Kontraversi Jalan Memilih Pemimpin Indonesia

Grafis penguasa zalim. Foto: tarbawia di internet

Oleh Asp Andy Syam *

semarak.co-Pertarungan politik makin panas sudah bergulir menuju Pemilu/Pilpres 2024. Perlunya kebangkitan kembali nasionalisme pribumi dan Islam. Akhir-akhir ini mulai sangat gencar sekelompok cendekiawan dan aktivis mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perubahan Presidensial Trashold (PT) dari 20 % menjadi 0%.

Bacaan Lainnya

MK mengalami serangan bertubi-tubi. Artinya makin kuat desakan untuk melakukan perubahan Kepemimpinan nasional. Perubahan untuk membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas dan lebih demokratis. Demi menemukan Pemimpin Indonesia di masa depan yang lebih baik dari pada yang sekarang.

Kekecewaan yang amat sangat pada Kepemimpinan Presiden Jokowi yang diusung koalisi oligarki membangkitkan semangat juang untuk perubahan. Suatu pertarungan untuk Kepemimpinan masa depan Indonesia. Tetapi bagi koalisi oligarki tentu sudah merasa nyaman dengan PT. 20%.

Seperti ucapan Puan Maharani politisi PDIP yang viral di medsos mengatakan bahwa 20% sudah final. Artinya jangan coba-coba ganggu-gugat. Jadi bisa jadi kekuasaan oligarki akan digunakan untuk mempengaruhi MK agar menolak permohonan PT 0%.

Sudah bukan rahasia, kalau Putusan MK pada soal UU Cipta Kerja di dalamnya ada semangat patgulipat dengan penguasa. Jadi mungkin saja lagi-lagi MK menolak PT 0%. Kalau itu terjadi, tentu rakyat makin kecewa dan menemukan jalan buntu perubahan. Kekecewaan itu bisa menimbulkan reaksi yang keras maupun mungkin jalan revolusi.

Boleh-boleh saja dan sah terjadi pertarungn PT antara 20% versus 0%. Namanya Indonesia negara demokratis. Namun suatu pertanyaan yang perlu diajukan adalah: “Apakah memang bangsa Indonesia kini punya kebebasan menentukan pemimpin (Presiden)nya…?

Secara sudut pandang demokrasi liberal, kebebasan itu jelas ada…! Tapi produk (pemimpin yang terpilih) lebih ditentukan oleh pemain global. Era kini, di semua negara, berlaku intervensi global dalam menentukan Kepemimpinan nasional.

Di satu sisi Kepemimpinan nasional (Presiden) yang terpilih mesti bisa mengikuti arah Kepemimpinan global yang lagi gencar melakulan liberalisasi dan sekularisas sebagai prasyarat menuju terbentuknya the New World Order (NWO), penghapusan nagara bangsa menuju terbentuknya NWO.

Langkah penting lainnya adalah melakukan tafsir pada Pancasila sesuai dengan nilai-nilai liberalisme dan sekularisme. Bagaimana menggusur agama di ranah publik dengan menyingkirkan pendidikan agama di sekolah dan kampus. Mendukung seks bebas dan LGBT. Presiden Jokowi adalah produk intervensi Kepemimpinan global.

Semua tahu kalau Menteri pendidikan Nabiel Makarim telah bekerja keras untuk melakulan liberalisasi dan sekularisasi dengan membuat peta jalan pendidikan nasional tanpa narasi agama. Selain itu juga berusaha membuat kebijakan menciptakan peluang seks bebas di kampus.

Walaupun suara ummat Islam melakulan protes keras kebijakan-kebijakan itu, tetap saja jalan sesuai dengan tuntutan Kepemimpinan global. Jadi betapapun kerasnya perjuangan untuk melakukan perubahan Kepemimpinan nasional, tetap saja nanti yang akan menang adalah keinginan Kepemimpinan global.

Pemillu dan Pilpres sekedar legitimasi formal. Intervensi Pemilu dan Pilpres oleh kepentingan global. Dua cara intervensi yaitu mendorong Capres yang sesuai dan menentukan keberhasilannya. Sesungguhya bagi rakyat Indonesia siapapun yang terpilih jadi Pemimpin nasional (Presiden) bukan soal, sepanjang mengabdikan kekuasaannya untuk kepentingan nasional.

Kepentingan nasional adalah di atas segala-galanya. Bukan sebaliknya jadi komprador pelayan kepentingan asing. Untuk Pemilu dan Pilpres 2024, maka pertarungan tentu makin keras dibanding Pemilu dan Pilpres sebelumnya.

Masalahanya dua kubu global, yaitu kiri (China) dan kanan (Amerika) keduanya punya kepentingan untuk Kepemimpinan Indonesia paska 2024. Presiden Jokowi selama ini telah menunjukkan pelayanan kepada kedua bos (Amerika dan China). Secara ekonomi dan investasi kepentingan China yang diutamakan.

Menyediakan lapangan kerja di Indonesia bagi pengangguran di China. Walaupun pribumi protes keras, hal itu tetap saja jalan dengan terus membanjirnya masuk TKA China. Juga upayah menjebak Indonesia dengan hutang besar besaran pada China.

Membuat Indonesia terikat pada melayani kepentingan China, walaupun merugikan kepentingan nasional. Di lain sisi secara politik melayani kepentingan Amerika dengan menerapkan kebijakan liberalisasi dan sekularisasi sebagaimana diuraikan di atas.

Sebagai bangsa yang bermartabat, bagaimana harus menyikapi intervensi global atas keterpilihan Kepemimpinan (Presiden) Indonesia? Dua periode Pilpres (2014 dan 2019) adalah melahirkan produk pilihan dari Kepemimpinan global yang naik ke atas panggung kekuasaan.

Yang penting bukan kualitas yang utuh, kompoten dan baik bagi kepemimpinan dan kepentingan nasional, tatapi menghadirkan sosok Pemimpin yang bisa   mentalitetnya dirubah jadi boneka global. Rakyat dan elit semua dibuat munafik. Katanya memilih Pemimpin bangsa yang baik, tapi sesungguhnya Pemimpin yang mengabdi pada Kepemimpinan dan kepentingan global.

Untuk menghadapi masalah itu, rakyat dan elit mesti disadarkan tentang kemandirian bangsa, harkat dan martabat sebagai bangsa Indonesia yang bebas merdeka. Saatnya membangun kembali nasionalisme pribumi dan Islam yang telah mengantarkan bangsa Indonesia jadi bangsa yang merdeka dan bermartabat.

Tanpa kebangkitan nasionalisme pribumi dan Islam, maka ancaman global yang ambisi pada perubahan bisa memporak- porandakan Indonesia dimasa depan. Kembalilah dan bangkitkanlah nasionalisme pribumi dan Islam untuk selamatkan NKRI.

Pilkada DKI Jakarta 2017 menujukkan kekuatan nasionalisme pribumi dan Islam mengalahkan titipan Kepemimpinan oligarki untuk kepentingan Kepemimpinan global. Kalau lagi-lagi kehendak Kepemimpinan global yang selalu menang yang meronrong kepentingan national, memang saat nya bangsa Indonesia menyatakan kembali ke teks asli UUD 1945.

Hal itu sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia yang mengedepankan kehidupan kolektif dengan cara permusyawaratan/perwakilan sesuai sila keempat Pancasila. Meninggalkan jati diri ini merupakan ancaman bagi masa depan NKRI.

Akhir-akhir ini makin kuat dukungan pada Kelompok konservatif untuk kembali kepada UUD 1945. Bahkan emak-emak pun yang turun ke jalan bersuara demikian. Untuk apa suatu perubahan yang berjalan kalau terus terjadi kerusakan (desruption) dalam negara karena faktor Kepemimpinan nasional (Presiden) yang keliru.

Tentu kelompok oligarki akan terus berusaha mempertahankan sistem yang berlaku sekarang. Karena keunggulan finansil oligarki merupakan senjata jitu dalam memenangan setiap pertarungan politik.

Tapi sayangnya keuangan negara yang digerus melalui siasat siasat korupsi. Ini pula yang menggerogoti kehormatan kekuasaan oligarki yang mencapai titik terendah sekarang ini. Hal ini mendorong semangat kebangkitan untuk perubahan Kepemimpinan nasional yang lebih baik dan mengabdi pada kepentingan nasional.

Save Indonesia

*) Hikmahjalan

Kearifan Kepemimpinan

Peduli pada Kepemimpinan bangsa 18/12/21

 

sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (postSabtu18/12/2021/syamandy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *