Oleh Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. *)
semarak.co-“Dalam rangka turut mendukung ICC, Indonesia dipandang tepat sebagai promotor di wilayah ASEAN guna mewujudkan kerjasama sebagaimana diharapkan ICC. Resolusi ASEAN yang mendukung ICC sangat tepat guna membela Palestina dari penjajahan Zionis Israel.”
Hukum internasional (international law) berperan besar dalam mempertimbangkan situasi internasional tertentu. Fokus perhatiannya ditujukan pada terjadinya pelanggaran internasional. Hukum internasional mengatur pertanggungjawaban atas perbuatan yang tergolong kejahatan internasional.
Kualifikasi kejahatan internasional merujuk pada Statuta Roma (Rome Statute of the International Criminal Court). Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa yurisdiksi International Criminal Court (ICC) terbatas pada kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan.
ICC mempunyai yurisdiksi sesuai dengan Statuta Roma, yakni berkenaan dengan kejahatan: the crime of genocide (kejahatan genosida); crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan); war crimes (kejahatan perang); the crime of aggression (kejahatan agresi).
Kesemua jenis kejahatan tersebut adalah “musuh seluruh umat manusia” (hostes humani generis). Secara teoretik, kejahatan internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak pidana.
Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena perbuatan tersebut merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Dapat dikatakan sebagai tindak pidana internasional apabila: (i) Terdapat unsur internasional.
Artinya suatu kejahatan dapat mengancam, baik langsung maupun tidak langsung, perdamaian dan keamanan umat manusia secara keseluruhan, (ii) Memiliki unsur transnasional. Tindak pidana tersebut mempengaruhi keselamatan umum dan kepentingan ekonomi lebih dari suatu negara.
(iii) Terdapat suatu keharusan. Artinya, dalam rangka penegakan hukum pidana internasional, diperlukan kerjasama internasional. Dalam rangka menyikapi adanya kejahatan luar biasa tersebut, negara manapun memiliki kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban bagi pihak pelanggar.
Terlepas dari tempat kejahatan itu dilakukan atau kewarganegaraan pelaku atau korban. Menurut ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Statuta Roma, ICC dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap seseorang yang kewarganegaraannya tidak meratifikasi statuta tersebut.
Disebutkan demikian, oleh karena ditentukan pemberlakuan Statuta Roma diterapkan pada semua orang. Tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi baik seorang Kepala Negara maupun pegawai pemerintahan dan parlemen.
Dengan demikian, tidak mengecualikan seorang tersebut dari tanggung jawab pidana yang diatur dalam Statuta Roma. Penegakan hukum pidana internasional melekat asas yurisdiksi universal. Prinsip yurisdiksi universal dimaksudkan guna menghilangkan impunitas pelaku kejahatan internasional.
Namun dalam praktiknya penegakan hukum dimaksud tidak mudah dilaksanakan. Padahal, masyarakat internasional memiliki keinginan bersama untuk menanggulangi kejahatan internasional yang efeknya demikian besar.
Kejahatan internasional yang berlangsung demikian lama dan mengandung dampak serius tiada lain dilakukan oleh pemimpin Israel. Pemimpin negara Zionis itu dalam sejarahnya selalu melakukan perbuatan pidana internasional.
Tidak ada kejahatan internasional yang demikian luar biasa, kecuali yang dilakukan oleh negara Zionis Yahudi itu, yang dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan oleh Benjamin Netanyahu.
Netanyahu selaku Perdana Menteri dan mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant adalah dua orang yang paling bertanggugjawab atas serangan Israel ke Gaza sejak Oktober 2023 yang menyebabkan jumlah korban tewas sebanyak 44.580 jiwa.
Baru-baru ini Amnesty International telah menemukan bukti yang kuat untuk menyimpulkan bahwa Israel telah, masih, dan sedang terus melakukan kejahatan genosida terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.
Laporan yang berjudul “You Feel Like You Are Subhuman’: Israel’s Genocide Against Palestinians in Gaza,” mendokumentasikan bagaimana Israel melakukan kekejaman secara berkelanjutan terhadap warga Palestina di Gaza dengan impunitas total.
Laporan Amnesty International itu juga menemukan bahwa Israel telah melakukan tindakan yang dilarang dalam Konvensi Genosida dan Statuta Roma. Elit Zionis itu memang memiliki niat jahat (dolus premeditatus) dan kesengajaan (mens rea) untuk menghancurkan warga Palestina.
Masih menurut Amnesty International, kejahatan tersebut meliputi pembunuhan, serangan fisik serta mental dan dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan warga Palestina di Gaza dengan maksud menghancurkan mereka.
Demikian lama dan berkelanjutan Israel telah menempatkan masyarakat Palestina di Gaza sebagai manusia kelas dua yang tidak layak memiliki martabat dan hak asasi manusia dengan tujuan menghabisi mereka secara fisik.
Tidak dapat dipungkiri, pada kenyataannya persoalan kejahatan internasional yang ditujukan bagi pemimpin negara, terlepas dari negara pihak (state parties) Statuta Roma maupun nonstate parties tidak mudah dilakukan.
Dikatakan demikian oleh karena ICC hanya mengandalkan pihak-pihak lain untuk membantu menyerahkan para pihak yang bersangkutan. Hal ini tertuang dalam Pasal 86 Statuta Roma yang menyatakan bahwa negara anggota ICC wajib mendukung seluruh proses yang dilakukan oleh ICC.
Kondisi itu menjadikan surat perintah penangkapan (arrest warrant) oleh ICC terhadap Netanyahu dan Gallant dipandang ‘sebelah mata’ oleh mereka. Di sisi lain, alasan Israel menegasikan ICC adalah menunjuk pada asas pacta sunt servanda.
Dalil pacta sunt servanda memang menjadikan Isarel seolah-olah tidak dapat terjamah oleh hukum internasional. Perihal negara pihak Statuta Roma menjadi dalil bagi Israel. Sebagai nonstate parties Statuta Roma, Israel menganggap keberadaan ICC tidak berlaku secara otomatis bagi Israel.
Terdapat juga anggapan bahwa yurisdiksi ICC tidak mungkin dilakukan, oleh karena Israel selalu dilindungi oleh Amerika Serikat. Negara Paman Sam itu telah menjadikan Israel sebagai ‘kapal induk’ di Kawasan Timur Tengah.
Terkait sanggahan Isarel terhadap ICC dengan mendasarkan pada prinsip pacta sunt servanda tidak tepat dan tidak proporsional. Keberadaan ICC memang dibentuk atas dasar perjanjian internasional dengan instrumen pacta sunt servanda.
Dimana perjanjian itu hanya berlaku mengikat bagi negara yang sudah meratifikasi Statuta Roma. Namun demikian, prinsip pacta sunt servanda tidak selamanya menjadi penghalang bagi bekerjanya hukum terhadap pelaku kejahatan internasional.
Pengakuan terhadap ICC sejalan dengan pandangan teoretis di atas, yakni: memenuhi unsur internasional, memiliki unsur transnasional, dan adanya suatu keharuan. Kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin Zionis Israel, merupakan masalah internasional dan oleh karenanya harus diberdayakan ketentuan-ketentuan internasional.
Menurut ICC, penerimaan Israel atas yurisdiksi pengadilan tidak diperlukan dalam surat penangkapan atas Netanyahu dan Gallant. Dengan kata lain, perintah penangkapan oleh ICC tanpa memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari Israel.
Fakta menunjukkan bahwa Palestina telah menyetujui Statuta Roma sejak tahun 2015. Dengan demikian, hal itu menjadi dasar legalitas bagi ICC dalam menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant.
Putusan ICC terpaut dengan putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sebelumnya, ICJ tidak memberikan penilaian apakah Israel benar-benar melakukan genosida atau tidak.
Dalam putusannya, ICJ tidak memerintahkan gencatan senjata di Gaza, tapi meminta Israel untuk mengambil tindakan pencegahan dan menghukum kampanye militer langsung untuk melakukan genosida.
Israel juga telah diperintahkan untuk mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza dan dimintakan melapor kembali ke pengadilan dalam waktu satu bulan. Putusan ICJ demikian itu tentu berbeda dengan putusan ICC.
Belakangan ICC menyatakan dengan tegas bahwa Netanyahu dan Gallant memikul tanggung jawab secara pidana atas kejahatan perang berupa kelaparan sebagai metode perang di Jalur Gaza dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan.
Lalu penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya terhadap warga Palestina. Sebagai catatan, terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua lembaga internasional tersebut. Keberadaan ICC dibentuk oleh masyarakat internasional melalui Statuta Roma.
Dan dengan itu menjadikannya sebagai lembaga internasional yang permanen dan independen. ICC tidak diletakkan di bawah struktur PBB. Adapun ICJ merupakan Lembaga Pengadilan PBB. Seperti halnya dengan Dewan Keamanan (Security Council), ICJ adalah salah satu organ utama PBB.
Putusan ICC tidak akan bisa dilakukan veto oleh Amerika Serikat. Tidak ada legal standing guna membatalkan putusan ICC. Keberadaan Israel sebagai nonstate parties tidak menghalangi bagi state parties menjalankan yurisdiksinya dalam menangkap Netanyahu dan Gallant.
Dikatakan demikian oleh karena Statuta Roma memiliki yurisdiksi teritorial terhadap semua kejahatan yang terjadi di wilayah atau teritorialnya. Hal ini berlaku terhadap pelaku kejahatan dari negara manapun, baik sebagai state parties maupun nonstate parties.
Berdasarkan prinsip universal yang dikenal dalam hukum internasional terhadap kejahatan internasional, maka bagi semua negara memiliki yurisdiksi terhadap pelaku tanpa perlu memperhatikan nasionalitasnya dan locus kejahatan tersebut.
Dalam hal suatu negara yang memiliki yurisdiksi bermaksud melaksanakannya, maka persetujuan dari negara asal pelaku kejahatan tidak menjadi persyaratan. Dalam hukum pidana internasional juga terdapat dua asas, yakni asas “au dedere au punere” dan “au dedere au judicare”.
Asas au dedere au punere bermakna pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat terjadinya peristiwa pidana pada batas teritorial negara tersebut atau diserahkan kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku.
Adapun asas au dedere au judicare bermakna, setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional dan berkewajiban untuk melakukan kerjasama dengan negara lain dalam menangkap, menahan dan menuntut.
Serta mengadili pelaku tindak pidana internasional. Mengacu pada asas au dedere au judicare, negara pihak Statuta Roma dapat melakukan penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant. Persoalan yurisdiksi ICC sebagaimana dinyatakan oleh Israel, juga dikemukakan oleh Rusia.
Rusia yang notabene nonstate parties Statuta Roma menolak yurisdiksi ICC dalam penangkapan terhadap Vladimir Putin. Rusia dan Ukraina sama-sama tidak menandatangani Statuta Roma. Ukraina menandatangani Statuta Roma pada tahun 2000, tetapi tidak meratifikasinya.
Parlemen Ukraina resmi meratifikasi tanggal 21 Agustus 2024. Permasalahan yurisdiksi ICC menunjuk pada klausula yurisdiksi teritorial yakni, kejahatan dilakukan di wilayah negara pihak dan pelakunya adalah warga dari negara pihak.
Menurut penulis, terjadinya kejahatan internasional oleh Israel di wilayah Palestina yang menjadi satu pihak, maka instrumen hukum Statuta Roma menjadi dalil bagi ICC guna melindungi Palestina dari kekejaman dan kebiadaban Israel.
Terlebih lagi, ICJ PBB tidak optimal dalam menjalankan kewenangannya ditambah lagi adanya indikasi dan potensi hak veto Amerika Serikat. Terlepas dari persoalan tersebut, terdapat standar ganda Amerika dalam menilai yurisdiksi ICC.
Amerika menyikapi berbeda atas surat perintah penangkapan Putin dan Netanyahu. Joe Biden mengatakan bahwa Putin jelas telah melakukan kejahatan perang dan keputusan ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya adalah tepat.
Namun tidak demikian statemen itu diberikan bagi Netanyahu. Sikap dualisme tersebut menunjukkan bahwa Amerika dan Israel ibarat ‘dua sisi mata uang yang sama’. Keduanya dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan.
Presiden terpilih Donald Trump disebut bakal menjatuhkan sanksi kepada seluruh pejabat ICC, termasuk Kepala Jaksa ICC, Karim Khan dan pejabat lainnya yang mengeluarkan surat penangkapan terhadap Netanyahu.
Ungkapan Trump tersebut sungguh bertentangan dengan kemauan masyarakat internasional. Tidak akan berlaku sanksi yang akan dimunculkan, sebab bertentangan dengan hukum internasional itu sendiri.
Invasi Rusia pada Ukraina maupun Israel atas Palestina merupakan kondisi yang tidak diharapkan oleh masyarakat internasional, karena dapat mengganggu stabilitas dan perdamaian dunia. Sejatinya dalam menyikapi penegakan hukum internasional harus didasarkan pada alasan kemanfaatan (utilitas).
Sebagaimana dikatakan oleh Jeremy Bentham – orang yang pertama kali memperkenalkan istilah international law – bahwa peranan hukum internasional adalah dalam rangka mewudukan kemanfaatan. Artinya, hukum harus menjamin kebahagiaan orang banyak (the greatest happiness principle).
Oleh karena itu, terbitnya arrest warrant oleh ICC, harus dimaknai bukan saja menangkap Netanyahu dan Gallant, namun menjaga stabilitas dan perdamaian dunia. Invasi Israel harus segera diakhiri dan sanksi harus diterapkan.
Tanpa adanya pengadilan internasional tersebut, maka yang terjadi bukan terwujudnya kebahagian bagi dunia internasional, melainkan meluasnya kesengsaraan yang berkelanjutan. Perlu dimengerti bahwa dalam surat perintah penangkapan tersebut mengandung makna simbolik, sebagai pencegah bagi negara lain untuk terlibat hubungan dengan Israel.
Termasuk pula mengisolasi negara Zionis itu secara diplomatis. Penghentian hubungan kerjasama, semisal menghentikan penjualan serta pengiriman senjata ke Israel merupakan langkah taktis dan praktis. Komisi Uni Eropa sebelumnya memberikan dukungan terhadap ICC.
Diserukan pula bagi semua negara anggota, wajib melaksanakan dua perintah penangkapan tersebut. Dalam rangka turut mendukung ICC, Indonesia dipandang tepat sebagai promotor di wilayah ASEAN guna mewujudkan kerjasama sebagaimana diharapkan ICC.
Resolusi ASEAN yang mendukung ICC sangat tepat guna membela Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Netanyahu adalah ‘musuh seluruh umat manusia’. Menjadi pas dan pantas ‘monster universal’ negara Zionis itu ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman yang setimpal. Kiranya, hanya ada dua kemungkinan, dihukum mati atau mati dalam penjara.
Kota Bogor, Ahad 8 Desember 2024.
*) Pakar Hukum dan Zionisme Internasional/Ketua Umum Forum Doktor Hukum Indonesia & CEO IBLAM Center.
sumber: WAGroup Anies Baswedan (ABW2)/(postMinggu8/12/2024/hadrawiilham)