Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 73 Tahun 2021 pada 2 Juli 2021 tentang Penyertaan Modal Negara kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan mengalihkan saham PT Pegadaian dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Ini adalah sebagai tindak lanjut dukungan terhadap aksi akuisisi korporasi untuk membentuk Holding Ultra Mikro (Umi).
semarak.co-Pengamat Koperasi Suroto menilai aksi korporasi tersebut sebetulnya hanya akal-akalan belaka untuk tujuan pengejaran keuntungan yang akan dinikmati segelintir orang melalui aksi korporasi dengan dalih pemberdayaan usaha mikro. Selain untuk tujuan memancing minat investor asing untuk membeli saham BRI.
Hal tersebut, lanjut Suroto, terlihat dari skemanya yang terbaca dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) nomor 17/12/2015 yang masih membatasi rasio kredit bagi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) hanya 20%.
Sementara realisasinya, sebut saja untuk tahun 2020 misalnya adalah sebesar 18,71 persen. Dari rasio kredit tersebut hanya 3 persen saja yang dapat diakses oleh usaha mikro yang jumlahnya 63 juta atau 98,9 persen dari total pelaku usaha kita.
“Kalau memang mau serius menciptakan pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, kenapa tidak PBI-nya yang dirombak dengan secara tegas alokasikan rasio kredit untuk usaha mikro sebesar 50 persen misalnya, bukan dengan membentuk Holding Ultra Mikro,” ungkap Suroto seperti dilansir bisnistoday.co.id/ ON JULY 6, 2021.
Selama ini, kata Suroto, bank tidak memiliki komitmen dan kapasitas untuk memberdayakan usaha mikro. Di masa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 saat ini, uang yang ada di bank itu sekarang menumpuk bahkan semakin meningkat tajam yang berasal dari tabungan orang kaya.
Sementara outstanding atau pinjamannya melorot tajam. Untuk mengatasi kekosongan layanan selama ini masyarakat lebih banyak mengandalkan pada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) seperti koperasi kredit (kopdit), koperasi simpan pinjam (KSP), Baitul Mal Watamsil (BMT), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), dan lain-lain.
Lembaga ini telah hadir dengan kemudahan akses namun karena arsitektur kelembagaanya tidak didesain dengan baik dan digencet kebijakan oleh pemerintah terus menerus, maka banyak biaya yang harus dibebankan pada masyarakat peminjamnya.
Kenapa tidak misalnya terbitkan PP tentang Lembaga Penjaminan Untuk Lembaga Keuangan Mikro agar koperasi dan LKM lainya itu semakin kuat, efisien dan mampu menjangkau lebih luas usaha mikro serta amankan simpanan masyarakat kecil.
Masyarakat dari dulu kala hanya selalu dijadikan obyek pemerasan melalui kebijakan. Pemerintah selalu mempercayai kebijakan kuno yang diulang terus, yaitu akses kredit tanpa perkuat kelembagaan keuangan demokratis milik masyarakat.
“Kami dari Koalisi Tolak Holding Ultra Mikro akan menggugat PP yang ada dan juga apabila dalihnya adalah peraturan UU di atasnya kami juga akan ajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Termasuk Uji Materi UU BUMN yang diskriminatif terhadap badan hukum demokratis koperasi,” tegas Suroto yang juga Koordinator Koalisi Tolak Holding Ultra Mikro.
Seperti diketahui bahwa Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 2021 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Rakyat Indonesia Tbk atau BRI pada 2 Juli lalu.
Beleid itu mengatur tentang pembentukan Holding UMi yang melibatkan tiga entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN yakni PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Pegadaian (Persero) dan PT Permodalan Masyarakat Madani (Persero) atau PNM.
PP tersebut juga dikeluarkan dalam rangka pemulihan ekonomi melalui holding di mana BRI sebagai induk, dan juga sebagai bentuk perwujudan visi pemerintah meningkatkan aksesibilitas layanan keuangan segmen ultra mikro yang sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024.
Hak Istimewa
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan mengatakan dengan hadirnya beleid itu wajar jika hak istimewa diberikan kepada Pegadaian dan PNM. Alasannya, kedua perusahaan tersebut selama ini memiliki rekam jejak bagus dalam melayani nasabah segmen UMKM dan ultra mikro.
Aji menegaskan, jangkauan serta kualitas layanan Pegadaian dan PNM terhadap pelaku usaha ultra mikro tak perlu dipertanyakan lagi. Dengan bergabungnya dua perusahaan ini bersama BRI dalam satu holding, diyakini ke depannya pemberdayaan usaha ultra mikro akan semakin optimal dan luas cakupannya.
“Kepercayaan kepada Pegadaian dan PNM itu diartikan sebagai kepercayaan jangkauan kepada usaha-usaha mikro. Selama ini memang Pegadaian dan PNM memiliki track record itu sehingga secara keterjangkauan sudah teruji,” ujar Aji seperti dilansir bisnistoday.co.id/ ON JULY 6, 2021.
Pemerintah pun, lanjut Aji, menjamin akan ikut andil di dalam pengawasan akuntabilitas dan transparansi arus transaksi usaha-usaha mikro. Ini merupakan hal positif yang harus disambut baik.
PP tersebut mengatur hak istimewa bagi PNM dan Pegadaian, di mana perseroan sebagai anggota holding akan memperoleh hak-hak khusus seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), meski statusnya berubah menjadi anak perusahaan atau anggota holding.
Dalam Pasal 5 ayat 1 beleid itu, kutip dia, disebutkan PT Pegadaian tetap mempunyai hak khusus yang dimiliki perusahaan pergadaian pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak khusus tersebut termasuk cakupan wilayah izin operasi, yang tidak terbatas pada hak melakukan kegiatan usaha secara nasional, dan hak mempertahankan cakupan wilayah operasional yang telah dimiliki saat ini. Ada pula hak khusus sehubungan dengan bea meterai dan hak khusus sehubungan dengan lelang barang jaminan.
Sedangkan hak untuk PNM diatur dalam Pasal 5 ayat 2 bahwa perseroan tetap menjalankan hak sebagai lembaga keuangan khusus, dalam menyelenggarakan jasa pembiayaan termasuk kredit program dan jasa manajemen untuk pengembangan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah.
Menurut Aji, hak istimewa diberikan kepada Pegadaian dan PNM karena kepemilikan negara terhadap dua BUMN ini nantinya akan bersifat tidak langsung. BRI adalah perusahaan yang nantinya memegang saham Pegadaian dan PNM secara langsung.
Meski begitu, kendali negara atau pemerintah terhadap Pegadaian dan PNM, sebagai anggota Holding UMi, tidak akan berkurang karena negara masih memiliki saham mayoritas dan status sebagai pengendali BRI.
Sebelumnya diberitakan, sejumlah Koperasi Kredit (Kopdit) menyatakan menolak rencana pembentukan holding ultra mikro. Mayoritas Kopdit beralasan holding ultra mikro berpotensi memonopoli segmen pembiayaan ultra mikro dan mematikan koperasi dan semua lembaga keuangan mikro (LKM) milik masyarakat lainnya.
Anggota Kopdit Adiguna di Nusa Tenggara Timur (NTT) Wilem Ngette mengatakan, holding ultra mikro hanya akan membahayakan eksistensi koperasi kredit dan kehidupan lembaga keuangan mikro. Dia bahkan menyebut Kementerian BUMN seperti tidak memiliki fokus pekerjaan yang seharusnya dilakukan.
“Saya mendukung penolakan holding ultra mikro. Kementerian BUMN seperti kurang kerjaan. Kementerian BUMN fokus saja untuk menyelesaikan persoalan lain, seperti utang perusahaan plat merah hingga BUMN yang merugi,” kata Wilem saat dihubungi bisnistoday.co.id/ON JULY 1, 2021, Kamis.
Menurutnya, rencana menggabungkan BRI, Pegadaian, dan PNM untuk membentuk holding ultra mikro, hanya akan menambah beban dan masalah kementerian yang semakin menumpuk. “BUMN itu ngurus yang sudah ada saja banyak yang belum ok, kok (mau) nambah beban lagi dengan buat holding ultra mikro,” ujar Wilem.
Senada dengan Wilem, Ketua Koperasi Kredit Keling Kumang di Kalimantan Barat (Kalbar) Masiun Nerang juga mendukung penolakan pembentukan holding ultra mikro. Dirinya menilai pembentukan holding hanya akan mengkerdilkan peran koperasi dan lembaga keuangan mikro lainnya.
Selama ini koperasi sudah berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebab, setiap masyarakat atau anggota koperasi merupakan subjek dalam perubahan dirinya.
Sehingga koperasi pun rasanya tidak membutuhkan kelembagaan holding ultra mikro yang justru hanya akan membangun ketergantungan masyarakat terhadap produk pinjaman perbankan.
“Saya sangat setuju dengan penolakan holding ultra mikro. Karena itu kan mengkerdilkan institusi berbasis anggota yang dimiliki masyarakat seperti Koperasi yang selama ini jika dikelola dengan baik itu sangat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Masiun.
Masiun pun khawatir jika pembentukan holding yang menggabungkan 3 BUMN yakni BRI, Pegadaian, dan PNM akan mempersempit ruang gerak dari koperasi. Dirinya berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana tersebut, supaya tidak mematikan koperasi yang sudah dibentuk oleh masyarakat.
“Tolong pembentukan holding ultra mikro itu dipertimbangkan lagi. Kalau memang harus dibentuk, harus dibuat secara hati-hati jangan mematikan organisasi-organisasi keuangan seperti koperasi yang selama ini telah menempatkan masyarakat sebagai subjek. Biarkan koperasi tumbuh subur bersama dengan masyarakatnya,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Koalisi Tolak Holding Ultra Mikro menjadi organisasi masyarakat sipil yang menyatakan penolakan holding ultra mikro. Koalisi terdiri dari aktivis, akademisi dan pegiat sosial ini beralasan bahwa holding ultra mikro akan memonopoli segmen ultra mikro dan mematikan koperasi-BMT dan seluruh lembaga keuangan mikro milik masyarakat.
Selain Suroto, terdapat sejumlah aktivis dan akademisi yang tergabung dalam gerakan ini. Terakhir, begawan ekonomi Sri Edi Swasono, Robinson Nainggolan (Koperasi CUHK Belawan), Frans Tantri Darma (Koperasi Kredit), dan Wilem Ngette (Tokoh CU NTT) turut menyatakan keikutsertaannya dalam penolakan holding ultra mikro ini. (net/btd/smr)