Dalam sehari, berapa kali Anda mengunjungi media sosial? Awalnya, membuka media sosial hanya sekadar mengisi waktu atau mengetahui update informasi atau hal kekinian, tetapi alih-alih memberikan kepuasan, sebaliknya semakin lama kita berselancar di media sosial malah mengalami ketidakpuasan pada hidup dan menjadi candu media sosial.
semarak.co– Ada keinginan untuk membandingkan diri sendiri dengan citra yang tidak realistis, merasa kurang dari orang lain yang dilihat di media sosial. Padahal sebagian besar yang dilihat di instragram merupakan hasil filter dan edit foto. Ini belum termasuk maraknya perundungan atau penindasan dunia maya (cyberbullying) dan ujaran kebencian (hate speech).
Akhirnya, gambaran diri menjadi negatif menilai diri selalu kurang, memengaruhi citra tubuh, takut ketinggalan suatu informasi atau dikenal dengna FOMO (Fear of Missing Out), merasa kesepian dan cemas.
Lalu timbul iri hati melihat orang lain terlihat gembira di instagramnya atau selebriti belanja dan plesiran mewah yang sulit dinikmati masyarakat umum. Kesehatan juga dapat terganggu karena kelelahan pada mata lelah dan gangguan tidur.
Lalu bagaimana agat tidak candu? Anda bisa mencoba melakukan detoks media sosial. Maksudnya, penggunanya berhenti sejenak dari segala aktivitas di media sosial tetapi perlahan.
Misalnya, jika dalam sehari bisa menghabiskan waktu lebih dari 3 jam untuk berselancar di media sosial maka coba kurangi secara bertahap. Kemudian berlanjut dalam seminggu mempraktekkan sehari tanpa media sosial dan seterusnya. Untuk membantu melatih terapi ini, bisa menggunakan screentime yang ada pada smartphone untuk mengukur kemajuan.
Kemudian, lakukan hal-hal yang berkualitas, seperti menikmati kebersamaan bersama keluarga, mencoba kegiatan baru, atau melakukan lagi aktivitas lama yang tertunda, seperti membaca buku, berkebun, dan hobi lainnya yang membantu Anda lebih produktif.
Lindungi Kesehatan Mental dengan MiProtection
Media sosial telah berkontribusi pada gangguan mental, utamanya pada milenial. Masalahnya, banyak yang malu mengakui kondisi kejiwaannya atau mungkin tidak menyadarinya. Orang tua pun banyak yang tidak paham, padahal mereka yang mengalami gangguan kejiwaan memerlukan pendampingan, perhatian, dan dorongan positif.
Banyak hal yang dapat kita lakukan, misalnya berhenti menganggapnya sebagai sosok yang aneh, tetap bertegur sapa, menanyakan kabar, menjadi pendengar yang baik, menjadi teman cerita tanpa mendikte atau menggurui agar mereka merasa nyaman untuk menceritakan kondisinya.
Jika kecanduan media sosial masih terjadi secara terus menerus dan mulai terlihat cemas, dan aktivitas rutin mereka menjadi berantakan segera cari bantuan ke ahlinya, seperti psikolog karena jika diabaikan dapat membayakan kesehatan penderitanya.
Memeriksa diri ke psikolog adalah langkah awal untuk mengetahui masalah yang tidak terlihat secara fisik, tetapi dapat mempengaruhi kualitas hidup. Sayangnya, kesadaran mengobati dalam masyarakat kita masih rendah, belum lagi biaya konsultasi psikolog di Indonesia cukup tinggi.
Rata-rata biayanya berkisar Rp250-Rp750 ribu untuk durasi 1 jam konsultasi. Tingginya biaya konsultasi psikolog ini menjadi perhatian Sequis dengan melakukan inovasi pada produk dari unit bisnis MiPOWER by Sequis, yaitu produk MiProtection yang menanggung biaya kesehatan untuk konsultasi kesehatan mental ke psikolog.
Branding and Communication Stategist MiPOWER by Sequis Ivan Christian Winatha mengatakan, MiProtection merupakan produk asuransi kesehatan untuk milenial yang memiliki fitur menarik yang belum pernah ada di pasaran, yaitu perlindungan atas gangguan mental seperti Obsessive Compulsive Disorder (OCD), Bipolar, dan Skizofrenia.
“Tentu kita perlu mencegah terjadinya gangguan agar berkesempatan mencapai hari esok kita yang lebih baik. Namun, jika sudah terdiagnosa mengalami gangguan kejiwaan maka sebaiknya segera dicarikan solusinya,” ujar Ivan dalam rilis Humas Sequis melaui pesan email, Selasa malam (16/6/2020).
Kehadiran MiProtection, terang Ivan, akan sangat membantu kebutuhan milenial untuk berkonsultasi dengan psikolog guna membantu proses penyembuhan sekaligus menjaga kondisi keuangan milenial.
Ivan pun mengimbau para milenial agar tidak terjebak pada kecanduan media sosial dan mengajak berasuransi melalui MiProtection sehubungan dengan risiko gangguan kejiwaan yang dapat terjadi pada milenial di era media sosial.
“Boleh saja berselancar di media sosial. Milenial memiliki kebutuhan aktualisasi diri. Kita bisa mendapatkannya tidak saja di media sosial, tetapi kita juga dapat berprestasi dan bermanfaat bagi sesama dalam kehidupan nyata,” tutupnya. (smr)