Oleh Tarli Nugroho *
semarak.co-Dulu saya pernah menganggap cerita Daoed Joesoef ditoyor (memukul pakai kepalan tangan) oleh Alamsjah Ratu Perwiranegara hanyalah gosip semata. Ternyata, cerita itu diakui sendiri oleh Alamsjah dalam biografinya, serta disinggung cukup panjang dalam biografi mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI (1975/1976) Dipo Alam.
Konflik dan bahkan bentrok fisik, antara Alamsjah dengan Daoed, jika kita teliti, hanyalah merupakan catatan kaki dari perseteruannya dengan para pendiri CSIS, yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.
Ali dan Soedjono sebenarnya adalah bekas anak buah Alamsjah. Sewaktu Pak Harto diangkat menjadi Pejabat Presiden pada 1967, ia membentuk Staf Pribadi (disingkat Spri) yang dikoordinatori oleh Alamsjah. Ali dan Soedjono adalah dua di antara sekian anggotanya.
Namun, meski sama-sama bekerja untuk Pak Harto, Alamsjah mengaku banyak bentrok dengan kedua nama tadi. Alamsjah menilai kalau Ali dan Soedjono sering melakukan berbagai aksi yang merugikan Presiden. Tingginya resistensi kalangan Islam terhadap garis politik Pemerintah, misalnya, menurut Alamsjah sebagian adalah karena ulah kedua nama tadi.
Alamsjah mengenal Soeharto sewaktu dia menjadi pimpinan Operasi Mandala di Irian Barat. Untuk mengurusi semua kebutuhan prajurit dan kepentingan operasi, Soeharto harus berhubungan dengan Asisten Menpangad yang dijabat oleh Alamsjah.
Sebagai Asisten Mengpangad, Alamsjah tentu saja adalah anak kesayangan Jenderal Ahmad Yani. Jabatan terakhirnya di ketentaraan adalah Asisten VII Menpangad, atau Asisten Perbendaharaan. Belakangan, jabatan itu dirangkapnya dengan posisi Deputi Khusus Menpangad.
Pada masa itu posisi Asisten Menpangad kedudukannya lebih tinggi daripada Pangdam. Pejabatnya harus berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjen). Karena masih berpangkat kolonel, ketika ditunjuk menjadi Asisten VII Menpangad, pangkat Alamsjah pun dinaikkan menjadi Brigjen.
Sayangnya, karena Alamsjah dianggap terlalu pro terhadap kalangan Islam, Presiden Soekarno tidak mau menandatangani SK kenaikan pangkatnya. Menurut Alamsjah, semua tudingan yang dialamatkan kepadanya sebenarnya berasal dari BPI (Badan Pusat Intelijen) yang dipimpin oleh Subandrio.
Meskipun Presiden Soekarno menolak menandatangani kenaikan pangkat Alamsjah, namun Yani tetap menaikkan pangkatnya menjadi Brigjen. Ketika belakangan pangkat Alamsjah dinaikkan lagi menjadi Mayor Jenderal pada tahun 1967, SK pengangkatannya sebagai Brigjen tetap kosong, tanpa tanda tangan.
Sejak lama Alamsjah memang dikenal dekat dengan umat Islam. Namun, saat pertama kali diberitahu kalau dirinya akan ditugaskan menjadi Menteri Agama pada tahun 1978, Alamsjah mengaku terperanjat.
“Jangan main-main, Pak!” ujarnya, kepada Presiden Soeharto.
“Saya bukan kyai, bukan ulama, bukan ahli agama, dan tidak memiliki latar belakang pendidikan formal keagamaan. Sedangkan mereka yang ahli dan bergelar profesor saja tidak berhasil,” imbuhnya.
Mendengar jawaban itu, Pak Harto hanya tersenyum.
“Bukan di situ soalnya, Saudara Alamsjah. Semuanya sudah saya coba, tetapi kurang berhasil. Setelah saya pikir secara mendalam, dan saya pertimbangkan masak-masak, pilihan tiba pada nama Saudara,” kata Pak Harto.
Pak Harto kemudian menjelaskan latar belakang penunjukkan itu. Ia bercerita tentang suasana Sidang Umum MPR yang diwarnai oleh aksi walk out para wakil rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sehubungan dengan isu Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Karena isu itu mengundang reaksi luas dan juga keras dari masyarakat, Pak Harto menilai jika dibiarkan maka hal itu bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Itu sebabnya Pak Harto akan menugaskan Alamsjah menjadi Menteri Agama.
Sebagai Menteri Agama, Alamsjah ditugaskan untuk menjelaskan kepada umat beragama, khususnya umat Islam, mengenai kedudukan Pancasila. Dalam pandangan Pak Harto kala itu, selama Pancasila tidak dipahami secara jelas oleh umat Islam, maka selamanya mereka akan bersikap apriori, tak bisa menerima, yang pada ujungnya membuat persatuan kita jadi rapuh.
Itu sebabnya Presiden menginginkan tidak ada lagi benturan antara Pancasila dengan agama di masa mendatang. Sesudah mendengar penjelasan itu, Alamsjah akhirnya menerima penugasan tersebut.
Penunjukkan Alamsjah sebagai Menteri Agama, meskipun awalnya dipertanyakan oleh banyak orang, terbukti merupakan keputusan yang tepat. Sebagai Menteri Agama, gaya Alamsjah dalam mensosialisasikan Pancasila juga simpatik.
Alih-alih menyalahkan umat karena bersikap apriori terhadap Pancasila, Alamsjah justru banyak menyalahkan pemerintah yang selama ini terus memojokkan kalangan Islam. Perasaan terpojok itulah yang menurut Alamsjah telah membuat umat sulit menerima dan bahkan resisten terhadap Pancasila.
Karena pendekatan yang lebih baik, Alamsjah akhirnya bisa merangkul umat Islam, sehingga kehadirannyapun segera bisa diterima dan berbalik mendapat banyak apresiasi. Apalagi, Alamsjah juga tak segan membela umat ketika ada pejabat tinggi pemerintah yang bersikap diskriminatif dan memojokkan kalangan Islam.
Ia, misalnya, tak segan berkonfrontasi dengan Ali Moertopo, juga Soedjono Hoemardani, dua sosok yang dianggap banyak bertanggung jawab dalam menjauhkan pemerintahan Orde Baru dari kalangan Islam.
Bahkan, ketika Daoed Joesoef menjadi Menteri P&K dan banyak mengeluarkan kebijakan yang meresahkan umat, dalam sebuah rapat kabinet Alamsjah pernah “menoyor” menteri yang berasal dari CSIS itu.
Ceritanya, pada medio 1981, Alamsjah menerima laporan bahwa Menteri P&K Daoed Joesoef tidak mau mengeluarkan izin pendirian Lembaga Bahasa Arab yang diminta oleh Kedutaan Besar Arab Saudi. Berkali-kali Duta Besar Arab Saudi datang menemuinya dan mengeluhkan hal tersebut. Karena terus-menerus mendapat keluhan, Alamsjah jadi bertanya-tanya.
Ia merasa macetnya izin bagi pendirian lembaga bahasa Arab cukup aneh, sebab di sisi lain kedutaan-kedutaan lain yang meminta izin untuk mengajarkan bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Rusia, atau Jepang, tak pernah mengalami kendala. Semuanya mendapat izin dari pemerintah.
Iapun kemudian menelepon Daoed Joesoef.
“Tidak ada kursus bahasa Arab saja umat Islam sudah fanatik, apalagi kalau diadakan kursus bahasa Arab?!” demikian jawab Daoed lewat telepon.
Jawaban itu tentu saja membuat Alamsjah tercengang. Ia tak menyangka kalau ada koleganya yang bisa berpikir sepicik itu.
Menurut Alamsjah, umat Islam menjadi fanatik justru karena mereka tidak memahami secara mendalam ajaran agamanya. Kalau mereka mengerti Al Quran, hadis, serta berbagai buku pengetahuan keislaman lainnya, serta tidak lagi dicurigai dan didiskriminasi, mereka pasti tidak lagi akan fanatik.
Itu sebabnya pengajaran bahasa Arab jadi penting, bukan justru malah dihalang-halangi. Alamsjah mencoba untuk terus melakukan pendekatan kepada Daoed, namun sikap apriorinya terhadap kalangan Islam membuat Alamsjah muak. Akhirnya ia melaporkan persoalan itu kepada Presiden.
Untuk memecahkan masalah tersebut, Presiden mengarahkan agar para menteri terkait melakukan rapat gabungan, dipimpin oleh Menko Kesra. Akhirnya, rapat gabungan digelar dengan dipimpin oleh Menko Kesra Jenderal TNI (Purn) Surono Reksodimedjo.
Selain Alamsjah dan Daoed, rapat itu juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja dan sejumlah Sekjen serta Dirjen Kementerian. Di dalam rapat tersebut Alamsjah menyampaikan bahwa penguasaan bahasa Arab sangat penting dimiliki oleh umat Islam Indonesia.
Kalau mereka mengerti bahasa Arab, mereka akan mengerti lebih dalam ajaran agamanya, sehingga sikap fanatiknya akan hilang. Itu sebabnya ia merasa aneh, kenapa izin pendirian lembaga pendidikan bahasa Arab yang diajukan oleh Kedutaan Besar Arab Saudi tak kunjung diturunkan oleh Menteri P&K.
Sebenarnya, karena Departemen Agama juga memiliki Dirjen Pendidikan Islam, Alamsjah tadinya akan mengeluarkan izin itu dari kementeriannya. Namun, karena izin lembaga pengajaran bahasa asing lainnya dikeluarkan oleh Departemen P&K, Alamsjah berusaha untuk mengusahakan hal itu terlebih dahulu.
“Bahasa Rusia dan bahasa Cina yang negaranya komunis saja boleh diajarkan di sini, kenapa bahasa Arab yang diperlukan oleh 90 persen rakyat Indonesia tidak boleh? Kenapa?!” tanya Alamsjah.
Saat Alamsjah mengucapkan kalimat itu, Daoed Joesoef tiba-tiba memotong pembicaraannya. Diinterupsi begitu, Alamsjah yang sebelumnya sudah kesal kepada Daoed, mengaku jadi gelap mata.
“Kalau begitu, ini saja yang boleh!” ujarnya, sembari menggerakkan tangannya, menepis muka Daoed. Tepisan itu membuat kacamata Daoed jatuh ke lantai.
Alamsjah memang tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya. Baginya, argumen yang dikemukakan Daoed sangatlah tidak masuk akal. Apalagi, menteri-menteri lain juga mendukung alasan Alamsjah. Bahkan, Jenderal Maraden Panggabean yang Kristen juga mendukungnya. Namun, Daoed Joesoef tetap keras kepala dengan pendapatnya.
Untuk sesaat, kejadian itu membuat rapat jadi hening.
Tak lama, Jenderal Surono kemudian bertanya kepada Alamsjah. “Apa bisa rapat ini dilanjutkan, Pak Alamsjah?” tanyanya.
“Bisa. Saya sudah selesai,” jawab Alamsjah.
Namun, Menlu Mochtar Kusumaatmadja mengusulkan agar rapat itu tidak usah dilanjutkan. Menurutnya, karena masalah tersebut juga menyangkut soal diplomatik, biarlah masalahnya diambil alih oleh Departemen Luar Negeri saja. Alamsjah mengaku tidak keberatan dengan keputusan itu.
Kejadian itu tentu saja membuat hubungan Alamsjah dengan CSIS jadi kian buruk. Dalam pandangan Alamsjah, adanya kalangan non-Islam yang memusuhi Islam bukanlah sebuah kondisi yang buruk, karena faktor perbedaan keyakinan memungkinkan hal semacam itu terjadi.
Tetapi, jika ada kelompok Islam yang memusuhi Islam, ini barulah berbahaya. Alamsjah pernah melontarkan hal ini kepada Daoed. Menurut Alamsjah, secara akademik Daoed sebenarnya adalah figur yang bagus, tapi tidak secara sosial.
Dalam memuluskan upaya penerimaan Pancasila oleh kalangan Islam, Alamsjah melakukan pendekatan ke banyak kyai, salah satunya ke K.H. Bisri Syansuri, ulama NU paling berpengaruh pada saat itu.
Kebetulan, rumah Alamsjah di Matraman bersebelahan dengan rumah almarhum K.H. Wahid Hasyim, mantan Menteri Agama yang juga merupakan menantu Kyai Bisri. Kepada Kyai Bisri, yang merupakan kakek Gus Dur, ia meyakinkan bahwa Pancasila dan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari umat Islam.
Bahwa sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada dasarnya berbasis pada nilai tauhid Islam, sehingga tidak ada dasar bagi umat Islam untuk menolak Pancasila. Upaya meyakinkan Kyai Bisri ini membuahkan hasil, sehingga lambat laun umat Islam Indonesia dapat menerima Pancasila.
Kedekatan Alamsjah dengan umat Islam memang sudah berlangsung sejak lama. Ketika masih menjadi Menteri Sekretaris Negara, misalnya, ia banyak membantu pesantren dengan menyumbangkan mesin-mesin diesel pembangkit listrik.
Ketika Imaduddin Abdurrahim, alias Bang Imad, seorang intelektual muslim kenamaan terkendala untuk pulang ke Indonesia setelah merampungkan studinya di Amerika, Alamsjah pula yang membantunya agar bisa pulang.
Untuk membantu kepulangan Bang Imad, Alamsjah menyuruh Amir Hamzah, Sekretaris Pribadinya, membuat surat kepada Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani. Uniknya, surat untuk Benny itu ditandatangani oleh Amir sendiri, bukan oleh Alamsjah. Ketika itu Amir baru berusia awal 30-an.
“Kau saja yang bikin surat ke Benny. Bilang ke Benny, Imaduddin diminta oleh Alamsjah untuk pulang ke Indonesia. Saya yang jamin,” perintah Alamsjah kepada Amir. Akhirnya, surat yang bertandatangan Sespri Menteri dikirimkan ke Panglima ABRI. Berkat surat itu, Bang Imad akhirnya bisa kembali pulang ke Indonesia.
*) artikel ini copas FB Tarli Nugroho
sumber: RUMAH KU SYURGA KU .3 (post Selasa5/10/2021/bdalfayedh)