Korupsi Marak saat Rakyat Menderita, Dimana Jokowi?

Ubedilah Badrun. Foto: internet

by Ubedilah Badrun *

semarak.co-Hampir satu tahun lalu kita semua dibuat penasaran tentang penyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menghilang tak tentu rimbanya. Sementara komisioner KPU-nya sudah dipenjara. Entah mengapa KPK sampai saat ini belum menemukan sosok yang dekat dengan petinggi partai berkuasa tersebut.

Bacaan Lainnya

Lalu kita dihebohkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Edhy Prabowo Menteri Kelautan dan Perikanan pada akhir November lalu. OTT ini membuat publik marah, dan sampai saat ini belum sirna dari ingatan publik. Diduga kuat Edhy Prabowo menerima suap sebesar Rp3,4 Milyar.

Tiba-tiba awal Desember ini, publik kembali dihebohkan dengan berita OTT pejabat Kementerian Sosisl RI. KPK sudah menetapkan bahwa Juliari Peter Batubara (Menteri Sosial) sebagai tersangka. Publik tentu semakin marah, karena diduga kuat yang dikorupsi itu uang bantuan sosial untuk mereka yang terdampak pandemi Covid-19.

Yang dikorupsi di Kemensos juga uang untuk mereka yang berpenghasilan kecil. Uang untuk mereka yang miskin dan menderita. Uang untuk mereka yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Angka korupsinya cukup fantastis. Diduga mencapai Rp. 14,5 miliar.

Jika dicermati, dana untuk penanganan pandemi Covid-19 mencapai Rp 677,2 triliun. Ini dana yang sangat besar, tetapi rawan dan berpotensi dikorupsi karena lemahnya pengawasan publik dan lemahnya pengawasan internal akibat situasi pandemi covid-19.

Pesan Jokowi & Maraknya Korupsi

Masih lekat dalam ingatan publik bahwa satu tahun lalu lebih, pada 23 oktober 2019 lalu, saat melantik 34 menterinya, Presiden Jokowi mengingatkan, “Saya telah perintahkan seluruh kabinet yang sudah saya umumkan, yang pertama jangan korupsi. Supaya menciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi”.

Peringatan Jokowi kepada para menterinya itu dilakukan berkali-kali. Kalau begitu, pertanyaanya adalah mengapa masihg tetap saja terjadi korupsi? Mencermati kondisi tersebut, setidaknya menunjukkan terdapat lima hal penting.

Pertama, peringatan Presiden Jokowi tidak didengar oleh para menterinya. Peringatan Presiden Jokowi hanya didengar sambil lalu saja. Tidak dianggap sebagai hal penting. Bahkan kemungkinan dinilai hanya sebagai pemanis bibir, dan bumbu citra rasa bagi seorang Presiden.

Kedua, kepemimpinan Presiden dalam menjaga kabinetnya untuk tidak korupsi terlihat lemah. Presiden tidak mampu memanage, dan mengontrol menterinya untuk tidak korupsi. Bukankah setiap rapat kabinet ada update laporan dari para menterinya?

Pada setiap laporan, mestinya Presiden mampu temukan celah potensi korupsi? Tetapi jika menemukan celah, potensi kemungkinam korupsi lalu dibiarkan dan tidak ditegur, ini berarti kemungkinan ada semacam pembiaran atau kepercayaan Presiden yang berlebih kepada para menterinya.

Ketiga, itu menunjukkan saat proses pengangkatan Menteri cenderung mengabaikan sisi integritas calon menterinya. Lebih dominan faktor transaksional politisnya. Ini sudah diduga dari awal, karena proses pengangkatan para menteri diawal periode kedua Jokowi ini memang tidak melibatkan KPK dalam seleksinya.

Berbeda dengan saat periode pertama yang meminta KPK. Ada semacam menseleksi dari sisi track record (rekam jejak) integritas nama nama calon menterinya. Keempat, menunjukkan bahwa sang menteri, sejak awal memang tidak memiliki integritas yang baik.

Selain itu, perlu ditelusuri, apakah praktek korupsi tersebut sengaja dibiarkan, disetujui, atau diperintah oleh partai politiknya? Kelima, menunjukkan tidak jera nya para elit politik dalam melihat penangkapan OTT yang dilakukan KPK.

Termasuk tidak takut untuk malukukan korupsi, karena hukuman bagi koruptor ternyata ringan. Bahkan boleh lagi menjadi caleg, atau calon kepala daerah setelah keluar dari penjara.

Meminjam terminologi Inge Amundsen yang disebutkan dalam artikel yang berjudul Research on Corruption: A Policy Oriented Survey (2000) karakteristik koruptif bribery (suap), embezzlement (penggelapan), dan nepotism (kedekatan hubungan) tampaknya lebih dominan di Indonesia. Peristiwa dan analisis di atas adalah obyek empiriknya.

Dimana Tuan Presiden?

Pada titik inilah kita patut bertanya di mana integritas Presiden Jokowi di tengah masih maraknya korupsi? Di mana posisi Presiden Jokowi dalam mendorong hukuman berat bagi para koruptor? Di mana komitmen Presiden dalam upaya pencegahan praktek korupsi di Kementrian dan Lembaga di bawah kekuasaannya sebagai kepala pemerintahan?

Korupsi di tengah situasi bencana pandemi covid-19, dan situasi krisis ekonomi, bahkan dalam situasi resesi ekonomi menuntut penegakan hukuman yang sangat berat. Bila perlu hukuman mati sangat dimungkinkan menurut Undang-Undang. Lantas, di mana posisi dan komitmen Presiden Jokowi yang dulu berkampanye untuk hukum berat koruptor?

Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Kemudian pada ayat berikutnya (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil.

Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi dapat dimaknai sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan. Bukan dengan timbulnya akibat.

Sedangkan pada ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menetapkan Corona sebagai bencana nasional. Maka dari itu, jika terjadi tindak pidana korupsi terhadap dana anggaran untuk penanganan Corona, maka sesungguhnya bisa ditindak sesuai dengan Pasal 2 UU tindak pidana korupsi tersebut.

Saat ini Indonesia sedang dalam kondisi bencana nasional pandemi covid-19. Kita dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter. Lalu apakah hukuman mati akan diterapkan? Ini momentum penting bersejarah dalam penegakan hukuman bagi para koruptor agar semua elit politik yang berniat korupsi jera dan tidak akan melakukan tindakan korupsi lagi.

Pertanyaanya, sampai saat ini, usai KPK menetapkan Mensos JPB sebagai tersangka korupsi bantuan sosial, apa suara Presiden Jokowi? Jokowi hanya mengatakan bahwa dirinya tidak akan melindungi menterinya yang korupsi. Itu benar Tuan Presiden. Tetapi ini situasi bencana nasional dan krisis ekonomi. Di mana suara lantangmu soal hukuman mati Tuan Presiden?

*) penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

 

sumber: fnn.co.id (Minggu 6/12/2020) di WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *