Ketahuilah Sejarah Diaspora Yahudi di Indonesia, Berjaya sebelum Kemerdekaan

Anak-anak dari Yahudi Ortodoks. Foto: internet

Kehadiran komunitas Yahudi di Indonesia tidak sebanyak catatan kehadiran enam agama yang dianut masyarakat Indonesia. Selain populasi yang minim, kehadiran mereka juga tidak menonjol. Komunitas Yahudi Tondano, Sulawesi Utara, boleh dibilang satu-satunya yang sering diangkat ke pemberitaan.

Semarak.co – Kini setelah komunitas Yahudi India Bnei Menashe diajak ke Israel, komunitas Yahudi Tondano juga diajak pulang ke negeri Benyamin Netahyahu itu. Rabbi Yaakov Baruch menceritakan soal ajakan tersebut.

Bacaan Lainnya

“Tawaran itu ada tapi tidak secara formal hanya non-formal saja,” kata Yaakov melalui pesan singkat, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (26/11) yang kemudian dilansir Sabtu, 29 Nov 2025 || 16:00 WIB.

Yaakov ternyata lebih memilih tetap di Indonesia dengan pertimbangan ingin mengurus komunitas Yahudi di sini, yang jumlahnya memang sedikit. Kehadiran komunitas Yahudi di tanah air jauh sebelum kemerdekaan. Tercatat mereka datang bersamaan dengan para pedagang rempah ke sejumlah kepulauan.

Dalam jurnal religio Universitas Gajah Mada pada 2012, Leonard Chrysostomos Epafras menulis dalam Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas Yahudi Nusantara bahwa orang Yahudi datang sejak bangsa Portugis masuk ke Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

“Kita mendapatkan informasi berdasarkan laporan para misionaris Katolik dari Serikat Yesus (dikenal juga dengan sebutan Yesuit), tentang kehadiran komunitas Yahudi di Malaka,” tulis Leonard sambil menambahkan.

“Laporan ini termasuk yang berasal dari misionaris terkemuka Fransiskus Xaverius (1506-1552), dalam kunjungannya ke Malaka tahun 1547, ia berjumpa dengan kaum Yahudi Sefardi (Sefarad artinya Spanyol) beserta sinagogenya.”

Sebagian motif mereka menetap di India dan Malaka adalah sebagai upaya menghindarkan diri dari Pengadilan Inkuisisi, yaitu peradilan agama dalam Gereja Katolik yang memerangi pemurtadan. Targetnya terutama kaum Yahudi dan kaum Muslim yang sebelumnya telah dikristenkan secara paksa.

Inkuisisi yang paling aktif adalah di Spanyol dan Portugis. Ketika Belanda datang dengan tujuan yang sama untuk berdagang, komunitas Yahudi pun terus bertambah. Lewat Perusahaan Dagang Hindia Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC) yang dibentuk, 20 Maret 1602, mereka datang ke Indonesia untuk berniaga.

Bahkan perusahaan dagang ini saham terbesarnya dipegang oleh Isaac Le Maire, seorang pedagang dan investor keturunan Yahudi dari Wallonia (sekarang Belgia). Karena makin banyaknya orang Yahudi yang datang ke Hindia Belanda, Tahun 1857, dua rabi yang bermukim di Den Haag.

Dan seorang rabi asal Rotterdam yakni Bernstein, Ferares dan Isaacsohn, menandatangani petisi kepada Kerajaan Belanda. Ketiganya mendukung permohonan salah seorang tokoh Yahudi, Israel Benjamin, untuk pergi ke Hindia Belanda mendirikan komunitas Yahudi yang kokoh, seperti yang telah berdiri di West Indies alias Suriname.

Menurut Jeffrey Hadler dalam penelitiannya di Universitas California berjudul Translations of Antisemitism: Jews, The Chinese and Violance in Colonial and Post-Colonial Indonesia, Benjamin merupakan segelintir orang pertama mengangkat fakta kehadiran komunitas Yahudi di Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia.

Namun kepada otoritas Kerajaan Belanda, tiga rabi tadi menyatakan komunitas Yahudi di Hindia Belanda tidak akan mampu membuat pendirian komunitas Yahudi yang kokoh. Alasannya status sosial yang rendah, kata para rabi itu, akan menghambat upaya swadaya itu.

Ketiga rabbi itu akhirnya mendorong Kerajaan Belanda mengalokasikan dana untuk survei komunitas Yahudi di Hindia Belanda yang digagas Benjamin. “Kelompok Yahudi di sana layak memiliki sinagoge dan pemakaman khusus,” tulis Hadler mengutip perkataan para rabbi itu.

Meskipun telah mendapatkan rekomendasi dari sejumlah profesor dari perguruan tinggi yang berpusast di Leiden dan Delft, Benjamin urung berangkat ke Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menolak permintaan Benjamin.

Perjalanan itu pun batal. Empat tahun setelah kegagalan Benjamin, utusan rabinikal Yerusalem bernama Jacob Halevy Saphir (1822-1886), tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1861.

Dalam bukunya, Saphir melaporkan keberadaan sekitar dua puluh keluarga Yahudi “Ashkenazi” (Yahudi dari Eropa tengah dan timur) dari Belanda di Batavia, di Surabaya dan di Semarang, tetapi menyatakan keprihatinannya terhadap masa depan mereka karena mereka tidak menjalankan tradisi Yahudi dan banyak yang menikah dengan wanita non-Yahudi.

Saphir juga berpendapat bahwa atas permintaannya, komunitas Amsterdam mengirim seorang rabbi ke kepulauan itu yang mencoba mengatur kehidupan komunitas di Batavia dan di Semarang. Namun, rabbi itu meninggal sebelum menyelesaikan pekerjaannya.

Seperti ditulis Ayala Klemperer-Markman dikutip dari situs theindoproject, situs tentang orang-orang Belanda yang pernah hidup di Hindia Belanda. Pada 1921, penyandang dana Zionis, Israel Cohen berkunjung ke Jawa.

Ia menyebut bahwa saat itu terdapat sekitar 2.000 Yahudi yang menetap di Pulau Jawa.Pada tahun 1920-an, komunitas Yahudi mulai terlihat ketika munculnya Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan World Zionist Conference (WZC) di kota-kota seperti Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta.

Organisasi ini, yang bermarkas di London, didirikan pada tahun 1920 dan berperan sebagai organisasi pengumpul dana untuk mendukung gerakan Zionis. Sebuah skiripsi tentang sejarah Yahudi di Indonesia yang ditulis oleh Wardani Dwi Jayanti dari Universitas Sebelas Maret Solo, menjelaskan periode emas komunitas ini, yaitu pada 1926-1942.

Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa Komunitas Yahudi di Indonesia pada tahun 1926 hingga 1942 mampu mengadakan dan mengorganisir pertemuan-pertemuan keagamaan dan organisasi secara bebas tanpa tekanan dari antisemitisme.

Ibadah agama Yudaisme juga dijalankan oleh komunitas Yahudi pada tahun 1926-1942 secara personal maupun komunal. Ditambah lagi pada hal sensus penduduk yang digelar pemerintah kolonial pada tahun 1930 mencatat keberadaan 1.095 orang Yahudi di Hindia Belanda.

Di akhir dekade 1930-an, jumlah itu meningkat hingga 2.500 di seantero Jawa, Sumatera dan sebagian kecil kawasan lain Hindia Belanda. Catatan dari sutus “Jewishvirtuallibrary” menuliskan bahwa pada tahun tersebut banyak komunitas Yahudi datang dari Belanda, Bagdad dan Aden.

Sebagian besar Yahudi Bagdad menetap di Surabaya. Menurut catatan, kedatangan kaum Yahudi itu ke Indonesia untuk menghindari persekusi yang mulai meningkat di Eropa. Di Surabaya misalnya, pada periode tersebut sudah ada 500 keturunan Yahudi.

Pada periode tersebut, komunitas Yahudi Surabaya bisa menjalankan ibadah dengan tenang bahkan lebih khusyuk dari pada Yahudi di Eropa karena sentimen antisemit mulai meningkat. Di kota Pahlawan ini pula pernah berdiri sebuah sinagoge, tempat beribadah orang Yahudi.

Namun, kenyamanan Yahudi tanah air mulai terusik saat Jepang datang. Aliansi Jepang dengan Jerman di bawah Adolf Hitler membawa dampak besar bagi perlakuan Jepang yang menimbulkan antisemitisme terhadap komunitas Yahudi Indonesia yaitu Yahudi Ashkenazi, Sephardic, serta Mizrahi.

Kamp-kamp internir dibangun guna menahan tahanan perang Jepang termasuk Yahudi di Indonesia. Pendirian negara Israel pada 1948 dan konflik dengan Palestina, membawa pula dampak terhadap komunitas Yahudi di tanah air.

Kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia sejak kemerdekaan yang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tak pelak berdampak pada penurunan komunita Yahudi di sini. Gejolak pasca kemerdekaan membuat sebagian Yahudi berdarah Belanda harus hengkang ke negeri mereka, Australia dan Amerika Serikat.

Sebagian dari mereka ada yang kemudian berpindah ke Israel, menurut situs tersebut. Sebagai sebuah komunitas agama, Yahudi tetap bisa menjalankan peribadatan mereka. Komunitas pemeluk Yudaisme di Sulawesi Utara, misalnya, tetap dapat beribadah di sinagoge.

Di Indonesia, satu-satunya rumah ibadah Yudaisme berada di Tondano, Minahasa. Setiap shabbat, pemeluk Yudaisme dari Manado pergi ke Tondano untuk menjalankan ajaran mereka. Konstitusi Indonesia dalam pasal 29 UUD 1945 memberi kebebasan kepada warga untuk beragama.

Meski Indonesia hanya mengakui secara resmi enam agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu) namun keyakinan di luar yang enam tetap bisa berjalan. Bunyi dari Undang-Undang ersebut adalah Pasal 29 Ayat 1 berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pasal 29 Ayat 2 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Serangan brutal Israel ke Gaza dalam dua tahun terakhir yang menewaskan lebih dari 60 ribu rakyat tak berdosa, jelas berpengaruh terhadap hubungan Yahudi dan masyarakat Indonesia. Mungkin itu pula yang membuat organisasi Yahudi di Israel mengajak komunitas Yahudi Tondano pindah.

Namun Rabbi Yaakov yang menjadi pimpinan di Indonesia belum mau mengiyakan. “Kalau saya sempat ditawari dari dulu tapi dari awal mengatakan bahwa karena masih ada hal penting yang harus saya lakukan yaitu mengurusi Synagogue dan Komunitas Yahudi Indonesia maka belum bisa melakukannya saat ini,” kata Yaakov kepada CNN Indonesia. * (imf/bac)

 

Sumber: cnnindonesia.com di WAGroup ANIES BASWEDAN FANS CLUB (postSabtu29/11/2025/wahyoealbatani)

Pos terkait