Ketua Tim Reformasi Polri Gibran, Sekretaris Listyo Sigit, Jokowi Penasehat

Screenshot Edy Mulyadi. Foto: internet

Oleh Edy Mulyadi *)

Semarak.co – Kalimat pendek Muhammad Said Didu di akun X-nya pada 13 Oktober lalu benar-benar nampol. Dia menampar wajah kekuasaan. Simak baik-baik: “Kalau Pak Presiden @prabowo masih ‘takut’ membentuk tim Reformasi Polri, maka akan jadi menarik jika Gibran ambil inisiatif membentuk Komite Revitalisasi Parcok bersama Jokowi dan Kapolri. Hahaha.”

Bacaan Lainnya

Sepintas terdengar sebagai lelucon. Namun di balik tawa getir itu tersimpan sindiran dalam. Presiden tampak gamang menghadapi persoalan besar yang menuntut ketegasan, yakni reformasi institusi kepolisian. Publik sudah lama menunggu langkah nyata. Skandal demi skandal telah menodai wajah Polri.

Dari kasus Sambo, bisnis tambang ilegal, hingga perseteruan terbuka dengan Kejaksaan. Kepercayaan publik merosot bukan cuma ke titik nadir, tapi sudah minus. Sementara citra Polri makin terperosok ke gorong-gorong gelap dan bau. Di tengah semua itu, Presiden Prabowo justru memilih diam.

Tidak ada gebrakan, tidak ada arah. Seolah lebih nyaman berjalan di jalur aman ketimbang menabrak kepentingan besar. Padahal, menyentuh Polri berarti menyentuh jantung kekuasaan. Lembaga ini bukan sekadar aparat penegak hukum, melainkan simpul politik dan ekonomi yang sangat kuat.

Reformasi Polri bukan hanya soal internal kelembagaan. Tapi juga keberanian memutus tali lama antara kekuasaan, uang, dan senjata. Dan di sinilah tampaknya Prabowo tersandera. Dia tahu risikonya besar. Tapi presiden yang benar mestinya berdiri di atas kebenaran. Bukan bersembunyi di balik ketakutan.

Dalam podcast live by phone Bang Edy Channel dengan Said Didu, dia menyatakan geregetan, gemas. Dia marah kepada Presiden Prabowo. Itulah sebabnya Said menulis, Gibran saja yang ambil inisiatif membentuk tim reformasi dan revitalisasi Parcok.

Saking gemasnya, dia tambahkan kalimat, “bersama Jakowo dan Kapolri. Hahaha.”

“Sigit adu nyali dengan membentuk tim reformasi Polri tandingan. Hasilnya, Prabowo ngeper!” ujarnya kepada Bang Edy.

Di titik inilah sindiran Said Didu terasa cerdas. Ia seolah mengusulkan alternatif: kalau Prabowo tak berani, biarlah Gibran saja yang memimpin.

Bayangkan, sebuah “Komite Reformasi Polri” versi baru dengan susunan: Ketua Gibran Rakabuming, Sekretaris Jenderal Listyo Sigit, dan Jokowi penasehat. Sementara Prabowo duduk di belakang sebagai peninjau kehormatan yang tak banyak bicara.

Lucu? Tentu. Tapi lucunya justru menggambarkan betapa absurdnya keadaan negeri ini. Betapa Prabowo, Presiden dengan hak prerogatifnya yang dijamin konstitusi, tak kunjung ambil tindakan tegas. Bikin geregetan. Gemas. Marah!

Bayangkan rapat perdananya. Gibran membuka sidang dengan nada datar khasnya, “Baik, para bapak-bapak, kita mulai reformasi Polri. Tapi tolong, jangan yang ribet dulu.”

Jokowi mengangguk sambil mencatat sesuatu di ponsel. Kapolri menatap keduanya dengan wajah datar. 0Bingung siapa sebenarnya yang berkuasa. Sementara Prabowo hanya menatap dari kejauhan. Mungkin sedang berdoa agar rapat segera selesai.

Imajiner, satire, nyata?

Adegan ini tentu saja imajiner. Satire. Kalimat itu mengandung tawa getir: antara satire dan kenyataan, batasnya makin kabur. Namun siapa tahu, suatu hari justru menjadi kenyataan. Na’dzu billahi min dzalik. Tapi, bukankah politik kita belakangan ini memang sering sulit dibedakan dari parodi?

Di balik semua kelucuan itu, rakyat sebenarnya sedang menunggu ketegasan. Reformasi Polri adalah soal keberanian moral. Bukan melulu strategi politik. Keberanian untuk mengembalikan Polri ke khittahnya: melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat.

Polri yang menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Dan keberanian itu hanya bisa lahir dari seorang pemimpin yang benar-benar memegang kendali. Bukan dari mereka yang sibuk menjaga harmoni semu. Apalagi pemimpin yang kagok karena tersandera oleh penguasa sebelumnya.

Pak Prabowo, rakyat tidak menuntut Bapak menjadi malaikat. Tapi mereka ingin melihat presiden yang memimpin. Bukan presiden yang menunggu. Jangan biarkan negeri ini terus jadi bahan tertawaan. Jangan sampai publik sepakat, satire Said Didu justru terasa lebih jujur dari pernyataan resmi istana.

Sebelum Gibran betulan membentuk “Komite Revitalisasi Parcok,” lebih baik Anda tunjukkan siapa sebenarnya yang memegang kemudi republik ini. Karena kalau diam terus, sejarah bisa saja mencatat: Prabowo adalah presiden yang dikalahkan bukan oleh lawan politik, tapi oleh rasa takutnya sendiri. []

*) wartawan senior

Jakarta, 15 Oktober 2025

 

sumber: WAGroup SAHABAT JHON DAYAT AMPUN YA ALLAH (postRabu15/10/2025/edymulyadi)

Pos terkait