“Ketakutan” Mungkinkah Indonesia Jadi Afghanistan ke II

Pasukan NATO tiba di lokasi serangan bom mobil di Kabul, Afghanistan, Minggu (10/8/2020). Pelaku serangan bom bunuh diri di Kabul menewaskan setidaknya empat warga sipil Afghanistan, termasuk anak-anak, serta melukai puluhan lainnya, kata pihak keamanan Afghanistan. Foto: internet

Oleh Asp Andy Syam *

semarak.co-Berjibun komentar tentang berkuasanya Taliban di Afghanistan. Komentar ketakutan pada radikalisme menyebar dan kebangkitan teroris (teori domino). Mungkin suatu ketakutan yang berlebihan. Ketakutan dengan melihat keluar, tapi tidak terlihat bahaya dari dalam diri.

Bacaan Lainnya

Tapi kadang memang keburukan pada orang lain sekalipun jauh masih juga terlihat, tapi keburukan pada diri sendiri sering lupa. Kadang kita melihat bahaya dari jauh datangnya, tapi bahaya di pelupuk mata tak terlihat. Sesungguhnya bahaya yang perlu ditakuti adalah cara berfikir dan sikap para elit dan Pemimpin bangsa Indonesia dalam memimpin negara pada zaman now.

Mari berkaca melihat Afghanistan secara jujur dan objektif. Afghanistan yang modern tumbuh keberagaman. Selain pengaruh etnis yang beragam, juga tumbuh kekuatan kekuatan ideologi lintas negara atau transnasional (ideologi abad 19-20) seperti Marxisme (komunisme) serta Liberal – Sekuler.

Kehadiran ideologi lintas negara (trans nasional) itu menciptakan persaingan yang tajam. Bukan hanya dalam memperebutkan kekuasaan, tapi juga meletakkan dasar dasar bernegara. Islam sebagai agama tradisional rakyat Afghanistan (sejak abad ke 7 masa Khaļifah Umaiyah) merasa khawatir dengan makin kuatnya pengaruh ideologi trans nasional itu.

Hal itulah yang memicu bangkitnya kekuatan Islam yang disebut Mujahidin dan Taliban (para penuntut Ilmu). Puncak kebangkitan Islam itu ketika menghadapi serbuan Uni Soviet (1979) yang ingin menyelamatkan Pemerintahan Marxisme.

Jadi persaingan antara kelompok itu, bukan sekedar Afghanistan menderita perang saudara selama 30 tahun karena para Pemimpinnya terlalu pada ego kelompok. Kekuasaan dan negara untuk kepentingan kelompok. Setiap kelompok merasa hebat kalau punya backing kekuatan asing.

Para pemimpinnya saling bermusuhan dan mengundang campur tangan asing. Kekalahan Uni Soviet (1989) memunculkan Pemerintahan Islam oleh Mujahidin Taliban. Membuat pengaruh komunis melemah.

Kemudian muncul masalah baru, ketika Tahun 2001 Amerika menginvasi Afghanistan dan memburu Mujahidin- Taliban dengan alasan memburu teroris Usamah bin Laden. Amerika mendirikan Pemerintahan Boneka yang berideologi liberal- sekuler dan memerangi Taliban selama 20 tahun.

Afghanistan mengalami perang saudara dan perang melawan kekuatan asing selama 30 tahun. 10 tahun masa pendudukan Uni Soviet dan 20 tahun masa pendudukan Amerika. Tak terbayangkan penderitaan rakyat Afghanistan selama 30 tahun. Afghanistan kehilangan momentum pembangunan dan modernisasi.

Justeru menjadi bangsa yang tertinggal. Penyebab dari semua kehancuran Afghanistan adalah perilaku elit politik atau kelompok yang memperebutkan kekuasaan dan negara ingin dikelola sesuai kepentingan kelompok dan memajukan ideologi kelompok. Tiga kekuatan yang berseteru yaitu Islam, Liberal- Sekuler dan Marxisme (Komunisme).

Walaupun Afghanistan sudah punya Konstitusi modern dengan sistem demokasi dizaman Presiden Hamid Karzai (2004). Bukan berarti jalan bernegara sudah aman ditangan Taliban.

Persaingan politik ke depan mungkin terus berlanjut. Namun untuk perang saudara mungkin sudah kapok. Fenomena persaingan kelompok di Afghanistan juga mewarnai Indonesia now. Ketegangan ketegangan antara kelompok terus berjalan.

*Di Indonesia, era reformasi paska kejatuhan Orba, dengan demokratisasi telah memperkuat jalan bagi kelompok liberal -sekuler untuk menjalankan pengaruhnya. Mereka fokus pada pembaharuan sistem politik, hukum dan pendidikan.

Hal ini menimbulkan ketegangan dengan ummat Islam yang tetap ingin mempertahankan sistem pendidikan agama (Islam), karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam sebagai agama turun temurun.

*Juga makin kuat kebangkitan kiri (neo Marxist) yang dimulai pada peristiwa jalan Dipinegoro yaitu aparat keamanan menyerang kantor PDIP pada 27 Juli 1997 hingga akhirnya Soeharto jatuh pada Mei 1998. Pola menjatuhkan kekuasaan ini bisa jadi kebiasaan dan budaya politik bila rakyat tidak lagi ridho pada penguasa.

*Era Presiden Jokowi makin menguatkan kebangkitan kaum neo -Marxist dan cenderung menenggelamkan pengaruh nasionalis konservatif pada PDIP. Tapi juga Presiden Jokowi mendukung gagasan gagasan liberal -sekuler dengan mengangkat Menteri Agama dan Menteri Pendidikan yang bisa menggolkan keinginan keinginan kaum liberal sekuler. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan ketegangan dengan ummat Islam.

*Di era Pemerintahan Jokowi, kelompok Islamis merasa mengalami tekanan dan peminggiran, terutama melalui penggunaan kekuasaan penegakan hukum. Para ulama jadi sasaran penegakan hukum dan pelanggaran HAM. Hal ini selain membangun trauma sakit hati, juga menimbulkan ketegangan dengan ummat Islam.

*Kaum neo Marxist punya keinginan merubah sejarah dengan mengangkat  tokoh tokoh PKI dan membuang tokoh tokoh Islam. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan ketegangan dengan ummat Islam.

*Pemerintahan Presiden Jokowi membawa haluan negara untuk lebih dekat kepada China Komunis dengan kerjasama ekonomi dan investasi. Selanjutnya WNA asing atau pekerja asal China membanjir masuk ke Indonesia tanpa kejelasan tentang kebutuhan dan penempatan kerja mereka. Hal ini memicu kegaduhan dan ketegangan dengan kaum buruh lokal (pribumi).

*Adanya kelompok yang ingin memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi tiga periode atau beberapa tahun lagi. Hal itu menunjukkan ada upayah melanggengkan kekuasaan dan akal-akalan menghalangi kelompok lain untuk berkuasa. Hal ini memicu ketegangan antara kelompok atau kekuatan politik dalam masyarakat.

*Kelompok ekonomi memanfaatkan kekuasaan Jokowi untuk makin memperbesar kue ekonomi mereka, sehingga membuat makin lebar kesenjangan ekonomi. Hal ini juga jadi sumber kecemburuan dan ketegangan dalam masyarakat

* Korupsi makin jadi jadi yang menguras anggaran pembangunan dari hutang, menurunkan kesejahteraan rakyat.

*Kekuasaan digunakan untuk bagi bagi jabatan birokrasi dan BUMN tanpa memandang Profesionalisme untuk membesarkan kelompok. Salah satu sisi kerusakan negara dan BUMN.

*Ada akal akalan pengunaan kekuasaan legislatif DPR untuk melayani keinginan Pemerintah. Hal ini merusak kepercayaan rakyat dan jadi sumber ketegangan politik.

*Intervensi pada lembaga lembaga kenegaraan seperti MK, KPK, BPK, peradilan, Kepolisian dll untuk menjatuhkan kelompok lain dan melindungi kelompok penguasa. Hal ini memicu ketegangan antara kelompok.

Walaupun Indonesia punya ideologi perekat persatuan yaitu Pancasila bukan berarti ancaman persatuan itu bisa di elaminir. Kebijakan kenegaraan dan pemerintahan yang memicu ketegangan merupakan bahaya dan ancaman.

Bangsa kita seolah terjebak pada bahaya radikalisme dan terorisme hingga tidak lagi melihat persoalan persoalan persaingan kekuasaan yang menciptakan ketegangan dan membahayakan persatuan nasional. Kelihatanya persaingan politik itu tidak akan mundur bahkan makin hari mungkin makin tajam dan penuh akal akalan.

Bukan mustahil bila ketegangan ketegangan itu membara jadi konflik akan masuk kekuatan asing untuk membela dan mempertahankan kekuasaan satu kelompok yang berkuasa. Alasan kekuatan asing masuk bisa saja dengan dalil menyelamatkan kepentingan investasi dan kepentingan lainya.

Akhirnya Indonesia bisa menjadi Afghanistan ke II. Bukan karena soal radikalisme dan perang melawan terorisme, tapi karena persaingan politik dan ideologi antara kelompok yang berjalan tanpa kendali.

Waspada!!! Mungkinkah Indonesia jadi Afghanistan ke II??

*Hikmahjalan

*) penulis adalah Peduli Kepemimpinan bangsa.27/08/21

 

sumber: WAGroup Keluarga Alumni HMI MPO (post jumat/27/8/2021/syamandi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *