Gestur Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan pidato awal masa jabatan dalam acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai pidato perdana Presiden Joko Widodo (Jokowi) seusai pelantikan mencerminkan arah pemerintahan yang mengarah pada pembangunan ala era Orde Baru.
Dalam pidato tersebut, Jokowi sama sekali tak menyinggung masalah hukum, HAM, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi. Firman menyayangkan pidato Jokowi yang seakan tak menaruh perhatian terhadap masalah hukum, HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi.
“Saya membaca ini memang nampak nuansanya lebih pada masalah pembangunan, masalah efisiensi, dan juga pembangunan terkait SDM, yang kalau kita lihat ini kok agak-agak mirip pemerintahan Soeharto,” kata Firman Minggu (20/10/2019).
Dia menilai, padahal empat hal itu merupakan masalah pokok yang juga berkaitan dengan Pancasila dan kemanusiaan. Selain itu, Firman menyebut Indonesia juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah di empat isu tersebut.
Dosen pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menilai harusnya Jokowi menaruh perhatian terhadap empat itu itu. “Dalam hal ini saya kira presiden tidak terlalu sensitif. Ini satu hal yang sangat disayangkan,” kata dia.
Dalam pidatonya, Jokowi hanya menyinggung lima isu yang berkaitan dengan ekonomi. Lima isu itu adalah pembangunan sumber daya manusia, dan melanjutkan pembangunan infrastruktur.
Lalu penyederhanaan regulasi yang dianggap menghambat, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi.
Firman menyayangkan pidato Jokowi yang seakan tak menaruh perhatian terhadap masalah hukum, HAM, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Dia menilai, padahal empat hal itu merupakan masalah pokok yang juga berkaitan dengan Pancasila dan kemanusiaan.
Selain itu, Firman menyebut Indonesia juga masih memiliki banyak pekerjaan rumah di empat isu tersebut. Dosen pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menilai harusnya Jokowi menaruh perhatian terhadap empat itu itu. “Dalam hal ini saya kira presiden tidak terlalu sensitif. Ini satu hal yang sangat disayangkan,” tutupnya.
Anggota DPR Herman Khaeron mengatakan, untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional perlu keputusan politik yang kuat dari pemerintah. Sebab, berbagai masalah yang muncul sebagai kendala mewujudkan ketahanan pangan harus didukung kebijakan pemerintah pusat yang kuat.
“Bicara pangan, maka kita langsung berpikir produksi beras,” ujar Herman di acara Focus Group Discussion (FGD) ‘Tantangan dan Peluang Pangan Dalam Negeri’ yang diselenggarakan media online indopos.co.id di Swisbel Hotel, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Senin (21/10/2019) .
Berkurangnya luas lahan pertanian menjadi masalah krusial. Sementara, mencari lahan baru yang cocok untuk pertanian, seperti sawah, tidak mudah. Karena itu, harus ada keputusan politik yang kuat. “Lahan pertanian tidak boleh diubah. Supaya lahan pertanian yang ada saat ini, tidak terus menyusut,” katanya.
Berkurangnya lahan pertanian, lanjut Herman, di antaranya seperti karena gencarnya pembangunan. Seperti infrastruktur, industri dan perumahan. “Jadi, butuh keputusan politik yang kuat, untuk melindungi lahan pertanian,” tegas politisi Partai Demokrat ini.
Herman menambahkan, diversifikasi pangan juga perlu dilakukan. “Selain beras, juga ada sagu dan jagung. Serta memaksimalkan potensi perikanan. Di mana luas lautan Indonesia, dua pertiga dari daratan,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Ketersediaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kemtan) Rachmi Widiriani mengatakan, sejak 2012, ketahanan pangan dan gizi terus disosialisasikan.
“Ada dua hal yang penting terkait ketahanan pangan dan gizi. Pertama kecukupan pangan tidak hanya cukup jumlahnya. Tapi juga bagaimana pangan mensupor untuk kesehatan. Dan yang kedua. Bagaimana kelanjutan pangan itu diproduksi,” ujar Rachmi.
Pihaknya, kata Rachmi, akan terus menyuarakan ketahanan pangan dan gizi. Selain itu, efektifitas ketahanan pangan, dan sanitasi serta pencegahan infeksi menjadi perhatian. Seberapa kuat ketahanan pangan dan gizi kita,” ujarnya sambil merinci.
Pada 2015-2018 ada 177 kabupaten/kota yang meningkat status ketahanan pangannya. Global food security indeks kita juga naik, dari 74 ke 65. Selain itu, kata Rachmi, rata-rata pertumbuhan pangan strategis, terdapat peningkatan.
“Seperti produksi padi, jagung, cabe, dan sebagainya. Dari sisi ketersediaan energi, juga mengalami peningkatan. Kami sudah menghitung itu,” tandas Rachmi di acara yang sama.
Guru Besar Ilmu Ekonomi IPB Hermanto Siregar menyatakan, bicara lahan pertanian dan sumber komoditi pangan, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Misal GDP pertanian masih berkontribusi PDB 13%, mayoritas dari berbagai komoditi dari Jawa. “Apa yang terjadi kalau pulau Jawa rusak ekosistemnya. Padi lebih dari separuh dari Jawa,” ujarnya.
Menurut Hermanto, ancaman konversi lahan selain infrastruktrur, perumahan industri juga fragmentasi lahan. “Misal seseorang dapat warisan tanah pertanian 5 hektar pertanian, itu akan terus menyusut lahannya, dibagi ahli waris dan seterusnya,” ujar Hermanto.
Sementara itu, Pengamat Pertanian, Khudori mengatakan, kebijakan stabilisasi harga pangan harus ada. “Sekarang apa yang dilakukan,satu-satunya beras. instrumen stabilisasi pasar, yang masih ada operasi pasar. Hampir semua mekanisme pangan di luar beras diserahkan ke pasar,” ujar Khudori.
Walaupun, kata Khudori, ada aturan dari Kemdag, ada 9 produk komoditas. “Namun itu realitas di lapangan diserahkan ke pasar. Pemerintah harus cerdas, komoditas mana yang menjadi prioritas. Pertama yah beras. Setelah itu, baru komoditas lainnya. Saya mengusulkan ada juga subsidi output,” ujarnya.
Perlu dilakukan juga peningkatan produksi, lanjut dia, memanfaatkan inovasi dan teknologi. Meningkatkan produksi, harus perhatikan juga pelaku. NTP (Nilai Tukar Petani) bergerak disitu-situ saja. Petani harus sejahtera. (net/lin)
sumber: tempo.co/indopos.co.id