artikel dari voa-islam.com/ maslahatumat.com
semarak.co-Siapa yang suka dan mau berteman dengan orang yang dzalim, tentu di antara kita pasti akan menjawab tidak atau bahkan menghindari teman yang demikian. Apalagi andaikata yang zalim itu adalah seorang pemimpin, tentu bukan satu dua orang yang akan didzaliminya, namun rakyat juga negara terkena imbas atas perbuatannya.
Kedzaliman bukan saja terhadap urusan ekonomi sosial budaya saja namun bisa lebih parah yaitu melakukan kezaliman yang paling besar, yaitu membawa seluruh komponen pemerintahannya kepada kesyirikan yang mengundang berbagai bencana.
Mengutip voa-islam.com/ Selasa, 29 May 2018/Begitulah kedasyatan seorang pemimpin jika melakukan kezaliman, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengakui umatnya jika berteman berkawan bahkan mendukung pemimpin yang dzalim sebagaimana hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda;
اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sepeninggalku akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan menyokong kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR Tirmidzi, Nasai dan Al Hakim).
Di antara ciri pemimpin dzalim adalah jika berjanji dia selalu ingkar, demi ambisi kekuasaan biasanya diawal sebelum terpilih dengan sombongnya mengobral seribu janji janji yang mampu menyihir rakyatnya untuk mendukungnya, namun pada akhirnya diingkarinya setelah kepemimpinan dikuasainya.
Karena niatnya sudah tidak benar maka hasil kerjanyapun akan buruk dan tidak memiliki prestasi yang baik, belum lagi terhitung prestasi akhiratnya, dunianya saja penuh dengan keburukan. Dari Abu Hisyam as-Silmi berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ يَمْلِكُوْنَ رِقَابَكُمْ وَيُحَدِّثُوْنَكُمْ فَيَكْذِبُونَ، وَيَعْمَلُوْنَ فَيُسِيؤُونَ، لا يَرْضَوْنَ مِنْكُمْ حَتَّى تُحَسِّنُوا قَبِيْحَهُمْ وَتُصَدِّقُوْا كَذِبَهُمْ، اعْطُوْهُمُ الحَقَّ مَا رَضُوا بِه
“Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara (benjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk.
Mereka tidak senang dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji) keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi pada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani)
Seorang pelaku kedzaliman tentu yang akan menjadi teman dan koleganya adalah mereka mereka yang mendukung kedzaliman pula. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذٰلِكَ نُوَلِّى بَعْضَ الظّٰلِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zalim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 129)
Sa’id meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan takwil ayat ini bahwa sesungguhnya Allah mempertemankan manusia berdasarkan amal perbuatan mereka. Dengan kata lain, orang mukmin adalah teman orang mukmin lainnya di masa kapan pun dan di mana saja.
Orang kafir adalah teman orang kafir, di mana saja dan kapan pun berada. Iman bukanlah hanya sekadar angan-angan, bukan pula sebagai perhiasan (melainkan harus disertai dengan amal perbuatan). Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Al-Hafiz ibnu Asakir telah meriwayatkan hadits berikut ini dalam biografi Abdul Baqi ibnu Ahmad melalui jalur Sa’id ibnu Abdul Jabbar Al-Karabisi, dari Hammad ibnu Salamah, dari Asim, dari Zar, dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ yaitu:
مَنْ اَعَانَ ظَالِمًا سَلَّطَهُ اللّٰهُ عَلَيْهِ
“Barang siapa yang menolong orang yang zalim, maka Allah akan menjadikan orang zalim itu berkuasa atas dirinya.”
Bisa jadi adanya pemimpin dzalim yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita karena kezaliman kita juga, untuk itu masih banyak kesempatan bagi kita memperbanyak istighfar dan kembali beramal shalih dengan benar agar Allah Ta’ala berikan kepada kita pemimpin yang sesuai dengan cita cita dan harapan kita, yaitu pemimpin yang sholih yang mampu berbuat adil kepada seluruh rakyat dan bangsa. Wallahu a’lam.
Mengutip maslahatumat.com/23 Desember 2020/ Ulama selain berkewajiban menyebarkan ilmu yang bermanfaat bersumber dari Allah dan Rasul-Nya kepada masyarakat, juga berkewajiban menjaga moralitas ummat dan umara (penguasa). Amar makruf nahi munkar adalah fungsi utama setiap ulama.
Adalah Sa’id bin Jubair (46-95 H), ulama tabiin murid kesayangan para sahabat Nabi seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mughaffal, Abdullah bin Umar, Adi bin Hatim, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Badri, Abdullah bin Zubair RA dan isteri Nabi Aisyah RA dll, ulama generasi awal yang terdidik dalam misykat nubuwah itu. (Lihat Siyar A’lam an-Nubala, vol.4, hlm.322)
Saat diinterogasi ia sempat dipaksa menjawab soal: Apakah Ali bin Abi Thalib masuk neraka? “JIKA engkau telah masuk ke dalam neraka, maka engkau akan tahu siapa saja yang berada di dalamnya dan pertanyaanmu akan terjawab,” jawaban tegas dan mendalam itu diucapkan Sa’id bin Jubair atas pertanyaan pemimpin lalim Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Ia tak segan menghilangkan nyawa rakyatnya. Termasuk nyawa para ulama. Sedikit saja perbedaan pendapat, akan membuat mereka “diciduk” dan tinggal nama. Kisah syahidnya Sa’id bin Jubair di tangan pemimpin lalim itu sangat masyhur.
Saat ditangkap di kampungnya dan hendak dibawa ke istana oleh prajurit kerajaan, rombongan ini terpaksa bermalam di sebuah gereja di pinggir hutan. Mereka tak berani melintasi, karena dari hutan itu ada singa yang selalu muncul di malam hari.
Sa’id bin Jubair tidak bersedia masuk ke dalam gereja. Ia memilih menghabiskan malam di luar bangunan. Kaki dan tangannya diikat pada sebuah pohon. Dan benar saja, saat gelap menyelimuti bumi, singa itu muncul mencari mangsa.
Para prajurit sudah menduga Sa’id bin Jubair akan diterkam singa. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati singa itu duduk di dekat sang ulama seakan mendengar dzikir yang sedang dideraskannya. Demikian Imam Al-Dzahabi menuturkan. (Lihat kitab SiyarA’lam An-Nubala, vol.4, hlm 329)
“Kehebatan” Sa’id bin Jubair menundukkan singa itu membuat para prajurit gentar. Mereka baru menyadari kalau yang ditangkap itu benar-benar orang sholeh. Namun, mereka tak punya kuasa melawan perintah atasan.
Singkat cerita, akhirnya Sa’id bin Jubair dihadapkan pada Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Sama dengan kejadian bertemu singa buas di tepi hutan, Sa’id bin Jubair sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya. Ia tak gentar menghadapi cercaan pertanyaan yang diajukan sang penguasa.
Ia bahkan masih bisa menjawab dengan jawaban menohok seperti dialog di bawah ini. “Pilihlah cara matimu, Sa’id!” perintah Hajjaj.
“Terserah engkau, hai Hajjaj! Demi Allah, engkau tidak akan membunuhku melainkan Allah pasti akan membunuhmu dengan cara yang sama di akhirat kelak.”
Setelah berucap syahadat, Sa’id melanjutkan perkataannya, “Ambillah dariku sampai engkau bertemu denganku di Yaumil Hisab kelak.”
Lalu Sa’id bin Jubair mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah! Janganlah engkau memberinya kesempatan untuk membunuh seorang pun setelah aku.”
(Lihat kitab Siyar A’lam An-Nubala, vol.4, hlm.331-332, Jamaluddin al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, vol.10, hlm.373, al-Asbahani dalam Siyar al-Salaf al-Shalihin, hlm.787)
Benar saja, Allah kabulkan doa itu. Sa’id bin Jubair syahid di bulan Sya’ban tahun 95 H. Tak sampai satu bulan, Hajjaj bin Yusuf meninggal di tahun yang sama. Ia tak sempat membunuh satu orang pun setelah syahidnya Sa’id bin Jubair.
Menjelang kematiannya, Hajjaj bin Yusuf dikejar-kejar mimpi buruk. Dalam mimpinya, ia diqishosh atas setiap nyawa yang dihilangkannya, kecuali Sa’id bin Jubair, ia diqishosh sebanyak 70 kali untuk satu nyawa Sa’id.
Dalam tidur, ia sering berteriak-teriak, “Ada apa Sa’id bin Jubair?!” (Ibnu Khalikan dalam Wafayat al-A’yan, vol.2, hlm.374; al-Yafi’i dalam Mir’atul Jinan wa ‘Ibrat al-Yaqzhan, vol.1, hlm.157)
Hasan al-Basri saat mendengar kabar syahidnya Sa’id bin Jubair segera mengangkat tangan dan berdoa, “Ya Allah, binasakanlah orang fasik yang keterlaluan itu. Demi Allah, seandainya semua yang ada di langit dan bumi bekerja sama untuk membunuh Sa’id, pastilah Allah akan melemparkan mereka semua ke dalam neraka.”
Saya tak ingin bilang ulama harus jadi oposan. Tergantung siapa dan bagaimana dulu sifat penguasa saat ia hidup. Namun, seperti dicatat Khalid Muhammad Khalid, 4 orang Khulafa Rasyidin yang saleh dan dijamin masuk surga oleh Rasulullah di semua pidato pelantikannya meminta rakyat mengawasi dan meluruskan kebijakannya jika ada yang menyimpang.
Itu pemimpin saleh yang dijamin masuk surga lho. Bagaimana dengan yang tak ada jaminan apapun? Maka apakah ulama saat ini bisa mangkir dari fungsi amar makruf nahi munkar? (net/smr)
sumber: WAGroup 000#MUSLIM BENTENG NKRI (post Sabtu 13/3/2021)