Legitimasi Prabowo sendiri Bisa Ikut Tergerus hanya Karena Mewarisi Beban Politik Pendahulunya

Info grafis Jokowi digambarkan menyuruh anaknya naik kuda bersama Prabowo yang dikaitkan pencalonan anaknya dalam Pilpres 2024. Foto: WAGroup Saling berbagi info

Oleh M. Isa Ansori *)

Semarak.co – Dalam dunia olahraga, khususnya tinju, terdapat sebuah simbol universal yang mudah dimengerti publik: handuk putih. Saat seorang petinju sudah tak lagi mampu bertahan dari serangan lawan, pelatihnya akan melemparkan handuk putih ke atas ring.

Bacaan Lainnya

Itu bukan sekadar tanda menyerah, melainkan cara menjaga martabat sang petarung agar tidak terluka lebih parah. Menyerah dalam konteks ini bukan aib, tetapi keputusan realistis yang justru bisa menyelamatkan. Simbol itu kini relevan ketika kita menyaksikan drama politik yang berkepanjangan mengenai ijazah Presiden Joko Widodo.

Persoalan yang pada awalnya tampak sederhana—hanya soal selembar dokumen akademik—berubah menjadi polemik nasional yang menimbulkan keraguan publik, mengguncang legitimasi kepemimpinan, dan memunculkan kembali pertanyaan mendasar tentang transparansi seorang kepala negara.

Pada 2 Oktober lalu, Roy Suryo menyampaikan orasi di depan KPK. Ia mengaku telah mendapatkan salinan resmi ijazah Jokowi dari KPU, yang dilegalisir dan tercatat sebagai dokumen negara. Namun, temuan itu justru menimbulkan persoalan baru.

Sebab, dokumen yang disebut resmi tersebut ternyata identik dengan ijazah yang selama ini beredar di publik—dokumen yang pernah diteliti oleh Rismon Sianipar dan bahkan sempat diunggah oleh kader PSI, Dian Sandi.

Keserupaan itu membawa pada satu pertanyaan krusial: jika benar dokumen itu adalah ijazah resmi Jokowi, maka bagaimana menjawab tudingan publik yang selama ini menilai ada kejanggalan dalam format, tanda tangan, maupun unsur administratif lainnya?

Konsekuensinya jelas, keraguan yang tadinya hanya beredar di media sosial kini menemukan pijakan yang lebih kokoh. Masalah menjadi semakin pelik karena Presiden Jokowi sendiri hingga kini belum pernah menunjukkan langsung ijazah yang dimilikinya. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu sama: “nanti dibuktikan di pengadilan.”

Padahal, secara logika publik, jika dokumen tersebut asli, membuktikannya sangat sederhana—cukup buka map, tunjukkan kepada kamera, dan polemik selesai. Namun, ketika langkah sederhana itu tak kunjung dilakukan, kecurigaan publik kian menguat.

Transparansi yang seharusnya menjadi watak kepemimpinan justru berubah menjadi misteri. Perlindungan berlebihan dari lembaga negara hanya menambah keyakinan bahwa ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi. Maka, selembar ijazah yang semestinya hanya urusan administratif, kini menjelma menjadi drama negara dan misteri politik.

Beban Politik yang Tak Pernah Usai

Setiap pemimpin tentu ingin dikenang karena karya dan kebijakannya. Namun, kasus ijazah ini justru berpotensi menjadi beban sejarah. Ia akan terus menghantui, bahkan setelah masa jabatan berakhir.

Publik akan selalu mengingat bahwa di balik berbagai pencapaian pembangunan, ada satu pertanyaan sederhana yang tak pernah dijawab dengan jujur dan terbuka. Dari sisi hukum, persoalan ini tidak bisa dianggap remeh. Ada beberapa rujukan penting yang seharusnya diperhatikan:

UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 28 ayat (6) menegaskan bahwa ijazah adalah dokumen negara yang memiliki kekuatan hukum. Artinya, jika terdapat manipulasi atau pemalsuan, maka hal tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi tindak pidana.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 70 ayat (1) juga menyebutkan bahwa ijazah adalah bukti formal penyelesaian pendidikan. Dengan demikian, keaslian ijazah merupakan syarat fundamental untuk validasi gelar seseorang.

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 169 huruf r menyatakan bahwa salah satu syarat calon presiden adalah pernah mengenyam pendidikan formal minimal SMA/sederajat. Apabila ijazah sebagai bukti tidak sah, maka secara hukum terjadi pelanggaran syarat pencalonan.

KUHP Pasal 263 ayat (1) menegaskan: “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, kewajiban, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

Dengan dasar hukum ini, jelas bahwa polemik ijazah tidak boleh dipandang remeh. Ia bukan sekadar gosip politik, melainkan isu integritas dan legalitas. Kini sorotan juga beralih ke Presiden Prabowo. Sebagai penerus kekuasaan, posisinya sangat strategis.

Jika Prabowo memilih mendesak Jokowi untuk membuka ijazahnya kepada publik, ia akan dipandang sebagai pemimpin yang berpihak pada kebenaran dan kejujuran. Tetapi, jika justru melindungi dan menutupi persoalan ini, maka kekecewaan rakyat bisa berbalik kepadanya.

Legitimasi Prabowo sendiri bisa ikut tergerus hanya karena mewarisi beban politik pendahulunya. Jalan Terhormat: Mengibarkan Handuk Putih. Pada akhirnya, masalah ini sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan.

Pilihannya sederhana: kalau asli, tunjukkan. Kalau palsu, akui. Namun, pengalaman politik kita menunjukkan, justru hal-hal yang sederhana sering kali menjadi yang paling sulit dilakukan.

Di titik inilah relevansi handuk putih muncul. Mungkin sudah waktunya Presiden Jokowi mengibarkan handuk putih, bukan dalam arti menyerah kepada lawan politik, melainkan menyerah kepada kebenaran.

Mengakui bahwa polemik ini tak bisa terus-menerus dibiarkan, apalagi disembunyikan dengan alasan prosedural. Dengan cara itu, Jokowi masih bisa menjaga martabatnya sebagai seorang pemimpin yang berani menghadapi kenyataan, apa pun konsekuensinya.

Sejarah tidak hanya mencatat prestasi, tetapi juga cara seorang pemimpin menghadapi kritik dan tuntutan keterbukaan. Jika terus menutup diri, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang membiarkan bangsa ini diseret dalam drama panjang hanya karena selembar ijazah.

Tetapi jika berani meletakkan handuk putih, setidaknya ia masih bisa dikenang sebagai sosok yang pada akhirnya memilih kejujuran daripada perlindungan semu. []

Surabaya, 3 Oktober 2025.

*) Kolumnis, Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim

 

Sumber: WAGroup (postSabtu4/10/2025/)

Pos terkait