Kudeta di Guinea-Bissau: Kelompok Militer Guinea-Bissau Ambil Alih Kekuasaan Presiden

Bissau: Sebuah kelompok perwira militer di Guinea-Bissau menyatakan telah mengambil alih kekuasaan dan menangkap Presiden Umaro Sissoco Embalo, hanya sehari sebelum hasil pemilu presiden diumumkan.

Semarak.co – Dalam siaran televisi Rabu kemarin, para perwira yang menamakan diri “Komando Tinggi Militer untuk Pemulihan Ketertiban” menyatakan telah mengendalikan penuh negara dan memerintahkan penghentian proses elektoral “sampai pemberitahuan lebih lanjut”.

Seperti dilansir oleh metrotvnews.com dari media populer jazirah Arab Al Jazeera pada 27/11-2025, langkah ini disertai dengan penutupan total perbatasan darat, laut, dan udara serta pemberlakuan jam malam.

Kudeta terjadi di tengah suasana yang genting dan menegangkan pasca-pemilu pada Minggu, yang memertemukan Embalo dengan penantangnya, Fernando Dias. Keduanya sempat memberi klaim kemenangan tanpa bukti sah.

“Saya telah digulingkan,” kata Presiden Umaro Sissoco Embalo yang baru saja dijatuhkan kekuasaanya, melalui sambungan telepon kepada France 24, dan menambahkan, “saat ini saya berada di markas staf umum”.

Media Al Jazeera melaporkan bahwa Presiden Guinea Umaro Sissoco Embalo saat ini tengah berada di dalam tahanan, begitu pula hal nya dengan pemimpin oposisi pemerintahan Guinea-Bisssu, Domingos Simoes Pereira.

Jurnalis Nicolas Haque melaporkan bahwa yang memimpin kudeta tersebut adalah Brigadir Jenderal Denis N’Canha. Jenderal bintang dua itu sebelumnya menjabat sebagai kepala pasukan pengawal presiden pemerintahan Embalo.

Yang menarik, pernyataan jurnalis Nicolas Haque yang menyebut Brigadir Jenderal Denis N-Canha sebagai, ‘Orang yang seharusnya melindungi presiden, justru (malah) yang menahannya,” ujar jurnalis ternama wilayah itu.

Kudeta ini juga terjadi setelah terdengar serentetan suara tembakan berkelanjutan di sekitar istana presiden Embalo, lalu terdengar keras di kantor komisi pemilihan umum, dan kemudian di Kementerian Dalam Negeri di ibu kota Bissau.

Menurut Al Jazeera, legitimasi pemilu kali ini memang sudah dipertanyakan, terutama karena partai oposisi utama PAIGC dilarang mengikuti kontestasi. ECOWAS dan Uni Afrika menyatakan keprihatinan mereka terhadap kudeta ini.

“Sangat disayangkan bahwa pengumuman ini muncul saat kami baru saja bertemu dua kandidat utama yang menyatakan kesediaan menerima kehendak rakyat,” kata para pengamat dalam pernyataan bersama.

Para pengamat juga dengan lantang menyerukan untuk mengadakan option pembebasan sesegera mungkin kepada sejumlah pejabat yang sedang ditahan untuk segera dibebaskan dan sebuah kelanjutan proses elektoral dilanjutkan.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyatakan keprihatinan yang mendalam serta menyerukan semua pihak di Guinea-Bissau untuk menahan diri dan menghormati hukum.

Sementara pemerintah negara Portugal turut serta menyerukan supaya institusi negara harus dibiarkan berfungsi guna menyelesaikan proses pemilihan umum (pemilu) yang tengah berlangsung di negara yang terletak di wilayah Afrika itu.

Pemilihan umum kali ini adalah mengulang ketegangan serupa seperti pada tahun 2019, di mana dua kandidat utama pemilu presiden tersebut saling klaim kemenangan dan memicu krisis politik selama empat bulan di negara itu. (net/mtnc/alz/kim/smr)

Pos terkait