Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dianggap telah berbohong kepada publik dalam pernyataannya tentang pengukuhan Majelis Masyayikh, Kamis kemarin (30/12/2021). Bahkan keputusan pengukuhannya atas Majelis Masyayikh itu dinilai inkonsitusional alias cacat hukum dan harus dibatalkan.
semarak.co-Forum Komunikasi Pesanten Muadalah (FKPM) menilai Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, Majelis Masyayikh harus dibentuk sebagai instrumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren.
Mutu ini meliputi aspek peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya, penguatan pengelolaan, serta peningkatan dukungan sarana dan prasarana pesantren. Dalam pasal 69 dari UU Pesantren itu ditegaskan, menteri hanya bertugas menetapkan Majelis Masyayikh.
Sementara itu, demi kemandirian yang menjadi ciri khas pesantren yang diakui Undang-Undang, proses pemilihan bakal calon anggota Majelis Masyayikh hingga penetapannya sebagai calon untuk selanjutnya diserahkan ke Menag agar ditetapkan melalui keputusan menteri, sepenuhnya merupakan kewenangan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA).
“Apa yang dikatakan Menag tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Bahkan keputusan pengukuhan Menag itu cacat hukum dan harus dibatalkan,” kata KH. Ahmadie Thaha, pengasuh pesantren usai mengikuti petemuan dengan para kiai yang tergabung dalam FKPM, Kamis malam tadi seperti dirilis FKPM melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Jumat (31/12/2021).
Ahmadie yang anggota Majelis Syura Persatuan Ummat Islam (PUI) mengatakan, Menaglah yang memilih nama-nama yang harus duduk di Majelis Masyayikh. Kiai Ahmadie yang juga wartawan senior mencatat setidaknya dua dari sembilan Tim AHWA menjelaskan dalam rapat FKPM bahwa Menag telah melampaui kewenangannya dengan memilih sembilan orang dari 21 nama (semula 22) pilihan AHWA yang menyatakan bersedia menjabat Majelis Masyayikh.
“Betul, Menag yang memilih kesembilan nama itu, lalu menetapkan dan mengukuhkan mereka sebagai Majelis Masyayikh. Saya sangat kecewa dengan keputusan Menag yang mencoret sebagian besar nama yang kami sampaikan untuk dikukuhkan,” kata KH. Ahmad Taufiq A. Rahman, salah seorang anggota Tim AHWA, ke peserta rapat.
Anggota Tim AHWA lainnya, KH. Agus Budiman, membeberkan proses panjang pemilihan Majelis Masyayikh yang ditugaskan kepada pihaknya. Terakhir, Tim ini berhasil menyeleksi bakal calon, selanjutnya Tim memilih 22 nama sebagai calon tetap Majelis Masyayikh.
Karena terdapat seorang calon yang menyatakan tak bersedia, akhirnya Tim AHWA menetapkan 21 nama. Sesuai peraturan, ke-21 nama inilah yang disampaikan AHWA kepada Menag. Tugas Menag selanjutnya, sesuai peraturan, mestinya menetapkan calon yang diajukan AHWA tersebut sebagai anggota Majelis Masyayikh dengan jumlah minimal 9 orang hingga maksimal 17 orang.
Namun, kata Kiai Agus Budiman, Menag bukannya menetapkan nama-nama calon yang disampaikan Tim AHWA, tapi malah memilih hanya sembilah nama. Kesembilan nama itu pun hanya berasal dari kelompok atau unsur pesantren salafiyah, dengan menafikan keberadaan wakil dari pesantren khalafiyah (modern).
Menurut Kiai Agus, sebetulnya Tim AHWA melalui musyawarah mufakat telah sepakat memutuskan agar jumlah anggota Majelis Masyayikh diambil maksimal, yaitu 17 orang. Alasannya, karena ini Majelis Masyayikh yang pertama, yang harus bekerja ekstra dalam menata organisasi dan membuat peraturan terkait penjaminan mutu pesantren.
Itu sebabnya, pihaknya mengajukan 21 nama, agar Menag menetapkan 17 orang di antaranya. Namun yang terjadi, Menag malah membonsai Majelis Masyayikh hanya terdiri sembilan orang, dengan menyingkirkan sebagian besar nama yang diajukan Tim AHWA.
Yang jauh lebih mengecewakan Kiai Agus, itu tadi, Menag dalam keputusannya melabrak prinsip proporsionalitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, sehingga membuat keputusannya menyimpang. “Menag telah bertindak sektarian. Ini sungguh absurd dan keputusan sembrono,” tegasnya.
Ahmadie Thaha menyebut, dalam formasi Majelis Masyayikh tersebut memang tidak terdapat wakil dari pesantren muadalah. “Ini betul-betul penghinaan terhadap keberadaan pesantren muadalah. Bagaimana mungkin pemerintah menafikan keberadaan pesantren muadalah dengan tidak diberi wakil untuk duduk di Majelis Masyayikh?” imbuhnya.
Itu sebabnya, terang dia, dalam rapat tersebut Sekjen FKPM KH Lukmanul Hakim menyatakan akan berjuang sekuat tenaga untuk meluruskan keputusan Menag terkait Majelis Masyayikh. Jika Menag tak mencabut keputusannya atau paling tidak memperbaikinya, bukan mustahil pihaknya atau pihak-pihak lain akan menggugatnya di pengadilan.
Dia menjelaskan, pihaknya di FKPM sungguh serius dalam membuat usulan nama-nama untuk dibawa Tim AHWA. Nama-nama itu telah digodog dan dibahas dalam beberapa kali rapat, dengan harapan Majelis Masyayikh dapat mengemban tugasnya yang berat meningkatkan mutu pesantren.
Namun, dengan komposisi Majelis Masyayikh seperti sekarang yang tak melibatkan beragam unsur pesantren, dia mempertanyakan kesungguhan Kementerian Agama dalam meningkatkan dan menjamin mutu pesantren.
Sebelumnya Menag Yaqut Cholil Qoumas secara resmi mengukuhkan Majelis Masyayikh yang terdiri dari sembilan orang kiai. Prosesi pengukuhan tersebut digelar di Auditorium H.M. Rasjidi, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis (30/12/2021).
Menag Yaqut mengatakan, Majelis Masyayikh merupakan bentuk dari rekognisi negara terhadap kekhasan pendidikan pesantren melalui proses penjaminan mutu yang dilakukan dari, oleh, dan untuk pesantren.
“Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren mengamanatkan terbentuknya Majelis Masyayikh sebagai instrumen penting guna mewujudkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren,” kata Menag Yaqut seperti dirilis humas melalui WAGroup Jurnalis Kemenag, Kamis (30/12/2021).
Majelis Masyayikh, terang Menag, adalah lembaga mandiri dan independen yang keanggotaannya berasal dari Dewan Masyayikh. Mekanisme pemilihan Majelis ini dilakukan oleh Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) yang berasal dari unsur pemerintah, asosiasi pesantren berskala nasional.
“Proses panjang telah dilakukan untuk dapat menetapkan anggota Majelis Masyayikh, dimulai dari pembentukan AHWA, penjaringan calon, sampai akhirnya mereka yang dipilih berdasarkan rumpun ilmu agama Islam.
Selaku Menteri Agama, saya berpandangan bahwa ini adalah hasil terbaik dari ikhtiar kita semua, teriring harapan yang disematkan kepada anggota Majelis Masyayikh yang terpilih untuk dapat membawa Pendidikan Pesantren menjadi makin unggul dalam menjawab tantangan zaman,” tambahnya.
Pada kesempatan sama, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani memaparkan, berdasarkan usulan AHWA, Menteri Agama menetapkan anggota Majelis Masyayikh berjumlah ganjil.
Yaitu paling sedikit sembilan orang dan paling banyak berjumlah 17 orang, dengan merepresentasikan rumpun ilmu agama Islam. Penetapan Majelis Masyayikh masa khidmat pertama tahun 2021-2026 ini merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 1154 Tahun 2021.
“Kami berharap melalui momentum Pengukuhan Majelis Masyayikh ini dapat memperkuat sistem dan mutu pesantren, baik itu dari sisi lembaga maupun lulusannya, sehingga ke depan kontribusi para santri dapat senantiasa menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks,” ujar Ramdhani. (smr)
Berikut ini sembilan nama yang dikukuhkan sebagai anggota Majelis Masyayikh:
1. KH. Azis Afandi (Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat)
2. KH. Abdul Ghoffarrozin, M.Ed (Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati, Jawa Tengah)
3. Dr. KH. Muhyiddin Khotib (Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur)
4. KH. Tgk. Faisal Ali (Pesantren Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Aceh Besar, Aceh)
5. Nyai Hj. Badriyah Fayumi, MA (Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Bekasi, Jawa Barat)
6. Dr. KH. Abdul Ghofur Maimun (Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah)
7. KH. Jam’an Nurchotib Mansur/Ust. Yusuf Mansur (Pesantren Darul Qur’an, Tangerang, Banten)
8. Prof. Dr. KH. Abd. A’la Basyir (Pesantren Annuqoyah, Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur)
9. Dr. Hj. Amrah Kasim, Lc, MA (Pesantren IMMIM Putri, Pangkep, Sulawesi Selatan)