JAKARTA-Sekolah Tinggi Islam Publisistik Thawalib Indonesia (STIPTI) menggelar seminar bertajuk Literasi Media dengan tema “Cerdas dan Kritis Merespon Media Massa” di salah satu ruang kelas kampus yang terletak di kawasan Kramat, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12) lalu. Seminar ini dijadikan sebagai sosialisasi tentang melek media massa di masyarakat oleh lembaga Prima Komunika yang digandeng STIPTI.
Sekretaris Prima Komunika Marisa Puspita Sari mengatakan, literasi dalam kaitan media ini adalah literasi yang mempelajari bagaimana media diproses atau dicetak. Di mana media massa adalah salah satu agen sosialisasi, utamanya pada nilai dan moral. Karena itu, media massa memiliki kekuatan sebagai agen perubahan.
“Jadi literasi media di sini maksudnya, melek media. Kita semua tahu setiap hari kita dikepung media. Dari bangun tidur sudah dapat informasi melalaui handphone, TV, Radio, dan internet. Informasi media mengepung dengan pesan-pesan, seperti mengajak gerakan-gerakan. Karena itu, kita butuh namanya literasi media. Yaitu kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan kritis terhadap tanyangan informasi di media,” ungkap Marisa, dosen tetap Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengawali acara sebagai pembicara disamping pembicara lain, Yayu Sriwartini, dosen tetap Universitas Nasional (Unas) dan Ketua Prima Komunika. Sedangkan moderator Isna Siskawati, dosen tetap STIPTI.
Literasi media, lanjut Marisa, dikembangkan pertama kali sebagai alat untuk melindungi terpaan orang media. “Jadi masyarakat yang tidak mempelajari media massa atau mendapatkan literasi media, maka akan menelan mentah-mentah apa adanya program atau tayangan yang diproduksi media. Karena media itu memproduksi juga,” rincinya.
Literasi media itu, lanjut dia, memanfaatkan media secara kritis dan bijak. Makanya, target utamanya kaum muda yang berada di dalam, proses peneguhan mental dan fisik. “Literasi sudah jauh dipelajari sebenarnya. Indonesia ini terlambat jauh. Di Inggris, tahun 1930 mulainya. Kemudian di Finlandia tahun1970 dan langsuang menjadi kurikulum bahkan tahun 1977, Finlandia menerapkan kurikulum literasi media massa di tingkat menengah atas. Di Denmark tahun 1977. Jadi kalau di Negara-negara maju, literasi media dijadikan mata pelajaran agar orangtua belajar untuk bersikap kritis. Utamanya dalam menonton program televisi,” ungkap alumni Universitas Padjajaran Bandung.
Orangtua, lanjut dia, harus memahami bagaimana dan mana yang boleh dan tidak ditonton anak-anaknya. “Jadi literasi media memberikan proses pada orangtua untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak dibenarkan menelan apa saja yang ditawarkan media massa tanpa memahami dan menganalisa dengan baik informasi yang diterima,” ujarnya.
Bagaimana di Indonesia? Menurut dia, literasi media di Indonesia belum terorganisir. Masih bersifat parsial, apalagi masuk kurikulum. Jadi jalannya masih berkesinambungan lewat seminar-seminar maupun diskusi. “Inilah kiprah dari Prima Komunika dalam mensosialisasikan literasi media itu,” ujarnya.
Yang perlu diketahui, lanjut dia, karena melalui media massa, materi dewasa masuk dalam dunia anak-anak dalam jumlah besar pula. “Jadi kami takut anak-anak kehilangan dunia anaknya. Itu sebabnya orangtua harus paham untuk kemudian memilih dan memilah tayangan televise atau film misalnya, mana yang layak tonton dan tidak. Intinya, dalam literasi media massa, orangtua ditugaskan melakukan pendampingan untuk memilih tontonan layak dan bermutu, lalu mampu menjelaskan apa yang ditonton anak pada anak tersebut. Kemudian orangtua bertugas memantau terhadap kebiasaan menonton anak-anaknya. Jadi waspadai yang masuk tiga kelompok besar, yaitu mistik, kekerasan, dan seksual. Orangtua harus aktif dalam mengkritisi media untuk hal-hal positif. Jadi cerdas memilih dan kritis,” sindirnya.
Menutup sesi, Marisa mengutip Rocky Gerung berbunyi, Lindungi Jurnalis yang melakukan tugas publik, Lindungi publik dari Jurnalis yang sedang melakukan tugas partai. Namun tidak menerangkan lebih rinci maksud dari kutipannya. Dalam UU RI, No 32 Tahun 2002 Tentang penyiaran, kutipnya lagi, sudah di atur sesaui standar oleh pemerintah. Selain itu dalam UU Pers No 40 mengatur juga secara jelas akan hal itu.
Sementara Yayu lebih banyak menayangkan video yang langsung berhubungan literasi media. edang melakukan tugas partai. “Tidak semua konten- konten media itu memiliki fungsi edukatif, tapi kalau informatif mungkin iya. Tapi kalau edukatif tidak semua. Beberapa tanyangan televisi berhasil membuat anak menjadi berperilaku buruk, proses imitasi pada anak itu sangat cepat sehingga orang tua harus membatasi anak dalam menonton televisi,” pintanya.
Beliau mengajak mahasiswa berperan aktif dalam mengontrol tayangan televisi karena televisi tidak bisa menghentikan apapun yang mereka tanyangkan kalau tidak ada sanggahan, tidak ada kritikan, tidak ada protes dari masyarakat. Untuk itu perlunya tingkatan kesadaran di masyarakat untuk memilih tanyangan televisi.
Dosen tetap Universitas Nasional (Unas) itu mengajarkan para mahasiswa dalam melakukan pelaporan, pengaduan demi kebaikan kualitas tanyangan. Kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kita dapat mengadukan jika terdapat pelanggaran dalam tanyangan televisi. Tentu dengan berbagai syarat dan alasan yang jelas. Diantranya laporanya harus jelas, nama program acaranya apa, di televisi apa, jam tanyangnya, episode keberapa, dll. “Sebagai calon jurnalis jika ada sesuatu yang melanggar hukum harus di sampaikan kepada pihak yang berwanang melalui tulisan tentunya,” pintanya. (zim/lin)