Oleh Emha Ainun Najib/anonim
semarak.co-Dalam satu tulisannya dibukunya berjudul Slilit Sang Kiai, tanggal 23 Juli 1983, Emha Ainun Najib berkisah tentang Garuda, Bebek, dan Ayam Horn.
Diceritakan bahwa di hutan seluruh binatang pusing oleh kelakuan sang garuda, raja mereka. Yang tak pusing hanya sebagian hewan yang dekat dengan sang garuda. Misalnya, burung beo, cucakrawa atau bunglon yang tak ikut ambil pusing.
Diceritakan Emha bahwa kekhawatiran itu disebabkan kegemaran sang Garuda yang cenderung memperbanyak pertenakan bebek dan Ayam Horn (ayam eropa).
Para Hewan khawatir jika populasi bebek makin meningkat, maka para hewan akan kehilangan wataknya, tiap hari di seantero hutan hanya akan terdengar suara wekwekwek, dan jika bebekpun jadi pendidik, maka siapapun yang tak bisa mengikuti suara wekwekwek, pasti malang nasibnya.
Apalagi jika bebek memperoleh tempat utama di hati sang Garuda maupun di semua sendi pemerintahannya. Lebih celaka lagi jika dewan perwakilan binatang dan badan pengadilan binatang ternyata terdiri dari bebek-bebek juga. Kesiapan mereka justru hanya untuk menjadi petikan sang Garuda.
Untuk itu sang Garuda yang jeli otaknya yang tahu persis keadaan mental para bebek, cukuplah menyediakan bagi mereka kendang-kandang yang beralaskan permadani dan rajin membawa bebek-bebek keuangan susu, di sana para bebek-bebek itu ramai makan bekecot, ulat, katak atau binatang kecil lainnya.
Dengan demikian para bebek akan selalu mematuhi kehendak sang Garuda. Emha lalu meneruskan cerita tentang ayam Horn yang lemah dan hidupnya sangat lemah sangat manja dan ringkih badan maupun jiwanya. Dia bukan tipe petarung dan gampang sekali mati. ***
Disadur dari Tulisan Cak Nun, 23 Juli 1983, pada waktu Orde Baru sedang jaya-jayanya.
sumber: WA Group FILOSOFI KADAL (JUJUR)/post Selasa (20/10/2020)