinggi,” tutur Pandu.

“Memang vaksinasi tidak mencegah infeksi, tapi coba lihat, semua yang terdeteksi Omicron nggak ada yang sakit, tidak ada yang bergejala, tidak ada yang masuk rumah sakit,” sambung dia.

Di bagian lain Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan warga terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 yang ditanda tangani Presiden Joko Widodo (Jokowi). Alhasil, sanksi pidana bagi yang tidak mau atau menolak divaksin itu dikuatkan MA.

Perpres yang diuji itu lengkapnya bernama Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Di Pasal 13A ayat 2, Pasal 13A ayat 4, dan Pasal 13B yang mengatur tentang kewajiban vaksinasi bagi masyarakat serta sanksinya apabila dilanggar baik berupa sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Aturan sanksi pidana ini di judicial review ke MA oleh Saka Murti Dwi Sutrisna dkk tapi kandas.

“Tolak!” demikian bunyi putusan judicial review atau peninjauan kembali (PK) yang dikutip detik.com dari website MA, Jumat (7/1/2022). Duduk sebagai ketua majelis Prof Supandi dengan anggota Is Sudaryono dan Yodi Martono Jauzie.

Sebagaimana diketahui, Saka memberikan kuasa ke Abdul Hamim Jauzie. Ia menilai ketentuan di Perpres tersebut dianggap oleh pemohon cacat secara formal dan materiil karena bertentangan dengan prosedur pembentukan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Serta tidak sejalan dengan semangat jaminan hak asasi manusia (HAM) di bidang pemenuhan kesehatan dalam UU No 36/2009 tentang Kesehatan, UU No 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. “Dan UU No 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,” ujar Saka.

Secara substansial, kata Saka, Pasal 13 dan Pasal 15 UU Nomor 12/2011 mengatur materi muatan perpres seharusnya dapat mengakomodasi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Serta yang tidak kalah pentingnya tidak boleh mengatur ketentuan pidana. “Dengan diaturnya ketentuan pidana dalam Pasal 13B Perpres 14/2021, sudah sepatutnya tidak dibenarkan,” kata tim pengacara yang terdiri dari Audaraziq Ismail, Bitra Mouren Ashilah, Mohammad Faisol Soleh, Rhendra Kusuma, dan Sandi Yudha Prayoga.

Meskipun disandingkan ketentuan pidana dalam UU No 4/1984, menurut Saka dkk, sama sekali tidak beralasan. Sebab, ketentuan pidana dalam UU tersebut hanya mengatur dua bentuk tindak pidana dan sama sekali tidak mengakomodir ketentuan mengenai pelanggaran kewajiban vaksinasi.

Persoalan lain yang juga ditentang adalah masalah bentuk pemberian label ‘wajib’ bagi masyarakat untuk vaksinasi. Padahal jelas vaksinasi merupakan bagian dari ‘hak’ atas kesehatan yang dijamin oleh konstitusi serta aturan penerjemahnya, yaitu UU No 36/2009, UU No 4/1984, dan UU No 11/2005.

“Justru sebaliknya, label ‘wajib’ merupakan domain yang seharusnya disematkan pada Negara melalui Pemerintah dan bukan berada pada masyarakat,” pungkas Saka. Tapi apa daya, argumen Saka dkk kandas. MA menguatkan Perpres itu. (net/dtc/smr)

 

sumber: detik.com di WAGroup Keluarga besar alumni HMI (postSenin10/1/2022/madam9(mamahdamay)/WAGroup Gerakan Amanah Sejahtera (postMinggu9/1/2022/hasepirawan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *