Oleh Lukas Luwarso
semarak.co-Ada situasi baru dalam krisis politik menjelang Pemilihan Presided (Pilpres) 2024. Dipicu petualangan nekad persekongkolan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan menggunakan segala cara.
Termasuk menyalahgunakan institusi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memenangkan kekuasaan. Krisis bernuansa kisah Games of Throne, perebutan kekuasaan melalui mekanisme elektoral. Krisis yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah Indonesia.
Satu petualangan permainan politik yang bisa berbahaya. Krisis politik level elit saat ini bisa bereskalasi menjadi konflik dan bisa merembet ke grass-roots, membakar rakyat. Saat ini politik sudah terbelah dalam perkubuan, bukan lagi cebongs vs kadruns, tetapi soal perbenturan prokontra antardinasti politik.
Krisis politik terjadi pada tiga level komplikasi: pertama, level negara, krisis konstitusi terkait putusan MK. Keputusan mendadak beraroma konflik kepentingan demi memuluskan jalan Jokowi melanjutkan kekuasaan melalui putranya, Gibran Rakabuming Raka.
Kedua, level pemerintahan, krisis kabinet terkait resafel pembantu presiden. Diikuti penguasaan posisi-posisi strategis birokrasi dan aparat negara yang dipakai untuk memenangkan Pilpres.
Ketiga, level kepartaian, krisis disiplin kepartaian dan etika politik. Keluarga Jokowi secara terbuka telah menabrak kode etik dan kode perilaku berpartai. Berpindah afiliasi politik, termasuk mengakuisisi partai, tanpa mengindahkan kepatutan mekanisme tata aturan kepartaian.
Ironisnya, petualangan menegasi partai dan mengabaikan mekanisme kepartaian itu diafirmasi oleh partai-partai terkait. Apakah Jokowi, Gibran, Boby, masih berafiliasi dengan PDIP? Apakah Kaesang penguasa PSI?
Jika krisis pada tiga level itu terus berlanjut, akan memicu krisis keempat, level akar rumput. Benturan antara pendukung keluarga (dinasti) Jokowi-Prabowo-SBY vs keluarga Megawati PDIP. Perseteruan verbal sudah berlangsung di media sosial.
Hanya soal waktu, sentimen dukung-mendukung politik perkubuan itu bisa menjadi benturan antar-rakyat. Keluarga Jokowi telah mempertontonkan “pornografi politik”, di satu sisi. Dan di sisi lain, politik koalisi kepartaian sudah sangat memalukan, atau tak kenal rasa malu.
Sejumlah ketua partai tunduk dan takluk, konformis, meng-iyakan persekongkolan banal, demi bisa menang dan ikut dalam gerbong kekuasaan. Gibran Rakabuming menjadi aktor pajangan, dalam skenario permainan tahta (Game of Throne) obsesi keluarga untuk terus berkuasa.
Jokowi yang sukses meraih kekuasaan melalui demokrasi, kini justru menegasi dan mengangkangi demokrasi. Produk reformasi yang susah payah diperjuangkan, kini hendak dikubur, demi ambisi. Pasangan Koalisi Indonesia Maju, Prabowo-Gibran yang ironisnya, paling telat maju, berproses melalui drama penuh kepura-puraan.
Memakai tipu muslihat gugatan putusan MK, dan bukan tidak mungkin menggerakkan aparat dan birokrasi negara, untuk cawe-cawe, demi memenangkan kekuasaan. Partitur orkestrasi politik culas ditulis dengan begitu kasar, menghina adab politik nalar rakyat (common sense; wisdom of the crowd). Cepat atau lambat semua muslihat itu bakal terungkap.
Jalan politik sesat yang dipilih Jokowi menjelang akhir kekuasaannya akan tercatat dalam sejarah. Menjadi pelajaran pahit-getir tentang kuasa politik yang bisa mengubah seorang manusia menjadi gila kuasa.
Permainan politik Jokowi–dan Prabowo–mulai memasuki level bahaya. Kegilaan politik, yang memicu krisis tiga level: kenegaraan, pemerintahan, dan kepartaian, ini semoga tidak bereskalasi menjadi krisis keempat: tercideranya kepercayaan rakyat.
27 Oktober 2023
sumber: kbanews di WAGroup HIMPUNAN AKTIVIS MASJID (postKamis9/11/2023/)