Konsumsi Migas Meningkat, Temuan Cadangan Baru Terbentur Perizinan

Kepala Divisi SKK Migas Didik Setyadi

Konsumsi migas (minyak dan gas) di dalam negeri dari waktu ke waktu terus meningkat. Peningkatan ini tidak bisa dipenuhi dari hasil produksi migas dalam negeri. Akibatnya, Indonesia yang dulu dikenal sebagai negeri kaya minyak kini harus rutin mengimpor dari luar negeri.

Kepala Divisi formalitas SKK migas Didik Setiyadi mengatakan, ternyata tak hanya BBM dan minyak mentah, ke depan Indonesia juga bisa mewajarkan bahwa kita harus mengimpor gas dalam bentuk Liquided Natural Gas (LNG) untuk memenuhi kebutuhan gas nasional. Pertamina mencatat selisih (gap) antara kebutuhan gas domestik dengan produksi akan terus meningkat dari saat ini 2,5 miliar kaki kubik per hari (bcfd) menjadi 4 bcfd pada 2025.

“Angka ini sudah memperhitungkan jika hasil produksi gas dari proyek-proyek besar seperti Jangkrik, Masela dan Tangguh dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik, menurut data Pertamina. Saya bilang kita bukan negara produsen gas terbesar di dunia. Cadangan kita hanya 1,2 persen dari cadangan gas dunia. Jadi, kita bukan negara kaya dengan minyak dan gas bumi, masa itu sudah lewat,” kata Didik dalam acara Fokus Group Dicussion “Kupas Tuntas Industri Hulu Migas” yang diselenggarakan Ide Media Komunika, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/12).

Beberapa waktu lalu, kutip Didik, masyarakat sempat dibuat heran dengan langkah Pemerintah yang ingin impor LNG dari perusahaan swasta di Singapura. Ini karena negara tersebut tidak memiliki kekayaan minyak dan gas yang terkandung didalamnya. Namun, menurut Didik, hal itu adalah wajar, karena kembali soal ketahanan energi dalam negeri sendiri.

“Kalau soal ketahanan energi, maka harus dilihat pertama satu itu sisi kebutuhan, kedua sisi harga. Kalau kita membutuhkan gas yang tersedia di dekat kita, tapi harganya tinggi atau mungkin kalau beli dari jauh tapi ada ongkos angkut dan lain sebagainya. Demi kebutuhan yang tidak mematikan pembangkitan listrik kita, kita kan harus cari sumber gas baru,” ungkap pembicara tunggal itu.

Tanpa upaya menemukan cadangan baru minyak bumi dan gas, kata dia, Indonesia terancam segera mengalami krisis energi. Namun, penemuan cadangan baru juga bukan tantangan gampang. “Bila tak ada temuan cadangan minyak baru, dengan angka produksi sekarang, dalam 12 tahun ke depan kita sudah akan kehabisan minyak bumi,” Didik.

Untuk gas, lanjut Didik, ancaman yang sama juga diperkirakan terjadi dalam hitungan 37 tahun ke depan. Padahal, migas masih menjadi sumber utama energi Indonesia, termasuk untuk bahan bakar transportasi, pembangkit listrik, dan pabrik.

“Belakangan ini, temuan cadangan baru migas di negeri ini semakin berkurang karena kegiatan ekplorasi menurun. Hal ini, terjadi karena banyak factor. Beberapa di antaranya karena masalah perizinan dan ketidakpastian aturan serta hokum,” sindirnya.

Berdasarkan data BP Statistical Review 2016, cadangan terbukti minyak Indonesia per akhir 2015 hanya 3,6 miliar barrel. Adapun cadangan terbukti gas, merujuk data yang sama, diperkirakan sekitar 100,3 triliun kaki kubik (TCF).

Masalahnya, konsumsi harian minyak di dalam negeri saja per hari sudah mencapai 1,6 juta barrel. Dari angka itu, hanya sekitar 800.000 barrel yang dipasok dari produksi di dalam negeri dan selebihnya masih harus dipasok dari impor.

“Nah perizinan adalah salah satu tantangan nyata yang harus segera mendapatkan solusi bila tak ingin proyeksi krisis energi benar-benar melanda Indonesia dalam waktu dekat. Saat ini, kontraktor migas harus mengurus 373 jenis perizinan untuk sampai bisa jualan produknya,” keluhnya.

Ratusan perizinan itu, rinci dia, mencakup tahap ekplorasi, pengembangan, ekploitasi, dan pasca-produksi. Rinciannya, 117 perizinan untuk eksplorasi, 137 perijinan terkait pengembangan, 109 perizinan buat eksploitasi 109 perijinan, dan 10 perizinan sesudah fase produksi.

Belum lagi ijin prinsip, izin pemakaian lahan, ijin dari pemda setempat, dan banyak lagi. “Dari awal mengurus perizinan saja persyaratannya sudah macam-macam, yang paling menonjol itu adanya (syarat) rekomendasi gubernur, bupati, dan instansi lain,” paparnya.

Sebagai catatan, ratusan perizinan tersebut tersebar pengurusannya di 18 instansi dan lembaga pemerintahan. Didik mecontohkan, eksplorasi di kawasan hutan harus diawali dengan pengurusan izin pinjam pakai. Untuk mendapatkan izin ini, harus ada dulu izin lingkungan yang didahului oleh analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Setelah amdal digenggam, lanjut Didik, kontraktor harus mendapatkan rekomendasi gubernur dan bupati atau wali kota, untuk bisa melanjutkan pengurusan izin pinjam lingkungan tersebut. “Alhasil waktu mengurus izin menjadi tidak jelas karena harus menemui banyak instansi. Bila kami kalkulasi bisa memakan waktu 6 bulan, 1 tahun, bahkan ada yang 2 tahun baru bisa (berlanjut) diproses di kementerian terkait,” ungkapnya.

Menurut Didik, panjangnya rantai perizinan ini sudah banyak menyebabkan kegiatan hulu migas tertunda atau bahkan gagal terlaksana. Dia menyebutkan kisaran 30-40% angka proyek yang tertunda atau gagal itu. “Saya berharap tantangan soal perizinan ini segera mendapatkan solusi bersama. Bagaimana pun, kegiatan hulu migas sejatinya merupakan kegiatan negara. Landasannya, sebut dia, adalah Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945,” harapnya.

Mengacu pada konstitusi dan peraturan perundangan sebagai produk hukum turunannya termasuk regulasi di sektor hulu migas semua aset kontraktor dalam industri ini tetap merupakan milik negara. Aset ini tentu saja mencakup kawasan yang digunakan untuk semua kegiatan hulu migas. Harapan pun lalu bertumpu pada penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

“Sayangnya, penerapan Undang-Undang tersebut di lapangan masih jauh api dari panggang. Banyak pemilik tanah baik kalangan swasta, pemerintah, maupun perusahaan negara yang tak serta-merta mau melepaskan kepemilikan tanah atau meloloskan izin pakai kawasan,” keluhnya.

Padahal di Negara luar, kalau namanya milik Negara, urusan Negara, maka instansi Negara tidak perlu lagi membuat perijin sendiri-sendiri. Jadi solusinya, pakai system sidang saja. Seperti sidang isbat itu. Jadi semua pihak duduk satu meja, lantas memaparkan dan mengambil keputusan,” tuntasnya. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *